Lokasi Pengoenjoeng Blog

Jumat, 26 November 2010

BURUNG DODO


Burung dodo ini sudah lama punah. Kalau melihat tampangnya yang lucu itu saya bisa maklum kenapa burung itu punah. Boleh jadi si Dodo itu banyak ditangkap orang, bukan untuk disantap karena dagingnya tidak enak, tapi untuk dijadikan mainan saking imut dan lucunya. Lha kalau burungnya dimainin terus, mana sempet dia kawin dan berbiak?

Begitu kira2...

Rabu, 28 Juli 2010

SAXOPHONE AGAWE RUKUN


Saxophone Agawe Rukun. Ya, ini judul yang tepat untuk menggambarkan betapa rukun dan mesranya dua sejoli ini. Dan boleh jadi semua itu berkat si saxophone. (Lho, opo hubungane?)

(Gbr. dari Google Image).

Selasa, 20 Juli 2010

TEMPIK SORAK

Saya tidak tahu apakah kata "tempik sorak" yang bermakna tepuk sorak sorai itu ada dalam kamus bahasa Indonesia atau tidak. Tapi yang terang buku pelajaran bahasa Indonesia kala saya SD dulu memuat banyak kata tempik sorak itu.

Uniknya, teman2 dan juga saya tidak pernah berani "membunyikan" kata tempik sorak. Setiap kali disuruh pak guru membaca keras2 suatu cerita yang mengandung kata itu, maka kita akan melewatkannya. Mengapa begitu? Karena meskipun kita masih bocah, tapi kita sudah mengerti bahwa kata "tempik" bagi masyarakat Jawa Tengah bermakna sesuatu yang tidak senonoh untuk diucapkan. Sehingga kata tempik sorak akan dibaca sebagai sorak saja, tempiknya diabaikan.

Ada2 saja.

Kamis, 01 Juli 2010

FRIDAY JAZZ NITE, new


FRIDAY JAZZ NITE... 2 july 2010 @ psr seni ancol.... perform with UTHA L , BERTHA n AUDENSI BAND jam 19 00 - 21 00.. dilanjutkan nonbar world cup BRAZIL vs BELANDA .....

Begitu kabar dari mas Didik SSS lewat Facebook.

Ya, setelah lama mati suri, Friday Jazz Nite di Pasar Seni Ancol kini hadir kembali. Asyiiik...

Minggu, 13 Juni 2010

Akhir Riwayat Pasar Ngasem


Kesunyian sejenak hinggap di antara puing-puing sisa bangunan Pasar Ngasem, Yogyakarta, yang ditinggalkan penghuninya mulai Kamis (22/4). Tidak ada lagi kicau dan bau khas burung yang biasa disimpan di dalam sangkar dan digantungkan di atap kios para pedagang burung. Saling senggol antarpengunjung di lorong-lorong yang sempit tak lagi terjadi dan debat transaksi jual-beli burung pun tak terdengar lagi.

Mendekati pengujung April 2010, sebanyak 287 pedagang burung yang sebelumnya memanfaatkan Pasar Ngasem sebagai tempat mencari nafkah dipindahkan ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Dongkelan. Di bekas pasar seluas 6.136 meter persegi tersebut akan dibangun pasar tradisional dan pasar suvenir yang terintegrasi dengan kompleks wisata Tamansari.

Pemindahan tersebut tak ayal menghilangkan pesona Pasar Ngasem yang menghadirkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Saat ramai pengunjung, sering kali terlihat wisatawan asing yang turut berkeliling pasar sekadar untuk mengabadikan suasana. Daya tarik itu pula yang membuat Pasar Ngasem dahulu menjadi tempat latihan melukis sketsa aktivitas pasar oleh para mahasiswa baru Institut Seni Indonesia (dulu masih bernama STSRI atau ASRI).

Meskipun harus mengorbankan pasar yang telah menjadi salah satu ikon Yogyakarta tersebut, pemindahan pedagang Pasar Ngasem tetap tidak terhindarkan demi mendukung perkembangan industri pariwisata Yogyakarta. Pemindahan tersebut juga berlangsung mulus tanpa gejolak perlawanan dari pedagang. Bahkan, kegiatan melukis bersama yang diikuti anak-anak serta sejumlah pelukis kawakan turut menyemarakkan rangkaian acara pemindahan pasar tersebut.

Kegiatan melukis bersama tersebut ditujukan untuk mendokumentasikan pasar yang telah mewarnai sejarah Kota Yogyakarta. Lukisan dokumentasi tersebut serta berbagai foto yang menggambarkan Pasar Ngasemlah yang akan menjadi modal bahan cerita kepada para generasi penerus yang mungkin akan terkagum-kagum dengan nuansa kehangatan di Pasar Ngasem yang tidak akan pernah mereka temui lagi di masa mendatang....

Foto dan Teks: Ferganata Indra Riatmoko
http://cetak.kompas.com/

Rabu, 19 Mei 2010

WEDANG UWUH


RASA nikmat dan segar langsung terasa sesaat setelah merasakan minuman wedang uwuh di tempat parkir makam raja-raja Mataram di Imogiri. Tak hanya nikmat, minuman ini juga sangat berkhasiat tinggi. Di antaranya dapat membuat tubuh kembali segar dan meningkatkan ketahanan tubuh saat beraktivitas.

Wedang uwuh bukanlah minuman mengandung zat kimia, melainkan hidangan yang bahan-bahannya diambil dari dedaunan kering di sekitar makam Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan makam-makam lainnya di kompleks Imogiri. Campuran untuk membuat wedang uwuh adalah kayu secang, daun pala, daun kayu manis, daun cengkeh, jahe dan ditambah gula.

“Ramuan aslinya hanya jahe, daun pala, daun kayu manis, dan daun cengkeh plus gula. Tapi kemudian kami kreasikan sendiri dengan menambah kayu secang,” demikian jelas Windarno, penjual wedang uwuh di tempat parkir makam Imogiri, kepada Jogjapolitan.com di kios tempatnya berjualan.

“Kayu secang inilah yang membuat warna wedang uwuh jadi merah,” kata Windarno lagi. “Kalau tidak pakai secang, gula yang dipakai gula jawa. Tapi kalau memakai secang, maka gulanya gula batu,” tambahnya.

Sejak Jaman Sultan Agung
Wedang uwuh adalah minuman rakyat yang telah dikenal sejak masa Sultan Agung. Windarno menceritakan, setelah berhasil menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628, Sultan Agung mulai membangun kompleks makam Imogiri setahun kemudian. Sultan Agung lantas menanam sebatang pohon cengkeh yang diberi nama Kyai Dudo. Dari pohon inilah daun cengkeh yang menjadi bahan wedang uwuh diperoleh.

Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali membuat ramuan wedang uwuh. Namun yang jelas minuman ini mulai diperkenalkan secara luas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebelum masa Sri Sultan HB IX wedang uwuh hanya khusus dihidangkan untuk tamu-tamu kraton yang datang melayat ke Imogiri. Itupun hanya bisa didapatkan di masjid Imogiri saja.

Windarno adalah orang pertama yang berjualan wedang uwuh kemasan. Awalnya ia berjualan di sebelah timur makam Sri Sultan HB IX, tepatnya di sebelah luar gerbang timur makam. Mulai tahun 1997 ia berjualan di bawah, di tempat parkir.

Bagi Windarno berjualan wedang uwuh tak hanya berdagang saja, tapi juga turut melestarikan warisan nenek moyang. Karena itu ia selalu berusaha untuk menjaga mutu serta keaslian rasa wedang uwuh. Keaslian rasa wedang uwuh mampu menciptakan suasana yang khas, aromanya pun kental akan nuansa spiritual. Tak heran bila wedang uwuh selalu membuat penasaran pembelinya.

(Sumber: Jogjapolitan.com)