Lokasi Pengoenjoeng Blog

Rabu, 19 Mei 2010

WEDANG UWUH


RASA nikmat dan segar langsung terasa sesaat setelah merasakan minuman wedang uwuh di tempat parkir makam raja-raja Mataram di Imogiri. Tak hanya nikmat, minuman ini juga sangat berkhasiat tinggi. Di antaranya dapat membuat tubuh kembali segar dan meningkatkan ketahanan tubuh saat beraktivitas.

Wedang uwuh bukanlah minuman mengandung zat kimia, melainkan hidangan yang bahan-bahannya diambil dari dedaunan kering di sekitar makam Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan makam-makam lainnya di kompleks Imogiri. Campuran untuk membuat wedang uwuh adalah kayu secang, daun pala, daun kayu manis, daun cengkeh, jahe dan ditambah gula.

“Ramuan aslinya hanya jahe, daun pala, daun kayu manis, dan daun cengkeh plus gula. Tapi kemudian kami kreasikan sendiri dengan menambah kayu secang,” demikian jelas Windarno, penjual wedang uwuh di tempat parkir makam Imogiri, kepada Jogjapolitan.com di kios tempatnya berjualan.

“Kayu secang inilah yang membuat warna wedang uwuh jadi merah,” kata Windarno lagi. “Kalau tidak pakai secang, gula yang dipakai gula jawa. Tapi kalau memakai secang, maka gulanya gula batu,” tambahnya.

Sejak Jaman Sultan Agung
Wedang uwuh adalah minuman rakyat yang telah dikenal sejak masa Sultan Agung. Windarno menceritakan, setelah berhasil menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628, Sultan Agung mulai membangun kompleks makam Imogiri setahun kemudian. Sultan Agung lantas menanam sebatang pohon cengkeh yang diberi nama Kyai Dudo. Dari pohon inilah daun cengkeh yang menjadi bahan wedang uwuh diperoleh.

Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali membuat ramuan wedang uwuh. Namun yang jelas minuman ini mulai diperkenalkan secara luas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebelum masa Sri Sultan HB IX wedang uwuh hanya khusus dihidangkan untuk tamu-tamu kraton yang datang melayat ke Imogiri. Itupun hanya bisa didapatkan di masjid Imogiri saja.

Windarno adalah orang pertama yang berjualan wedang uwuh kemasan. Awalnya ia berjualan di sebelah timur makam Sri Sultan HB IX, tepatnya di sebelah luar gerbang timur makam. Mulai tahun 1997 ia berjualan di bawah, di tempat parkir.

Bagi Windarno berjualan wedang uwuh tak hanya berdagang saja, tapi juga turut melestarikan warisan nenek moyang. Karena itu ia selalu berusaha untuk menjaga mutu serta keaslian rasa wedang uwuh. Keaslian rasa wedang uwuh mampu menciptakan suasana yang khas, aromanya pun kental akan nuansa spiritual. Tak heran bila wedang uwuh selalu membuat penasaran pembelinya.

(Sumber: Jogjapolitan.com)

Warung Makan NESU MULIH



Warung makan Nesu Mulih. Ya itulah nama yang unik untuk sebuah warung makan di nDalem Notoprajan Jogja. Menu utamanya Gemak dan Dara bacem. Warung itu sudah ada di sana sejak puluhan tahun lalu.

Nama "Nesu Mulih" itu didapat dari para pelanggannya, penggemar baceman gemak dan burung dara. Dulu, saking enak dan empuknya si dara (dan si gemak/puyuh), para pelanggan sampai antre. Sudah ngantri pun kadang mereka masih tidak kebagian juga. Nah terpaksalah mereka yang tiwas antre itu pulang dengan tangan hampa, dengan hati kesal alias "nesu mulih".

Unik ya.

Senin, 03 Mei 2010

ANJING SAYA


Punya anjing, selain menggembirakan ada juga hal yang menrenyuhkan hati, yakni saat anjing2 kesayangan yang selalu menemani hari2 harus pergi untuk selama lamanya karena usia tua. (Rata2 usia anjing 12 tahun). Dan mengubur jasad anjing itu sudah sering saya lakukan karena sepanjang hidup saya tak pernah putus memeliharanya. Tidak hanya satu atau dua ekor, tapi ada puluhan, ada berekor ekor anjing peliharaan.

Tak lupa, setiap kali menguburkan saya berdoa (anjing saya Katholik): “Ya Tuhan, terimalah anjing saya ini di kerajaaMu yang jaya, karena selama hidupnya dia hanya menghabiskan waktu untuk mencintai dan menyenangkan hati saya….”

Sungguh, ternyata saya adalah segalanya baginya, bagi anjing itu. Dan setiap saya menyadari hal itu, menitiklah air mata. Ihik ihik…