Lokasi Pengoenjoeng Blog

Selasa, 26 Januari 2010

LAGU GENJER2 KAGAK ADE MATINYE

Ada orang bilang lagu "Genjer2" itu ciptaan Ki Narto Sabdo. Tapi orang lain bilang lagu itu karya M. Arief, seorang seniman asal Banyuwangi yang terinspirasi oleh kondisi Banyuwangi yang saat itu, sekitar tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang mengalami kemiskinan yang luar biasa akibat diambil sumber pangannya untuk kepentingan perang Jepang. Banyuwangi yang dulunya adalah daerah yang surplus akan makanan menjadi kekurangan pangan. Masyarakat akhirnya memasak tanaman bernama genjer (limnocharis flava) yang sebelumnya hanya menjadi tanaman liar di sawah, pakane para memedi sawah.

Terlepas siapa penciptanya, yang terang lagu genjer2 itu enak didengar. Saking enaknya sampai2 Iwan Fals pun tergoda untuk memungut irama lagu genjer2 itu untuk dibuat menjadi lagu berjudul Wakil Rakyat. Dan terlepas juga dari soal apakah Iwan Fals telah menyontek irama lagu itu atau tidak, yang terang syair lagu Wakil Rakyat itu cukup tajam dalam memotret "wajah wakil rakyat" kala itu.

Dan omong2, akankah genjer2 itu nantinya bakal menjadi lagu jadul? Saya rasa tidak lah yauw. Lagu genjer2 bakal menjadi lagu abadi sepanjang masa seperti halnya "kemiskinan" di negeri ini yang juga selalu ada di sepanjang masa…

Dan inilah syair lagu GENJER GENJER itu.

Genjer-genjer nong kedhokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedhokan pating keleler
Emake thole teko-teko mbubuti genjer
Emake thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing thole-thole
Genjer-genjer sak iki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
dijejer-jejer diuntingi podho didasar
dijejer-jejer diuntingi podho didasar
emake jebeng podho tuku nggowo welasan
genjer-genjer sak iki arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedange umup
Gendjer-gendjer mlebu kendhil wedange umup
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sak piring sambel pecel ndhok ngamben
genjer-genjer dipangan musuhe sega.

Lha kalau yang ini adalah sepenggal syair lagu berjudul WAKIL RAKYAT yang (katanya) dikarang oleh Iwan Fals.

C Am C Am
Wakil Rakyat seharusnya merakyat
D F G C
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Am C Am
Wakil Rakyat bukan paduan suara
D F G C
Hanya tahu nyanyian lagu setuju.

Wis ngono wae...

Rabu, 20 Januari 2010

KARTU REMI KAGAK ADE MATINYE


Playing Cards namanya. Namun kita mengenalnya sebagai kartu remi. Dalam satu pak yang jumlahnya 52 lembar, ada empat jenis kartu (suit) yang berbeda: wajik, hati, sekop, dan keriting. Masing-masing jenis terdiri dari kartu berangka 2 sampai 10 serta kartu As, King, Queen, dan Jack. Selain itu, ada dua kartu tambahan; kartu Joker hitam dan merah.

4 macam ini artinya apa? Mengapa kok sekop, hati, wajik dan keriting? Ya entahlah, kata Papi ISS di Majalah Papyrus. Tapi ada dua warna: hitam dan merah melambangkan malam dan siang dalam sehari. 4 macam itu 4 musim dalam setahun. Jumlahnya satu warna ada 13 macam dari As sampai 10 ditambah jack, queen dan king. Yang paling ampuh yang ujung ujung tapi yang terampuh ya AS, alias 1. King yang nomor 13 saja kalah sama nomor 1.

13 x 4 = 52 itu melambangkan setahun ada 52 minggu. Dan kalau dihitung 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7 + 8 + 9 + 10 + 11 + 12 + 13 = 91. Karena ada 4 jenis maka total 91*4 = 364, lalu ada tambahan dua kartu joker yang jarang dipakai menjadi 364 + 1 = 365 atau ditambah 2 menjadi 366 yang melambangkan hari dalam setahun.

Ini waktu bikin apa ya sudah mikir sampai kesini apa cuma gotak gatuknya orang jaman sekarang ya?

Yo embuh. Yang terang, mula dulu Playing Cards merupakan benda koleksi kaum borjuis. Setiap lembar kartu merupakan karya seni yang tak ternilai harganya. Setiap kartu dilukis secara manual (hand-painted) dan tak jarang dihiasi emas. Di tangan para seniman, kartu-kartu ini menjadi barang berharga tak ternilai. Thomas De La Rue (1793 – 1866) dan Charles Goodall (1785 – 1851) merupakan dua seniman kartu yang cukup tersohor di era Victorian. Konon, koleksi kartu rancangan De La Rue ini laku terjual sebesar 12.000 poundsterling dalam sebuah lelang di Spanyol pada tanggal 30 November 1970.

Setelah ditemukannya mesin reproduksi warna pada awal abad 19, kartu-kartu ini tak lagi dilukis secara manual. Playing Cards mulai diproduksi secara massal. Disain kartu double-ended karya Goodall yang dilahirkan pada tahun 1860 merupakan disain kartu remi yang paling banyak diproduksi di seluruh jagad. Dan yang menarik dari kartu remi itu antara lain pada gambar King, Queen, dan Jack yang selalu simetris jungkir balik.

Selain untuk bermain remi, poker, bridge dsb., kartu remi itu juga menjadi bagian dari seni sulap.

Ya, kartu remi dari jaman dulu hingga sekarang memang kagak ade matinye, tetap disuke tetap bergune.

Gitu deh…

(Gambar dari google image)

Kamis, 14 Januari 2010

NAIK KERETA API, preeeettt.


Ke Jogja saya paling suka naik kereta api. Bukan kereta kelas istimewa tapi kelas ekonomi, terutama kalau berangkat pergi sendirian. Dari dulu sampai sekarang ya begitu itu.

Meskipun itu kereta kelas rakyat, namun bagi saya terasa istimewa. Mengapa? Jalarannya KA itu tidak ber AC sehingga saya bisa bebas merokok klepas klepus. Kalau itu KA malam, saya bisa melihat para penumpang menggeletak tidur di kursi maupun di lantai kereta. Merekapun tidur pulas, sepulas mereka yang tidur di kasur empuk kamar berpendingin. Sama sekali mereka tidak terganggu oleh lalu lalangnya para pedagang asongan di dalam kereta.

Ya, di kereta api ekonomi, siang ataupun malam, pedagang bebas berjaja dari gerbong ke gerbong. Dagangannya beraneka, dari kopi panas, wedang jahe, tempe kripik, buku TTS (dan sudoku), kacamata baca, piranti “kerokan”, koran bekas, kipas tangan, air aqua, rokok, permen, tisu, nasi rames, pecel, kacang kulit, hingga jual jasa memijat. Bisa dibayangkan betapa riuh rendahnya suara. Ada deru angin, ada suara roda besi menerjang sambungan rel, ada suara para pedagang meneriakkan dagangan, ada suara cekikikan sejoli yang sedang pacaran, ada suara orang “ndremimil” minta sedekah, dan ada orang ngamen genjrang genjreng memetik gitar sambil bernyanyi sumbang. Dan saat KA tiba di tiap stasiun dan akan kembali berangkat, kita akan mendengar suara khas sinyal tanda keberangkatan: ting tung teng tong…, tong teng ting tung (mi do re sol…, sol re mi do), disusul oleh bunyi peluit dan klakson kereta, preeeettt.

Sungguh, saya sangat menikmati perjalanan dengan kereta api semacam itu. Kapan ya dulurs terakhir naik KA?

Piye Jal?