Lokasi Pengoenjoeng Blog

Jumat, 26 November 2010

BURUNG DODO


Burung dodo ini sudah lama punah. Kalau melihat tampangnya yang lucu itu saya bisa maklum kenapa burung itu punah. Boleh jadi si Dodo itu banyak ditangkap orang, bukan untuk disantap karena dagingnya tidak enak, tapi untuk dijadikan mainan saking imut dan lucunya. Lha kalau burungnya dimainin terus, mana sempet dia kawin dan berbiak?

Begitu kira2...

Rabu, 28 Juli 2010

SAXOPHONE AGAWE RUKUN


Saxophone Agawe Rukun. Ya, ini judul yang tepat untuk menggambarkan betapa rukun dan mesranya dua sejoli ini. Dan boleh jadi semua itu berkat si saxophone. (Lho, opo hubungane?)

(Gbr. dari Google Image).

Selasa, 20 Juli 2010

TEMPIK SORAK

Saya tidak tahu apakah kata "tempik sorak" yang bermakna tepuk sorak sorai itu ada dalam kamus bahasa Indonesia atau tidak. Tapi yang terang buku pelajaran bahasa Indonesia kala saya SD dulu memuat banyak kata tempik sorak itu.

Uniknya, teman2 dan juga saya tidak pernah berani "membunyikan" kata tempik sorak. Setiap kali disuruh pak guru membaca keras2 suatu cerita yang mengandung kata itu, maka kita akan melewatkannya. Mengapa begitu? Karena meskipun kita masih bocah, tapi kita sudah mengerti bahwa kata "tempik" bagi masyarakat Jawa Tengah bermakna sesuatu yang tidak senonoh untuk diucapkan. Sehingga kata tempik sorak akan dibaca sebagai sorak saja, tempiknya diabaikan.

Ada2 saja.

Kamis, 01 Juli 2010

FRIDAY JAZZ NITE, new


FRIDAY JAZZ NITE... 2 july 2010 @ psr seni ancol.... perform with UTHA L , BERTHA n AUDENSI BAND jam 19 00 - 21 00.. dilanjutkan nonbar world cup BRAZIL vs BELANDA .....

Begitu kabar dari mas Didik SSS lewat Facebook.

Ya, setelah lama mati suri, Friday Jazz Nite di Pasar Seni Ancol kini hadir kembali. Asyiiik...

Minggu, 13 Juni 2010

Akhir Riwayat Pasar Ngasem


Kesunyian sejenak hinggap di antara puing-puing sisa bangunan Pasar Ngasem, Yogyakarta, yang ditinggalkan penghuninya mulai Kamis (22/4). Tidak ada lagi kicau dan bau khas burung yang biasa disimpan di dalam sangkar dan digantungkan di atap kios para pedagang burung. Saling senggol antarpengunjung di lorong-lorong yang sempit tak lagi terjadi dan debat transaksi jual-beli burung pun tak terdengar lagi.

Mendekati pengujung April 2010, sebanyak 287 pedagang burung yang sebelumnya memanfaatkan Pasar Ngasem sebagai tempat mencari nafkah dipindahkan ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Dongkelan. Di bekas pasar seluas 6.136 meter persegi tersebut akan dibangun pasar tradisional dan pasar suvenir yang terintegrasi dengan kompleks wisata Tamansari.

Pemindahan tersebut tak ayal menghilangkan pesona Pasar Ngasem yang menghadirkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Saat ramai pengunjung, sering kali terlihat wisatawan asing yang turut berkeliling pasar sekadar untuk mengabadikan suasana. Daya tarik itu pula yang membuat Pasar Ngasem dahulu menjadi tempat latihan melukis sketsa aktivitas pasar oleh para mahasiswa baru Institut Seni Indonesia (dulu masih bernama STSRI atau ASRI).

Meskipun harus mengorbankan pasar yang telah menjadi salah satu ikon Yogyakarta tersebut, pemindahan pedagang Pasar Ngasem tetap tidak terhindarkan demi mendukung perkembangan industri pariwisata Yogyakarta. Pemindahan tersebut juga berlangsung mulus tanpa gejolak perlawanan dari pedagang. Bahkan, kegiatan melukis bersama yang diikuti anak-anak serta sejumlah pelukis kawakan turut menyemarakkan rangkaian acara pemindahan pasar tersebut.

Kegiatan melukis bersama tersebut ditujukan untuk mendokumentasikan pasar yang telah mewarnai sejarah Kota Yogyakarta. Lukisan dokumentasi tersebut serta berbagai foto yang menggambarkan Pasar Ngasemlah yang akan menjadi modal bahan cerita kepada para generasi penerus yang mungkin akan terkagum-kagum dengan nuansa kehangatan di Pasar Ngasem yang tidak akan pernah mereka temui lagi di masa mendatang....

Foto dan Teks: Ferganata Indra Riatmoko
http://cetak.kompas.com/

Rabu, 19 Mei 2010

WEDANG UWUH


RASA nikmat dan segar langsung terasa sesaat setelah merasakan minuman wedang uwuh di tempat parkir makam raja-raja Mataram di Imogiri. Tak hanya nikmat, minuman ini juga sangat berkhasiat tinggi. Di antaranya dapat membuat tubuh kembali segar dan meningkatkan ketahanan tubuh saat beraktivitas.

Wedang uwuh bukanlah minuman mengandung zat kimia, melainkan hidangan yang bahan-bahannya diambil dari dedaunan kering di sekitar makam Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan makam-makam lainnya di kompleks Imogiri. Campuran untuk membuat wedang uwuh adalah kayu secang, daun pala, daun kayu manis, daun cengkeh, jahe dan ditambah gula.

“Ramuan aslinya hanya jahe, daun pala, daun kayu manis, dan daun cengkeh plus gula. Tapi kemudian kami kreasikan sendiri dengan menambah kayu secang,” demikian jelas Windarno, penjual wedang uwuh di tempat parkir makam Imogiri, kepada Jogjapolitan.com di kios tempatnya berjualan.

“Kayu secang inilah yang membuat warna wedang uwuh jadi merah,” kata Windarno lagi. “Kalau tidak pakai secang, gula yang dipakai gula jawa. Tapi kalau memakai secang, maka gulanya gula batu,” tambahnya.

Sejak Jaman Sultan Agung
Wedang uwuh adalah minuman rakyat yang telah dikenal sejak masa Sultan Agung. Windarno menceritakan, setelah berhasil menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628, Sultan Agung mulai membangun kompleks makam Imogiri setahun kemudian. Sultan Agung lantas menanam sebatang pohon cengkeh yang diberi nama Kyai Dudo. Dari pohon inilah daun cengkeh yang menjadi bahan wedang uwuh diperoleh.

Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali membuat ramuan wedang uwuh. Namun yang jelas minuman ini mulai diperkenalkan secara luas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebelum masa Sri Sultan HB IX wedang uwuh hanya khusus dihidangkan untuk tamu-tamu kraton yang datang melayat ke Imogiri. Itupun hanya bisa didapatkan di masjid Imogiri saja.

Windarno adalah orang pertama yang berjualan wedang uwuh kemasan. Awalnya ia berjualan di sebelah timur makam Sri Sultan HB IX, tepatnya di sebelah luar gerbang timur makam. Mulai tahun 1997 ia berjualan di bawah, di tempat parkir.

Bagi Windarno berjualan wedang uwuh tak hanya berdagang saja, tapi juga turut melestarikan warisan nenek moyang. Karena itu ia selalu berusaha untuk menjaga mutu serta keaslian rasa wedang uwuh. Keaslian rasa wedang uwuh mampu menciptakan suasana yang khas, aromanya pun kental akan nuansa spiritual. Tak heran bila wedang uwuh selalu membuat penasaran pembelinya.

(Sumber: Jogjapolitan.com)

Warung Makan NESU MULIH



Warung makan Nesu Mulih. Ya itulah nama yang unik untuk sebuah warung makan di nDalem Notoprajan Jogja. Menu utamanya Gemak dan Dara bacem. Warung itu sudah ada di sana sejak puluhan tahun lalu.

Nama "Nesu Mulih" itu didapat dari para pelanggannya, penggemar baceman gemak dan burung dara. Dulu, saking enak dan empuknya si dara (dan si gemak/puyuh), para pelanggan sampai antre. Sudah ngantri pun kadang mereka masih tidak kebagian juga. Nah terpaksalah mereka yang tiwas antre itu pulang dengan tangan hampa, dengan hati kesal alias "nesu mulih".

Unik ya.

Senin, 03 Mei 2010

ANJING SAYA


Punya anjing, selain menggembirakan ada juga hal yang menrenyuhkan hati, yakni saat anjing2 kesayangan yang selalu menemani hari2 harus pergi untuk selama lamanya karena usia tua. (Rata2 usia anjing 12 tahun). Dan mengubur jasad anjing itu sudah sering saya lakukan karena sepanjang hidup saya tak pernah putus memeliharanya. Tidak hanya satu atau dua ekor, tapi ada puluhan, ada berekor ekor anjing peliharaan.

Tak lupa, setiap kali menguburkan saya berdoa (anjing saya Katholik): “Ya Tuhan, terimalah anjing saya ini di kerajaaMu yang jaya, karena selama hidupnya dia hanya menghabiskan waktu untuk mencintai dan menyenangkan hati saya….”

Sungguh, ternyata saya adalah segalanya baginya, bagi anjing itu. Dan setiap saya menyadari hal itu, menitiklah air mata. Ihik ihik…

Kamis, 01 April 2010

BAR CODE


Menurut berita dari Google, bar code (itu lho sederetan garis tebal dan tipis vertikal) tahun ini telah berusia lebih dari setengah abad, karena penemuan itu dipatent-kan pada tanggal 7 Oktober 1957. Penemuan itu telah merevolusikan dunia business sehingga menjadi amat efisien. Kita tak dapat membayangkan membeli barang dari toko tanpa adanya bar code!

Namun, meskipun usia penemuan bar code sudah lebih dari setengah abad, di Indonesia pemanfaatannya belumlah lama. Bahkan 15 tahun lalu kode bar itu belum dipakai oleh, misalnya pabrik kosmetik, yang pernah saya tangani. Saya tidak tahu bagaimana situasinya di negara2 lain.

Penemu barcode itu adalah seorang Amerika bernama Bernard Silver yang sayang telah meninggal dunia pada tahun 1962 karena kecelakaan mobil sebelum penemuannya menguasai dunia.

Penemuannya semula tidak langsung diterima, tetapi untuk menyingkat cerita panjang, setelah penemuan itu (diciptakan 1949!) dibeli oleh IBM dan maka sedikit demi sedikit penemuan ini menyebar.

Anehnya bahkan di AS sendiripun pemakaian secara publik baru mulai pada tahun 1973. Barang dagangan pertama yang dijual menggunakan barcode adalah permen karet Wrigleys, maklum barang itulah yang paling laris di sana. Sejak itu kepraktisan penemuan ini menyebar ke seluruh dunia.

Dan inilah kisah perkembangannya secara singkat di Australia.
1978 APNA atau The Australian Product Numbering Association mulai, artinya barcode secara bertahap akan mulai disebarluaskan

1979 Rowntree Hoadley (merek perusahaan premen/manisan terkemuka) adalah pemakai pertama yang mencatatkan diri.

1984 Sebanyak 962 anggota APNA telah mendaftarkan diri

1986 Sebanyak 500 pusat perbelanjaan di seluruh Australia menggunakan barcode dan 90% barang grosir yang dijual di Australia sudah memakai barcode.

1988 Department store Grace Bros di NSW, dan Kmart di Victoria sudah menggunakan barcode

Jadi di Oz usia penggunaan baru lima tahun setelah AS memulainya.

Nah, adakah Anda ingat kapan melihat tanda barcode di Indonesia yang paling awal? Begitulah Lik Sopo Kae bertanya.

Jumat, 19 Februari 2010

BECAK JOGYA KAGAK ADE MATINYE


Dikala becak diburu, dimusnahkan dan dilarang beroperasi di Jakarta, Jogya justru membiarkan dirinya disebut sebagai "kota becak". Kenapa begitu? Pengin tahu?

Jogya memang istimewa, lain dari yang lain. Ketika becak di Jakarta sedang gencar dirumponkan, Sri Sultan HB IX justru menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Ya, keberadaan becak di Jogya telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Dalam wilayah turisme misalnya, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu wisata, para penjual kerajinan, penjual makanan dan oleh2, galeri, hotel, toko souvenir, para abdi dalem Kraton, bahkan dengan pelacuran.

Pada kemunculannya pertamakali di Indonesia, becak dielu elu dianggap sebagai arena lapangan kerja baru. Namun selanjutnya becak ditolak kehadirannya justru karena kelenturannya yang luar biasa sebagai penampung pencari kerja yang datang ke kota, yang dianggap "membahayakan" pembangunan kota moderen. Aneka alasan seperti becak tidak manusiawi kek, becak sumber kemacetan kek, dipakai untuk meminggirkan, untuk meniadakan becak dari kehidupan kota. Menyanggah dengan mengatakan bahwa becak itu merupakan moda transportasi yang manusiawi dan ramah lingkungan, namun tanpa diimbangi dengan pemahaman becak sebagai bagian dari sejarah kota itu, bakalan sia2 deh. Mengatakan sanggahan demikian justru semakin menegaskan bahwa becak memang rentan terhadap pemusnahan. Dan itulah yang telah terjadi di kota besar. Seperti di Ibukota Jakarta sejak beberapa puluh tahun lalu becak dilarang beroperasi.

Namun lain cicak lain buaya, lain becak di Jogya lain di Jakarta. Di Jogya becak bukan semata-mata perkara transportasi yang tidak manusiawi ataupun perkara mobilitas "wong cilik" yang memacetkan jalanan dan menyesaki ruang kota, tetapi antara becak dan kota Jogya, keduanya memang saling menghidupi saling melengkapi, sudah bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, kayak mimi lan mintuno. Gitu loh…

Perjalanan sejarah becak di Jogya dimulai sebelum Perang Dunia II. Dan selama beberapa tahun setelahnya, becak dapat diterima dengan baik sebagai alat transportasi. Banyak tenaga pengayuh yang terserap. Ongkosnyapun relatif murah. Lebih cepat dari berjalan kaki dan relatif nyaman. Dikala hujan, penumpang tidak kehujanan, dikala panaspun tidak kepanasan, lha wong ada atap terpalnya. Yang jelas becak merupakan alat transportasi yang lebih baik dari yang ada sebelumnya untuk memecahkan masalah transportasi dengan jarak yang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya bisa mengangkut orang tapi becak juga bisa mengangkut barang. Jadi becak merupakan alat angkut orang dan barang yang nir energi, nir polusi dan "teleknya" tidak mengotori (jika dibandingkan dengan andong).

Pernah becak jadi raja jalanan. Tapi itu dulu sewaktu belum ada angkot, taxi maupun ojek. Kala itu becak banyak berseliweran di sela sepeda pribadi, beberapa motor pribadi, segelintir mobil pribadi, andong serta gerobak sapi. Pengusaha rental becak berjaya. Dan saya juga masih ingat dulu di sebelah rumah, di Kemetiran Kidul dekat Malioboro, ada garasi merangkap bengkel becak milik Bah Mbing. Saya yang masih ABG demen nongkrong di situ melihat pak Man Juru Gambar, salah satu pekerjanya, bekerja menggambari slebor2 becak. Slebor itu tidak hanya digambari pemandangan gunung kembar, Merapi dan Merbabu, tapi juga ditulisi dengan aneka slogan, Adem Ayem, Ayem Tentrem, Waton Ayem, dsb.Wiih, unik banget.

Oleh Bah Mbing becak2 yang puluhan jumlahnya itu disewakan ke para tukang becak yang berasal dari desa pinggiran Jogya, dari mBantul, ngGanjuran, Palbapang, nDenggung, Sentolo, Prambanan, mBayat, Wonosari dsb. Tidak siang tidak malam becak2 itu laris tersewa. Mereka, para tukang becak, biasa mangkal di Stasiun, di Pasar, di Stanplat, di Malioboro, di depan hotel atau dimana saja tempat yang ramai orang. Di pagi hari kita bisa melihat becak dikayuh tergesa mengantar anak berangkat sekolah dan siang harinya menjemput pulang. Atau kita bisa melihat Pak Paijan ngos2an nggenjot becak mengantar Mbokde Setu Legi (setengah tuwo lemu ginuk2) menuju ke pasar dan sorenya menuju pulang.

Kostum pak becak teramat sederhana. Nyeker, bercelana kolor, berbaju seadanya dan bercaping. Mereka berpakaian seadanya seperti itu karena mereka memang bukan orang yang berada. Umumnya mereka hanya punya modal dengkul (dalam arti harafiah). Sehingga kalau becak kemudian diindentikkan dengan kehidupan rakyat kecil, dengan kemisikinan, itu memang tidak keliru. Yo pancen begitulah kenyataannya waktu itu, mau bilang apa?

Jamanpun berkembang, roda2 berputar kian kencang. Sepeda onthel yang dulu digeos kethowal kethawil dan mlakune thimik2 kini telah digantikan oleh pit montor alias sepeda motor, gerobak sapi salin rupa jadi Kijang pikep, andong jadi angkot. Kini tak lagi terdengar glodhak glodhek suara roda besi pedati, tak sering lagi terdengar dag dig dug suara sepatu kuda. Yang santer terdengar adalah suara ingar bingar deru mesin, bunyi raungan knalpot serta prat pret bunyi klakson kendaraan2 bermotor. Dan di lingkungan nan hiruk pikuk seperti itulah becak itu berada. Piye Jal?

Kalau di tempat lain jangan harap becak dapat selamat dari seleksi alam yang super ketat macam begitu. Lambat laun becak bakal tergusur tergantikan oleh jenis angkutan lain yang lebih ampuh dan lebih bisa wes ewes bablas ngebut. Tapi untunglah berkat sejarah kota Jogya yang istimewa, Jogya sebagai kota budaya dan sebagai daerah tujuan wisata maka kita boleh berharap keberadaan becak di Jogya akan bisa langgeng lestari senantiasa hingga nanti sepanjang masa, sepanjang usia kota Jogya. Wis jan, Jogya pancen oye, kata dalang ki Manteb. Jogya never ending Asia, kata Sri Sultan. Dan kata orang Betawi dengan nada setengah ngiri: "Becak Jogya kagak ade matinye, ni yeee…"

Berwisata ke Jogya, kurang afdol kalau tidak kiya kiya berbecak ria raun raun kota. Bener lho. Bahkan sekarang dengan ongkos yang super murah kita sudah akan dikelilingkan oleh pak becak ke berbagai toko cenderamata, toko batik, toko buah tangan dsb. yang tersebar di seantero Jogya. Tentang hal itu ada seorang turis mancanegara, Lemaire namanya, yang mengamati dan menulis begini:
"Saya selalu bertanya tanya mengapa tukang becak di sekitar Kraton lebih ramah daripada tukang tukang becak yang lain, dan menawarkan layanan mereka seharga hanya Rp1.000,00, Kenyataannya adalah tukang tukang becak ini dapat membawa para turis ke berbagai toko yang berbeda, dan di sana mereka mendapatkan komisi dari setiap barang yang dibeli oleh sang turis. Uang yang mereka dapatkan dari komisi ini biasanya lebih tinggi daripada ongkos becak sesungguhnya. Sistem komisi ini pun ada pada skala yang lebih tinggi: beberapa tukang becak, yang bekerja di sekitar Sosrowijaya pada malam hari, "mampu membaca mata lelaki", dan membawa para lelaki ini ke rumah rumah bordil di "SARKEM" di sekitar situ. Mereka biasanya menerima komisi sebesar Rp30.000,00 untuk setiap klien yang mereka bawa."

Nah, sekarang baru ketahuan bahwa ternyata dimungkinkan adanya hasil "sampingan" yaitu komisi, tip ataupun bingkisan, yang lumayan dari kerja narik becak di Jogya. Sehingga kita tidak perlu heran kala menyaksikan seorang tukang becak yang berwajah cerdas, berkostum pantas, berkalung handphone, punya alamat email ataupun face book dan bahasa Inggris serta Belandanya cas cis cus. Itulah dia profil si abang pemandu "becak wisata" masa kini. Citra lama sosok tukang becak yang kusut, kumuh, susah, menderita, tak berpendidikan, tak berketrampilan dsb, luruh sudah. Digantikan oleh para mas mas (atau nantinya juga mbak mbak?) tukang becak yang piawai memandu para pelancong lokal maupun interlokal. (Saxjannya tipe tukang becak yang merangkap jadi guide itu lebih cocok lho kalau dijuluki "Gaet Genjot". He he…. ).

Dan tempo hari sewaktu saya dari Jakarta tiba di stasiun Jogya saya sempat merasakan keramahan salah seorang mas tukang becak itu. Ditengah kerumunan para tukang becak yang menawarkan jasa, saya mendengar sapaan menggelikan.
"Pakde, pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk." Saya tertarik, mendekat dan bertanya:"Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk?"
"Soalnya becak saya pakai tiga roda," jawabnya sembari menyanyi lucu sekali: "Nyamuk sini cuma takut tiga roda, toret toret…." "Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuk" batin saya.
"Yo wis ayo tarik. Menyang mBadran piro? Seket ewu yo". kata saya . "Lah, kebanyakan Pakde" katanya. "Yo gak apa. Sepuluh ewu dinggo mbayar mbecake, patang puluh ewu dinggo dagelane". Dan kami berduapun tertawa ngkik3x.

Tujuh menit kemudian sampailah saya ke tempat tujuan, yaitu mBadran Cafe Jinemji.

Wis ngono wae…
(Studi dari berbagai sumber).

Senin, 15 Februari 2010

PROFESI PERAMAL, KAGAK ADE MATINYE


Kegiatan ramal-meramal telah ada sejak awal sejarah. Dulu, meramal kerap diasosiasikan dengan suasana yang seram, ruang peramal yang gelap, sempit, dan dipenuhi asap dupa. Ditambah dengan aksi peramal yang tak kalah menegangkan. Namun kegiatan meramal ternyata juga berubah, sesuai perkembangan zaman, terutama di Jakarta. Kegiatan tersebut kini memasuki trend baru, yaitu diadakan di kafe-kafe.

Di kafe, ramalan tampaknya lebih ditujukan sebagai sebuah bentuk hiburan. Para peramalnya pun rata-rata berusia muda, dan berdandan modis. Sementara pengguna jasanya juga biasanya hanya sekedar ingin tahu masa depan, tanpa sungguh-sungguh memasukkan ramalan tersebut ke dalam hati. Ini tidak berbahaya. Yang berbahaya, adalah jika orang tersebut menjadi takut, dan melakukan usaha yang tidak sepantasnya.

Psikolog menilai, orang yang datang ke peramal, apakah untuk melihat masa depannya, ataukah untuk minta tolong diberikan jalan untuk mencapai cita-citanya, tidak memiliki rasa percaya diri. Namun bagi Bulik Sopo Kae, seorang peramal, mereka yang datang kepadanya bukannya tidak memiliki rasa percaya diri, melainkan mencari teman berbagi cerita yang tidak berpihak.

Melihat masa sekarang ataupun masa depan, dengan medium kartu, tanggal lahir dan punggung tangan, ataupun kartu tarot, dengan kesurupan ataupun tidak, di ruang khusus ataupun sekedar kafe, nyatanya profesi peramal pada umumnya, memang senantiasa dibutuhkan orang. Sampai kapanpun, keingintahuan orang akan hidup dan kehidupannya memang tak akan pernah terpuaskan. Di sisi lain, nyatanya membuka peluang usaha baru.

Gitu deh…

Kamis, 04 Februari 2010

GENJER2 BIKIN MERINDING…

Pengantar:
Syair lagu Genjer2 itu ternyata telah diplesetkan sedemkian rupa oleh PKI. Sehingga seiring dengan penumpasan organisasi politik itu pada tahun 1965, lagu Genjer2 versi PKI dilarang edar. Dan adalah seorang kanak2 yang berhasil merekam serta menuangkan kembali ingatannya akan peristiwa ngeri yang disaksikannya diseputar pembersihan anggota PKI pada waktu itu, lebih dari 40 tahun lalu. Berikut ini kisah lama yang ditulisnya sendiri baru2 ini.


Lagu ini telah banyak membuat orang traumatis pada era setelah tahun 65. Terutama pada saat "pembersihan" orang2 yang dituduh berfaham komunis (PKI). Jangankan menyanyikan, mendengarkan saja (lewat PH atau pita gulung) sudah sangat takut, apalagi menyimpan piringan hitam atau pitanya. Bahkan menyebut nama lagunyapun dengan setengah berbisik, takut kedengaran orang dan diciduk.

Pada masa jayanya PKI lagu itu dinyanyikan para gadis sambil menari-nari. Saya hanya ingat sedikit, capet2 lah, karena masih kecil dan belum sekolah, mustinya generasi di atas saya tahu persis soal ini, termasuk sepak terjang PKI waktu itu. Yang saya ingat pada era pencidukan, bukan hanya militer, tetapi juga massa. Ayah saya yang seorang anggota polisi saja tidak mampu berbuat banyak ketika massa menyerbu rumah seseorang yang diindikasikan anggota organisasi terlarang itu.

Tidak jauh dari rumah saya ada bekas bangunan markas Belanda yang dikelilingi tembok setinggi 3 meter lebih. Setiap pukul 6.00 sore selalu terdengar lolongan orang kesakitan dan minta tolong. Ini bukan cerita hantu, tetapi penyiksaan orang2 yang diciduk, terutama anggota gerwani.

Miris dan sangat miris, tapi semua orang dewasa hanya bisa diam dan semakin membuat suasana menakutkan serta trauma berkepanjangan. Semua berlalu begitu saja, pengadilan tidak lagi berperan dan yang tewas hanya dibungkus tikar, entah dikubur di mana.

Sisa2 kekejian satu dua tahun kemudian masih terlihat di beberapa tempat, salah satunya di sungai pasir Pandan Simping. Sungai yang penuh pasir Merapi (lebih tinggi dari jalan di sampingnya) ini terletak di perbatasan Klaten-Prambanan. Saya masih ingat, sekitar tahun 68-69 sering bersama ibu berziarah ke Goa Maria Sendang Sriningsih. Kami harus melewati sungai pasir itu dan sisa2 kekejaman masih nampak, tulang belulang manusia, termasuk tengkorak berserakan di sungai yang tidak kelihatan airnya itu. Sebuah pemandangan yang tidak sehat bagi kejiwaan seorang anak berusia 8-9 tahun. Bukti2 ini sekarang sudah tidak nampak lagi, sungai itu sudah kehilangan pasirnya. Dan tulang belulang juga lenyap terseret air banjir.

Sebuah era yang menakutkan, mendengar lagu itu saya masih merinding dan rasa takut masih terasa di kudukku. Membayangkan orang2 desa berlari diberondong peluru dan yang tertangkap disuruh menggali lubang kuburnya di kali pasir dan dipenggal, cerita sehari2 yang mewarnai hari2 "pembersihan" itu sekarang sudah ikut terkubur zaman.

Oleh: Awe Subarkah

Selasa, 26 Januari 2010

LAGU GENJER2 KAGAK ADE MATINYE

Ada orang bilang lagu "Genjer2" itu ciptaan Ki Narto Sabdo. Tapi orang lain bilang lagu itu karya M. Arief, seorang seniman asal Banyuwangi yang terinspirasi oleh kondisi Banyuwangi yang saat itu, sekitar tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang mengalami kemiskinan yang luar biasa akibat diambil sumber pangannya untuk kepentingan perang Jepang. Banyuwangi yang dulunya adalah daerah yang surplus akan makanan menjadi kekurangan pangan. Masyarakat akhirnya memasak tanaman bernama genjer (limnocharis flava) yang sebelumnya hanya menjadi tanaman liar di sawah, pakane para memedi sawah.

Terlepas siapa penciptanya, yang terang lagu genjer2 itu enak didengar. Saking enaknya sampai2 Iwan Fals pun tergoda untuk memungut irama lagu genjer2 itu untuk dibuat menjadi lagu berjudul Wakil Rakyat. Dan terlepas juga dari soal apakah Iwan Fals telah menyontek irama lagu itu atau tidak, yang terang syair lagu Wakil Rakyat itu cukup tajam dalam memotret "wajah wakil rakyat" kala itu.

Dan omong2, akankah genjer2 itu nantinya bakal menjadi lagu jadul? Saya rasa tidak lah yauw. Lagu genjer2 bakal menjadi lagu abadi sepanjang masa seperti halnya "kemiskinan" di negeri ini yang juga selalu ada di sepanjang masa…

Dan inilah syair lagu GENJER GENJER itu.

Genjer-genjer nong kedhokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedhokan pating keleler
Emake thole teko-teko mbubuti genjer
Emake thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing thole-thole
Genjer-genjer sak iki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
dijejer-jejer diuntingi podho didasar
dijejer-jejer diuntingi podho didasar
emake jebeng podho tuku nggowo welasan
genjer-genjer sak iki arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedange umup
Gendjer-gendjer mlebu kendhil wedange umup
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sak piring sambel pecel ndhok ngamben
genjer-genjer dipangan musuhe sega.

Lha kalau yang ini adalah sepenggal syair lagu berjudul WAKIL RAKYAT yang (katanya) dikarang oleh Iwan Fals.

C Am C Am
Wakil Rakyat seharusnya merakyat
D F G C
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Am C Am
Wakil Rakyat bukan paduan suara
D F G C
Hanya tahu nyanyian lagu setuju.

Wis ngono wae...

Rabu, 20 Januari 2010

KARTU REMI KAGAK ADE MATINYE


Playing Cards namanya. Namun kita mengenalnya sebagai kartu remi. Dalam satu pak yang jumlahnya 52 lembar, ada empat jenis kartu (suit) yang berbeda: wajik, hati, sekop, dan keriting. Masing-masing jenis terdiri dari kartu berangka 2 sampai 10 serta kartu As, King, Queen, dan Jack. Selain itu, ada dua kartu tambahan; kartu Joker hitam dan merah.

4 macam ini artinya apa? Mengapa kok sekop, hati, wajik dan keriting? Ya entahlah, kata Papi ISS di Majalah Papyrus. Tapi ada dua warna: hitam dan merah melambangkan malam dan siang dalam sehari. 4 macam itu 4 musim dalam setahun. Jumlahnya satu warna ada 13 macam dari As sampai 10 ditambah jack, queen dan king. Yang paling ampuh yang ujung ujung tapi yang terampuh ya AS, alias 1. King yang nomor 13 saja kalah sama nomor 1.

13 x 4 = 52 itu melambangkan setahun ada 52 minggu. Dan kalau dihitung 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7 + 8 + 9 + 10 + 11 + 12 + 13 = 91. Karena ada 4 jenis maka total 91*4 = 364, lalu ada tambahan dua kartu joker yang jarang dipakai menjadi 364 + 1 = 365 atau ditambah 2 menjadi 366 yang melambangkan hari dalam setahun.

Ini waktu bikin apa ya sudah mikir sampai kesini apa cuma gotak gatuknya orang jaman sekarang ya?

Yo embuh. Yang terang, mula dulu Playing Cards merupakan benda koleksi kaum borjuis. Setiap lembar kartu merupakan karya seni yang tak ternilai harganya. Setiap kartu dilukis secara manual (hand-painted) dan tak jarang dihiasi emas. Di tangan para seniman, kartu-kartu ini menjadi barang berharga tak ternilai. Thomas De La Rue (1793 – 1866) dan Charles Goodall (1785 – 1851) merupakan dua seniman kartu yang cukup tersohor di era Victorian. Konon, koleksi kartu rancangan De La Rue ini laku terjual sebesar 12.000 poundsterling dalam sebuah lelang di Spanyol pada tanggal 30 November 1970.

Setelah ditemukannya mesin reproduksi warna pada awal abad 19, kartu-kartu ini tak lagi dilukis secara manual. Playing Cards mulai diproduksi secara massal. Disain kartu double-ended karya Goodall yang dilahirkan pada tahun 1860 merupakan disain kartu remi yang paling banyak diproduksi di seluruh jagad. Dan yang menarik dari kartu remi itu antara lain pada gambar King, Queen, dan Jack yang selalu simetris jungkir balik.

Selain untuk bermain remi, poker, bridge dsb., kartu remi itu juga menjadi bagian dari seni sulap.

Ya, kartu remi dari jaman dulu hingga sekarang memang kagak ade matinye, tetap disuke tetap bergune.

Gitu deh…

(Gambar dari google image)

Kamis, 14 Januari 2010

NAIK KERETA API, preeeettt.


Ke Jogja saya paling suka naik kereta api. Bukan kereta kelas istimewa tapi kelas ekonomi, terutama kalau berangkat pergi sendirian. Dari dulu sampai sekarang ya begitu itu.

Meskipun itu kereta kelas rakyat, namun bagi saya terasa istimewa. Mengapa? Jalarannya KA itu tidak ber AC sehingga saya bisa bebas merokok klepas klepus. Kalau itu KA malam, saya bisa melihat para penumpang menggeletak tidur di kursi maupun di lantai kereta. Merekapun tidur pulas, sepulas mereka yang tidur di kasur empuk kamar berpendingin. Sama sekali mereka tidak terganggu oleh lalu lalangnya para pedagang asongan di dalam kereta.

Ya, di kereta api ekonomi, siang ataupun malam, pedagang bebas berjaja dari gerbong ke gerbong. Dagangannya beraneka, dari kopi panas, wedang jahe, tempe kripik, buku TTS (dan sudoku), kacamata baca, piranti “kerokan”, koran bekas, kipas tangan, air aqua, rokok, permen, tisu, nasi rames, pecel, kacang kulit, hingga jual jasa memijat. Bisa dibayangkan betapa riuh rendahnya suara. Ada deru angin, ada suara roda besi menerjang sambungan rel, ada suara para pedagang meneriakkan dagangan, ada suara cekikikan sejoli yang sedang pacaran, ada suara orang “ndremimil” minta sedekah, dan ada orang ngamen genjrang genjreng memetik gitar sambil bernyanyi sumbang. Dan saat KA tiba di tiap stasiun dan akan kembali berangkat, kita akan mendengar suara khas sinyal tanda keberangkatan: ting tung teng tong…, tong teng ting tung (mi do re sol…, sol re mi do), disusul oleh bunyi peluit dan klakson kereta, preeeettt.

Sungguh, saya sangat menikmati perjalanan dengan kereta api semacam itu. Kapan ya dulurs terakhir naik KA?

Piye Jal?