Dalam selera Jawa asli kalo rambut tidak ireng njanges maka rambut itu tidak dianggap "menarik secara asli". Tetapi ketika saya lihat banyak orang berwajah Asia atau bekulit tidak putih memamerkan rambut pirang (kuning emas) atau merah gelap (burgundy), maka kesan saya jijik, karena tidak cocok dengan apa yang didapati di alam koderat nyata. Saya lihat orang Jepang dan Cina juga tiru-tiru bermode berambut pirang (meskipun rambut mereka sudah cukup pirang-pirang!). Begitu kata Papiray.
Ya, jaman sekarang soal mewarnai rambut bukan lagi didominasi oleh kaum papi generasi silver, generasi beruban. Anak2 muda pun melakukannya, mewarnai rambutnya menjadi pirang, merah, dsb. Sehingga ada julukan khas bagi mereka, yaitu generasi LKMD (Londo Kok Mung nDase).
Ada2 saja...
Lokasi Pengoenjoeng Blog
Selasa, 27 Oktober 2009
Rabu, 21 Oktober 2009
BEETLE ALIAS KODOK, KUNTUL ALIAS BEBEK
Ini soal nama alias untuk kendaraan. Julukan resmi untuk mobil unik buatan Jerman ini adalah VW BUG atau VW BEETLE, tapi dia juga punya nama alias yakni: VW KODOK.
Seorang teman menambah daftar nama alias ini. Katanya, mobil Suzuki Jimny keluaran pertama bentuknya kecil sederhana, orang menyebutnya JIMNY JANGKRIK atau JIMNY KOTRIK. Kemudian Toyota Kijang juga, yang keluar pertama disebut KIJANG DOYOK, KIJANG BLEK KRUPUK, dsb. Terus sepeda motor HONDA C70 juga disebut sebagai HONDA KUNTUL atau BMW C70 (Bebek Merah Warnanya C70), Yamaha bebek V80 keluaran tahun 1982-83 banyak yang menyebut YAMAHA KULKAS, YAMAHA ROBOT. Honda CB 100 keluaran tahun 1972-73 disebut CB Plangkok, sementara CB 100 (seperti dalam gambar) keluaran 1975 disebut CB gelatik.
Apalagi ya?
AREN, GITU LOH
Berkat global warming, Indonesia akan panen devisa. Kuncinya adalah biofuel dari aren.
Dian Tio dan para petani aren lainnya di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara bersuka cita penuh semangat karena hasil produksi aren kini melejit menjadi primadona. Tak hanya di dalam negeri, tapi di seluruh dunia.
Masih terngiang tutur kata Presiden Bambang Susilo Yudhoyono, orang nomor satu di Indonesia yang sempat menemui mereka pada 14 Januari 2007 lalu saat berdialog dengan para petani aren, “Yang jelas permintaan masih tinggi sekali, Indonesia melipatgandakan produksinya pun belum mencukupi apa yang dibutuhkan oleh negara-negara pengimpor dari gula aren ini.”
Sebuah angin segar yang menjadi pemacu semangat para petani aren. Menjadi besar karena permintaan aren tak hanya untuk memenuhi industri gula saja, namun industri bioetanol yang saat ini sangat marak. Sejak tahun 2007, Presiden mencanangkan program nasional penanaman aren di wilayah Indonesia. Anggaran sebesar kurang lebih 60 miliar disiapkan untuk mensukseskan program tersebut. Diperkirakan luas lahan potensial yang bisa digarap untuk lahan aren sekitar 65000 hektar, tersebar di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Revolusi aren yang tiba-tiba menyeruak ini bukanlah tanpa sebab. Aren ditengarai menghasilkan bioetanol paling banyak dan paling bagus di antara tanaman lain. Target ke depan, bioetanol akan menggantikan posisi bahan bakar minyak dari fosil yang disadari makin lama persediaannya makin menipis dan didakwa menyebabkan global warning.
Bahan bakar minyak fosil memang tak pernah ramah pada lingkungan. Emisi karbon yang dihasilkannya mulai terasa membawa bencana. Efek gas rumah kaca yang disebabkan emisi kabon menyebabkan kenaikan suhu yang cukup signifikan. Es di kutub mencair, gletser menurun dan hilang, permukaan laut naik, perubahan cuaca terjadi secara ekstrem dan sulit diprediksi, banjir menerjang berbagai wilayah, berbagai jenis badai datang silih berganti. Sejumlah jenis tanaman dan hewan musnah, keanekaragaman hayati menurun, hasil pertanian menurun, dan berebagai jenis penyakit mengintai manusia.
Daerah gletser atau salju abadi di Puncak Carstensz tahun 1995 berkurang hingga 70%. Padahal, inilah satu-satunya gletser di negeri tropis. Di belahan dunia dengan empat musim, jumlah hari dengan suhu beku berkurang, musim panas lebih kering, dan musim dingin menjadi lebih lembab. Segala bencana tersebut sebagian besar dikarenakan penggunaan bahan bakar minyak fosil yang semakin hari berjumlah semakin besar.
Namun bukanlah kaum manusia jika tak dapat menemukan pemecahan masalah melalui uji inovasi yang canggih. Pemakaian bahan bakar fosil harus segera dicarikan pengganti. Agrofuel muncul sebagai bintang. Tanaman atau bahan nabati ternyata tak hanya bermanfaat sebagai bahan pangan, tetapi juga dapat diolah menjadi bahan bakar biofuel atau biodiesel yang kualitasnya bahkan jauh lebih baik dibanding bahan bakar minyak fosil. Selain itu, biofuel pun ternyata memiliki emisi karbon yang sangat rendah, sehingga lebih ramah lingkungan.
Industri agrobisnis mulai dibuka besar-besaran demi meraih target pasokan biofuel. Produksi biodiesel negara-negara Uni Eropa meningkat cepat dari 1 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 4,5 miliar liter pada tahun 2006. Produksi bioetanol dunia juga meningkat cepat: dari 30 miliar liter menjadi 46 miliar liter pada periode yang sama. Ditargetkan pada tahun 2010 produksi bioetanol dunia akan mencapai 54 miliar liter atau setara satu persen dari konsumsi energi fosil dunia pada tahun tersebut.
Bahkan di Indonesia sendiri menargetkan, di rentang waktu tahun 2007 – 2010 pemerintah mengganti 1,48 miliar liter bensin dengan bioetanol, seperti yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No 5/2006. Pengolahan bahan nabati tak lagi hanya sekedar untuk pemenuhan persediaan pangan, tetapi mulai merambah ke pengembangan biofuel. Jagung, tebu, singkong, kedelai, ubi jalar, kanola, maupun kelapa sawit mulai diolah skala besar untuk produktivitas biofuel. Brazil berjaya berkat produksi biofuel dari tebu.
Pemerintah Amerika menghabiskan dana senilai 9,2 milyar dollar untuk subsidi ethanol di tahun 2008. Negara-negara Uni Eropa dan Afrika pun mengembangkan jagung sebagai primadona. Sedangkan negara-negara tropis seperti Indonesia maupun Malaysia memacu produktivitas kelapa sawit. Namun sebuah solusi selalu mengandung resiko. Pemecahan biofuel pun tak melulu mulus, melainkan juga menuai kritik dan kecaman.
Penanaman sawit sebagai komoditi ternyata menimbulkan permasalahan yang tak kalah pelik. Sawit dan tebu terlalu manja untuk ditanam pada lahan, karena memerlukan perlakuan khusus, pun tak mau berbaur dengan tanaman lain. Akibatnya, pembabatan dan pembakaran hutan demi membuka lahan sawit membabi buta, sehingga justru menyebabkan emisi karbon besar-besaran.
Indonesia sempat dituding sebagai biang kerok global warming saat banyak kebakaran hutan terjadi. Banjir tak terelakkan. Ekosistem fauna pun tak lagi lestari. Bahkan ada temuan baru yang menyatakan bahwa kadar nitrous oxide (N2O) yang dihasilkan oleh biofuel atau biodiesel dari kanola, tebu, kedelai, maupun jagung justru dapat memperparah efek global warming.
Selain itu produksi yang dihasilkan jauh lebih sedikit daripada bahan yang digunakan. Jagung memproduksi bioetanol sebanyak 6.000 liter per hektar per tahun, singkong 2.000 liter, biji sorgum 4.000 liter, sedangkan jerami padi, dan ubijalar 7.800 liter. Ada tanaman yang lebih potensial dan produktif dibanding lainnya, yakni pohon aren atau enau, yang ternyata banyak tumbuh di Indonesia.
Aren memproduksi 40.000 liter ethanol per hektar per tahun. Selain itu, tanaman jenis palma ini memiliki segudang kelebihan yang tak tertandingi. Aren bisa tumbuh subur di tengah pepohonan lain dan semak-semak, di dataran, lereng bukit, lembah, dan gunung hingga ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut, jadi tak perlu membabat hutan. Selain itu, akarnya yang bisa mencapai kedalaman 6–8 meter ini bisa menahan erosi, serta sangat efektif menarik dan menahan air.
Keuntungan lain, tanaman yang notabene merajai tanah Indonesia ini tidak membutuhkan pemupukan dan tidak terserang hama ataupun penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Tidak seperti singkong dan tebu yang dipanen 3-4 bulan sekali, aren dapat dipanen sepanjang tahun. Menurut Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit kimia LIPI, Dr. Hery Haeruddin, dalam satu hektar tanah bisa ditanami 75-100 pohon. Satu pohon aren mampu menghasilkan hingga 20 liter nira per hari. Sedangkan untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira. Tanaman jenis palma ini produktif hingga 6-8 tahun.
Mulanya aren hanya dianggap sebagai tanaman liar yang banyak tumbuh di sekitar hutan dan hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Namun semenjak disadari bahwa aren merupakan komoditas potensial yang juga mampu mengeruk keuntungan besar, aren mulai dibudidayakan dalam skala besar untuk sektor industri. Pemanfaatan lahan kritis mulai dimaksimalkan.
Para investor pun mulai berdatangan, baik asing maupun dalam negeri, misalnya PT Halmahera Enginering, PT Molindo Raya Industrial, Sugar Group Company (SGC), PT Tirtamas Majutama, dan masih banyak lagi perusahaan yang menilai aren sebagai peluang yang amat potensial.
“Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita,”
Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. Jika industri ini maju pesat, masalah pengangguran pun dapat teratasi. Sejauh ini, permintaan dunia terhadap biofuel belum terpenuhi maksimal lantaran ketersediaan bahan yang masih sedikit. Padahal permintaan pasar cukup besar dan tak terbatas, terutama di wilayah Amerika dan Uni Eropa yang paling boros pemakaian bahan bakarnya.
Saat ini harga bersih ethanol di pasaran dunia berkisar antara 1.15- 1.30 dolar per galon. Maka, jika Indonesia memanfaatkan peluang ini untuk memenuhi kebutuhan biofuel dunia, tak diragukan lagi bahwa negara kita akan panen devisa.
Gitu deh…
Sumber: www.kabarindonesia.com
Penulis: Arien Tw
Dian Tio dan para petani aren lainnya di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara bersuka cita penuh semangat karena hasil produksi aren kini melejit menjadi primadona. Tak hanya di dalam negeri, tapi di seluruh dunia.
Masih terngiang tutur kata Presiden Bambang Susilo Yudhoyono, orang nomor satu di Indonesia yang sempat menemui mereka pada 14 Januari 2007 lalu saat berdialog dengan para petani aren, “Yang jelas permintaan masih tinggi sekali, Indonesia melipatgandakan produksinya pun belum mencukupi apa yang dibutuhkan oleh negara-negara pengimpor dari gula aren ini.”
Sebuah angin segar yang menjadi pemacu semangat para petani aren. Menjadi besar karena permintaan aren tak hanya untuk memenuhi industri gula saja, namun industri bioetanol yang saat ini sangat marak. Sejak tahun 2007, Presiden mencanangkan program nasional penanaman aren di wilayah Indonesia. Anggaran sebesar kurang lebih 60 miliar disiapkan untuk mensukseskan program tersebut. Diperkirakan luas lahan potensial yang bisa digarap untuk lahan aren sekitar 65000 hektar, tersebar di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Revolusi aren yang tiba-tiba menyeruak ini bukanlah tanpa sebab. Aren ditengarai menghasilkan bioetanol paling banyak dan paling bagus di antara tanaman lain. Target ke depan, bioetanol akan menggantikan posisi bahan bakar minyak dari fosil yang disadari makin lama persediaannya makin menipis dan didakwa menyebabkan global warning.
Bahan bakar minyak fosil memang tak pernah ramah pada lingkungan. Emisi karbon yang dihasilkannya mulai terasa membawa bencana. Efek gas rumah kaca yang disebabkan emisi kabon menyebabkan kenaikan suhu yang cukup signifikan. Es di kutub mencair, gletser menurun dan hilang, permukaan laut naik, perubahan cuaca terjadi secara ekstrem dan sulit diprediksi, banjir menerjang berbagai wilayah, berbagai jenis badai datang silih berganti. Sejumlah jenis tanaman dan hewan musnah, keanekaragaman hayati menurun, hasil pertanian menurun, dan berebagai jenis penyakit mengintai manusia.
Daerah gletser atau salju abadi di Puncak Carstensz tahun 1995 berkurang hingga 70%. Padahal, inilah satu-satunya gletser di negeri tropis. Di belahan dunia dengan empat musim, jumlah hari dengan suhu beku berkurang, musim panas lebih kering, dan musim dingin menjadi lebih lembab. Segala bencana tersebut sebagian besar dikarenakan penggunaan bahan bakar minyak fosil yang semakin hari berjumlah semakin besar.
Namun bukanlah kaum manusia jika tak dapat menemukan pemecahan masalah melalui uji inovasi yang canggih. Pemakaian bahan bakar fosil harus segera dicarikan pengganti. Agrofuel muncul sebagai bintang. Tanaman atau bahan nabati ternyata tak hanya bermanfaat sebagai bahan pangan, tetapi juga dapat diolah menjadi bahan bakar biofuel atau biodiesel yang kualitasnya bahkan jauh lebih baik dibanding bahan bakar minyak fosil. Selain itu, biofuel pun ternyata memiliki emisi karbon yang sangat rendah, sehingga lebih ramah lingkungan.
Industri agrobisnis mulai dibuka besar-besaran demi meraih target pasokan biofuel. Produksi biodiesel negara-negara Uni Eropa meningkat cepat dari 1 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 4,5 miliar liter pada tahun 2006. Produksi bioetanol dunia juga meningkat cepat: dari 30 miliar liter menjadi 46 miliar liter pada periode yang sama. Ditargetkan pada tahun 2010 produksi bioetanol dunia akan mencapai 54 miliar liter atau setara satu persen dari konsumsi energi fosil dunia pada tahun tersebut.
Bahkan di Indonesia sendiri menargetkan, di rentang waktu tahun 2007 – 2010 pemerintah mengganti 1,48 miliar liter bensin dengan bioetanol, seperti yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No 5/2006. Pengolahan bahan nabati tak lagi hanya sekedar untuk pemenuhan persediaan pangan, tetapi mulai merambah ke pengembangan biofuel. Jagung, tebu, singkong, kedelai, ubi jalar, kanola, maupun kelapa sawit mulai diolah skala besar untuk produktivitas biofuel. Brazil berjaya berkat produksi biofuel dari tebu.
Pemerintah Amerika menghabiskan dana senilai 9,2 milyar dollar untuk subsidi ethanol di tahun 2008. Negara-negara Uni Eropa dan Afrika pun mengembangkan jagung sebagai primadona. Sedangkan negara-negara tropis seperti Indonesia maupun Malaysia memacu produktivitas kelapa sawit. Namun sebuah solusi selalu mengandung resiko. Pemecahan biofuel pun tak melulu mulus, melainkan juga menuai kritik dan kecaman.
Penanaman sawit sebagai komoditi ternyata menimbulkan permasalahan yang tak kalah pelik. Sawit dan tebu terlalu manja untuk ditanam pada lahan, karena memerlukan perlakuan khusus, pun tak mau berbaur dengan tanaman lain. Akibatnya, pembabatan dan pembakaran hutan demi membuka lahan sawit membabi buta, sehingga justru menyebabkan emisi karbon besar-besaran.
Indonesia sempat dituding sebagai biang kerok global warming saat banyak kebakaran hutan terjadi. Banjir tak terelakkan. Ekosistem fauna pun tak lagi lestari. Bahkan ada temuan baru yang menyatakan bahwa kadar nitrous oxide (N2O) yang dihasilkan oleh biofuel atau biodiesel dari kanola, tebu, kedelai, maupun jagung justru dapat memperparah efek global warming.
Selain itu produksi yang dihasilkan jauh lebih sedikit daripada bahan yang digunakan. Jagung memproduksi bioetanol sebanyak 6.000 liter per hektar per tahun, singkong 2.000 liter, biji sorgum 4.000 liter, sedangkan jerami padi, dan ubijalar 7.800 liter. Ada tanaman yang lebih potensial dan produktif dibanding lainnya, yakni pohon aren atau enau, yang ternyata banyak tumbuh di Indonesia.
Aren memproduksi 40.000 liter ethanol per hektar per tahun. Selain itu, tanaman jenis palma ini memiliki segudang kelebihan yang tak tertandingi. Aren bisa tumbuh subur di tengah pepohonan lain dan semak-semak, di dataran, lereng bukit, lembah, dan gunung hingga ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut, jadi tak perlu membabat hutan. Selain itu, akarnya yang bisa mencapai kedalaman 6–8 meter ini bisa menahan erosi, serta sangat efektif menarik dan menahan air.
Keuntungan lain, tanaman yang notabene merajai tanah Indonesia ini tidak membutuhkan pemupukan dan tidak terserang hama ataupun penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Tidak seperti singkong dan tebu yang dipanen 3-4 bulan sekali, aren dapat dipanen sepanjang tahun. Menurut Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit kimia LIPI, Dr. Hery Haeruddin, dalam satu hektar tanah bisa ditanami 75-100 pohon. Satu pohon aren mampu menghasilkan hingga 20 liter nira per hari. Sedangkan untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira. Tanaman jenis palma ini produktif hingga 6-8 tahun.
Mulanya aren hanya dianggap sebagai tanaman liar yang banyak tumbuh di sekitar hutan dan hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Namun semenjak disadari bahwa aren merupakan komoditas potensial yang juga mampu mengeruk keuntungan besar, aren mulai dibudidayakan dalam skala besar untuk sektor industri. Pemanfaatan lahan kritis mulai dimaksimalkan.
Para investor pun mulai berdatangan, baik asing maupun dalam negeri, misalnya PT Halmahera Enginering, PT Molindo Raya Industrial, Sugar Group Company (SGC), PT Tirtamas Majutama, dan masih banyak lagi perusahaan yang menilai aren sebagai peluang yang amat potensial.
“Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita,”
Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. Jika industri ini maju pesat, masalah pengangguran pun dapat teratasi. Sejauh ini, permintaan dunia terhadap biofuel belum terpenuhi maksimal lantaran ketersediaan bahan yang masih sedikit. Padahal permintaan pasar cukup besar dan tak terbatas, terutama di wilayah Amerika dan Uni Eropa yang paling boros pemakaian bahan bakarnya.
Saat ini harga bersih ethanol di pasaran dunia berkisar antara 1.15- 1.30 dolar per galon. Maka, jika Indonesia memanfaatkan peluang ini untuk memenuhi kebutuhan biofuel dunia, tak diragukan lagi bahwa negara kita akan panen devisa.
Gitu deh…
Sumber: www.kabarindonesia.com
Penulis: Arien Tw
Senin, 12 Oktober 2009
ABORSI HARUS DICEGAH
Pengantar:
Ini tulisan mas Theo yang saat ini sedang getol studi psikologi. Topiknya menarik, tentang aborsi ditinjau dari efek psikologis.
Ada kejutan dalam tulisan ini, yaitu terungkapnya data tentang jumlah kasus aborsi di Indonesia yang ternyata sangat tinggi, menelan hampir sepertiga jumlah seluruh kasus aborsi dunia. Wow…
Judul: Aborsi Harus Dicegah!
Oleh: Theo (Theodorus)
Ketika kita mendengar kata aborsi, apa yang kita pikirkan? Aborsi sekarang bukan lagi merupakan topik yang enggan dan tabu untuk dibicarakan. Sekarang, kita hidup di zaman yang mengagung-agungkan kebebasan. Bahkan sampai ke tingkat ekstrim; Aborsi yang dahulunya sama sekali ditolak, sekarang telah menjadi alternatif bagi mereka yang menginginkan seks tanpa dibebani masalah membesarkan anak. Sementara di sisi lain banyak orang yang sangat menginginkan anak dan telah mencoba dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan anak itu, misalnya dengan cara terapi hormon atau bahkan bayi tabung dsb. Namun demikian, lebih banyak orang yang menganggap bahwa anak adalah beban hidup yang harus dihilangkan.
Tulisan ini, dengan metode komparatif argumentatif akan mencoba menerangkan mengapa pencegahan aborsi merupakan hal yang mutlak diperlukan. Untuk tujuan itu, tulisan ini membatasi diri pada efek psikologis dari aborsi, karena efek medisnya sudah cukup kentara. Misalnya saja kerusakan serviks, kanker rahim, rusaknya indung telur, dan banyak kerusakan-kerusakan lain yang sulit diperbaiki begitu kerusakan ini terjadi. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas definisi aborsi, penyebab atau pendorong terjadinya, serta efek-efek psikologis aborsi yaitu kehilangan harga diri, mimpi buruk tentang bayi, teriak histeris, mencoba bunuh diri, memakai narkoba dan tidak bisa lagi menikmati hubungan seksual, yang akan dibahas lebih dalam lagi.
Menurut definisi WHO, aborsi yang tidak aman adalah , ”penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan, atau kedua- duanya (dalam Januar,2007). Jika memang demikian, adakah aborsi yang aman? Supadmiati (2007) berpendapat bahwa proses aborsi beresiko sangat tinggi bagi si Ibu, baik aborsi dilakukan sendiri atau dengan pertolongan orang lain. Meski dengan bantuan medis yang aman, aborsi tetap berdampak pada kerusakan rahim, pendarahan hingga kematian.Lebih–lebih secara psikis, ibu akan dihantui rasa bersalah dan berdosa sepanjang hidupnya (Supadmiati,2007). Dari sini, dapatlah diketahui bahwa bagaimanapun juga, aborsi tidaklah aman secara medis fisik maupun secara mental psikologis.
Namun ironisnya, aborsi tampaknya sedang menjadi trend di Indonesia. Menurut perkiraan WHO, ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000-1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (dalam Januar, 2007).
Telah ada banyak tulisan dan buku- buku yang ditulis mengenai aborsi. Selain beberapa buku yang lebih mementingkan ‘toleransi’ daripada keselamatan aktual, sebagian besar setuju bahwa aborsi membawa efek buruk bagi pelakunya, baik secara fisik maupun mental. Akan tetapi, semuanya itu tidak mengurangi minat keliru masyarakat pada aborsi. Apakah penyebabnya? Mengapa ada kaum feminis yang, “menerima bahwa fetus adalah manusia, tetapi bila bayi tidak dikehendaki, itu karena bayi bagaikan pencuri yang masuk ke rumah Anda…” (Danes, S., Christopher, D.,2000), sehingga secara eksplisit mengijinkan terjadinya abosi ‘bersyarat’? Bukan hanya itu saja, Teichman (1998) dalam buku Etika Sosial menulis, “Di Barat aborsi memang tidak diterima sebagai metode pembatasan kelahiran, tetapi diterima sebagai sandaran kalau kontrasepsi gagal. Aborsi juga tidak dibela sebagai cara mengekang pertumbuhan populasi, sebagaimana lazimnya, meskipun ada juga efeknya dalam rata- rata kelahiran.
…, sejauh mereka melihat pembatasan kelahiran sebagai gagasan yang baik, mereka menganggapnya sebagai terutama relevan bagi orang – orang yang hidup untuk kesejahteraan.” (Teichman,1998). Semua ini menunjukkan, bahwa aborsi telah menjadi budaya yang menduia walaupun hal itu tidak diakui.
Ada 3 penyebab dan pendorong terjadinya aborsi yaitu: Berkurangnya bahaya kematian akibat aborsi karena kemajuan teknologi, membuat orang yang dulunya tidak melakukan aborsi karena takut mati, kini mempertimbangkannya sebagai jalan pintas.
Jika ada orang yang mau melakukan aborsi, tetapi tidak ada dokter atau bidan dan dukun beranak yang mau melakukannya, abosi tidak akan terjadi. Oleh karena itu, dokter, bidan dan dukun itu juga mempunyai andil besar dalam pengaborsian. Aborsi hanya bisa terjadi jika orang- orang seperti mereka melupakan sumpahnya dan mau melanggar HAM.
Adanya media massa dan Internet yang mendorong terjadinya pergaulan bebas diantara remaja merupakan faktor yang besar. Menurut Nadesul (2008) dalam bukunya Cara Sehat Menjadi Perempuan, aborsi disebabkan karena pergaulan semakin banyak yang berbuah kehamilan yang tidak diinginkan walaupun tindakan aborsi sendiri tidak dilegalkan (Nadesul,2008).
Jikalau efek fisik aborsi tidak terlalu terasa ataupun diperhatikan karena efeknya terhitung sementara, efek psikologis aborsi bisa membuat si ibu menjadi gila. Ini adalah akibat seumur hidup yang dirasakan baik oleh ibu yang melakukan aborsi terpaksa, dimana janin dikorbankan untuk menjaga nyawa ibu, maupun oleh mereka yang melakukan aborsi konsensual atau aborsi sukarela. Biasanya ibu yang aborsinya terpaksa lebih berkemungkinan sembuh daripada yang melakukan aborsi sukarela.
Seperti yang telah disebutkan, efek psikologis aborsi antara lain: Kehilangan Harga Diri: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya mempunyai citra diri yang lebih positif dibandingkan orang yang pernah melakukan aborsi. Jika hal ini diketahui umum, akan ada sanksi sosial berupa penggunjingan dan pengucilan Walaupun aborsi itu tidak diketahui oleh orang lain, orang yang melakukannya akan memandang rendah dirinya sendiri karena aib pembunuhan bayi yang dilakukannya itu. Orang yang tidak melakukan aborsi mungkin memang akan mengalami masa-masa sulit. Akan tetapi, jika ada dukungan dari keluarga dan tanggung jawab dari kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, pada akhirnya jika mereka berhasil melewati masa sulit tersebut, mereka boleh merasa bangga karena tidak banyaklah orang-orang yang berhasil seperti mereka.
Mimpi Buruk Tentang Bayi: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya tidak mengalami mimpi buruk semacam ini. Mimpi ini dialami oleh mereka yang melakukan aborsi, terutama dari pihak ibu karena hati nuraninya yang merasa bersalah. Walaupun secara sadar ibu telah menggunakan segala macam rasionalisasi yang termasuk tetapi tidak terbatas pada alasan kondisi ekonomi, bawah sadar ibu itu belum dapat memaafkan dirinya sendiri, mimpi itu bisa muncul sebagai pelampiasan dari bawah sadar. Sementara orang yang tidak melakukan aborsi dapat tidur dengan nyenyak dan tenang, orang yang melakukan aborsi tidak bisa tenang, bahkan dalam keheningan mimpinya.
Teriak Histeris: Ini adalah bentuk lain dari pelampiasan bawah sadar. Sekali lagi, ini hanya dilakukan oleh orang yang pernah melakukan aborsi, sedangkan yang tidak melakukannya tidak mengalami hal ini.
Mencoba bunuh diri dan memakai narkoba: Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan narkoba dan mencoba bunuh diri. Bagi pelaku aborsi, alasannya masih berkaitan dengan hilangnya harga diri mereka. Bukan saja masnyarakat umum yang merendahkan dan mencela mereka, merekapun tidak lolos dari penghakiman nurani mereka sendiri. Mereka merasa begitu bersalah sehingga mereka merasa pantas mati. Mereka menganggap kematian mereka dapat menebus kesalahan mereka dan menghindarkan diri mereka dari tuntutan hati yang terus mengejar mereka.
Pertanyaannya sekarang, apakah pelaku aborsi itu ingin mati dengan cepat atau lambat? Jika ingin mati secara cepat, mereka akan bunuh diri; misalnya dengan menggantung diri, minum Baygon, lompat dari ketinggian dan lain sebagainya. Sedangkan yang memilih mati secara lambat dan ‘enak’ mengambil jalan mati karena kelebihan dosis narkoba. Itu semua tidak akan terjadi bila orang masih mempunyai harapan. Selama harapan masih ada, semangat hidup terus berkorbar. Orang yang hamil tetapi tidak melakukan aborsi, tidak dibebani oleh rasa bersalah yang tak tertahankan itu. Orang itu akan berusaha hidup untuk bayi yang dikandungnya. Karena bayi itulah ibu tetap hidup.
Tidak Bisa Lagi Menikmati Hubungan Seksual: Mungkin inilah efek jangka panjang yang paling terasa bagi pelaku aborsi. Trauma yang disebabkan karena aborsi menghalangi mereka untuk menikmati hubungan seksual di kemudian hari, meskipun peristiwa aborsi itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Pelaku merasa tidak suci atau menjadi frigid karena pengalaman masa lalunya itu. Dalam suatu pernikahan yang bahagia, tak pelak lagi hubungan seksual memegang peranan yang sangat penting, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa tujuan seseorang menikah semata-mata hanya demi hubungan seksual. Maka dari itu, orang yang tidak melakukan aborsi mempunyai potensi rumah tangga bahagia yang lebih besar daripada orang pelaku aborsi.
Sebagai penutup tulisan ini, ijinkan penulis menekankan sekali lagi bahwa aborsi harus dicegah! Melakukan aborsi membawa kesenangan sesaat. Seakan-akan dengan melakukannya, masalah yang kita hadapi lenyap saat itu juga. Rasanya kita tidak perlu lagi mengurus hal remeh dan tidak usah bertanggung jawab apa-apa.
Tidak melakukan aborsi kelihatannya sangat menyusahkan dan merepotkan. Akan tetapi ingatlah! Kesenangan dan kesusahan itu hanya sementara saja. Pelaku aborsi akan mengalami penderitaan seumur hidupnya, sedangkan orang yang tidak melakukan aborsi bukan saja menjaga kesehatannya secara fisik, tetapi juga dapat memperoleh kebahagiaan batin selama- lamanya!
Selesai.
Gitu deh...
Ini tulisan mas Theo yang saat ini sedang getol studi psikologi. Topiknya menarik, tentang aborsi ditinjau dari efek psikologis.
Ada kejutan dalam tulisan ini, yaitu terungkapnya data tentang jumlah kasus aborsi di Indonesia yang ternyata sangat tinggi, menelan hampir sepertiga jumlah seluruh kasus aborsi dunia. Wow…
Judul: Aborsi Harus Dicegah!
Oleh: Theo (Theodorus)
Ketika kita mendengar kata aborsi, apa yang kita pikirkan? Aborsi sekarang bukan lagi merupakan topik yang enggan dan tabu untuk dibicarakan. Sekarang, kita hidup di zaman yang mengagung-agungkan kebebasan. Bahkan sampai ke tingkat ekstrim; Aborsi yang dahulunya sama sekali ditolak, sekarang telah menjadi alternatif bagi mereka yang menginginkan seks tanpa dibebani masalah membesarkan anak. Sementara di sisi lain banyak orang yang sangat menginginkan anak dan telah mencoba dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan anak itu, misalnya dengan cara terapi hormon atau bahkan bayi tabung dsb. Namun demikian, lebih banyak orang yang menganggap bahwa anak adalah beban hidup yang harus dihilangkan.
Tulisan ini, dengan metode komparatif argumentatif akan mencoba menerangkan mengapa pencegahan aborsi merupakan hal yang mutlak diperlukan. Untuk tujuan itu, tulisan ini membatasi diri pada efek psikologis dari aborsi, karena efek medisnya sudah cukup kentara. Misalnya saja kerusakan serviks, kanker rahim, rusaknya indung telur, dan banyak kerusakan-kerusakan lain yang sulit diperbaiki begitu kerusakan ini terjadi. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas definisi aborsi, penyebab atau pendorong terjadinya, serta efek-efek psikologis aborsi yaitu kehilangan harga diri, mimpi buruk tentang bayi, teriak histeris, mencoba bunuh diri, memakai narkoba dan tidak bisa lagi menikmati hubungan seksual, yang akan dibahas lebih dalam lagi.
Menurut definisi WHO, aborsi yang tidak aman adalah , ”penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan, atau kedua- duanya (dalam Januar,2007). Jika memang demikian, adakah aborsi yang aman? Supadmiati (2007) berpendapat bahwa proses aborsi beresiko sangat tinggi bagi si Ibu, baik aborsi dilakukan sendiri atau dengan pertolongan orang lain. Meski dengan bantuan medis yang aman, aborsi tetap berdampak pada kerusakan rahim, pendarahan hingga kematian.Lebih–lebih secara psikis, ibu akan dihantui rasa bersalah dan berdosa sepanjang hidupnya (Supadmiati,2007). Dari sini, dapatlah diketahui bahwa bagaimanapun juga, aborsi tidaklah aman secara medis fisik maupun secara mental psikologis.
Namun ironisnya, aborsi tampaknya sedang menjadi trend di Indonesia. Menurut perkiraan WHO, ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000-1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (dalam Januar, 2007).
Telah ada banyak tulisan dan buku- buku yang ditulis mengenai aborsi. Selain beberapa buku yang lebih mementingkan ‘toleransi’ daripada keselamatan aktual, sebagian besar setuju bahwa aborsi membawa efek buruk bagi pelakunya, baik secara fisik maupun mental. Akan tetapi, semuanya itu tidak mengurangi minat keliru masyarakat pada aborsi. Apakah penyebabnya? Mengapa ada kaum feminis yang, “menerima bahwa fetus adalah manusia, tetapi bila bayi tidak dikehendaki, itu karena bayi bagaikan pencuri yang masuk ke rumah Anda…” (Danes, S., Christopher, D.,2000), sehingga secara eksplisit mengijinkan terjadinya abosi ‘bersyarat’? Bukan hanya itu saja, Teichman (1998) dalam buku Etika Sosial menulis, “Di Barat aborsi memang tidak diterima sebagai metode pembatasan kelahiran, tetapi diterima sebagai sandaran kalau kontrasepsi gagal. Aborsi juga tidak dibela sebagai cara mengekang pertumbuhan populasi, sebagaimana lazimnya, meskipun ada juga efeknya dalam rata- rata kelahiran.
…, sejauh mereka melihat pembatasan kelahiran sebagai gagasan yang baik, mereka menganggapnya sebagai terutama relevan bagi orang – orang yang hidup untuk kesejahteraan.” (Teichman,1998). Semua ini menunjukkan, bahwa aborsi telah menjadi budaya yang menduia walaupun hal itu tidak diakui.
Ada 3 penyebab dan pendorong terjadinya aborsi yaitu: Berkurangnya bahaya kematian akibat aborsi karena kemajuan teknologi, membuat orang yang dulunya tidak melakukan aborsi karena takut mati, kini mempertimbangkannya sebagai jalan pintas.
Jika ada orang yang mau melakukan aborsi, tetapi tidak ada dokter atau bidan dan dukun beranak yang mau melakukannya, abosi tidak akan terjadi. Oleh karena itu, dokter, bidan dan dukun itu juga mempunyai andil besar dalam pengaborsian. Aborsi hanya bisa terjadi jika orang- orang seperti mereka melupakan sumpahnya dan mau melanggar HAM.
Adanya media massa dan Internet yang mendorong terjadinya pergaulan bebas diantara remaja merupakan faktor yang besar. Menurut Nadesul (2008) dalam bukunya Cara Sehat Menjadi Perempuan, aborsi disebabkan karena pergaulan semakin banyak yang berbuah kehamilan yang tidak diinginkan walaupun tindakan aborsi sendiri tidak dilegalkan (Nadesul,2008).
Jikalau efek fisik aborsi tidak terlalu terasa ataupun diperhatikan karena efeknya terhitung sementara, efek psikologis aborsi bisa membuat si ibu menjadi gila. Ini adalah akibat seumur hidup yang dirasakan baik oleh ibu yang melakukan aborsi terpaksa, dimana janin dikorbankan untuk menjaga nyawa ibu, maupun oleh mereka yang melakukan aborsi konsensual atau aborsi sukarela. Biasanya ibu yang aborsinya terpaksa lebih berkemungkinan sembuh daripada yang melakukan aborsi sukarela.
Seperti yang telah disebutkan, efek psikologis aborsi antara lain: Kehilangan Harga Diri: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya mempunyai citra diri yang lebih positif dibandingkan orang yang pernah melakukan aborsi. Jika hal ini diketahui umum, akan ada sanksi sosial berupa penggunjingan dan pengucilan Walaupun aborsi itu tidak diketahui oleh orang lain, orang yang melakukannya akan memandang rendah dirinya sendiri karena aib pembunuhan bayi yang dilakukannya itu. Orang yang tidak melakukan aborsi mungkin memang akan mengalami masa-masa sulit. Akan tetapi, jika ada dukungan dari keluarga dan tanggung jawab dari kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, pada akhirnya jika mereka berhasil melewati masa sulit tersebut, mereka boleh merasa bangga karena tidak banyaklah orang-orang yang berhasil seperti mereka.
Mimpi Buruk Tentang Bayi: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya tidak mengalami mimpi buruk semacam ini. Mimpi ini dialami oleh mereka yang melakukan aborsi, terutama dari pihak ibu karena hati nuraninya yang merasa bersalah. Walaupun secara sadar ibu telah menggunakan segala macam rasionalisasi yang termasuk tetapi tidak terbatas pada alasan kondisi ekonomi, bawah sadar ibu itu belum dapat memaafkan dirinya sendiri, mimpi itu bisa muncul sebagai pelampiasan dari bawah sadar. Sementara orang yang tidak melakukan aborsi dapat tidur dengan nyenyak dan tenang, orang yang melakukan aborsi tidak bisa tenang, bahkan dalam keheningan mimpinya.
Teriak Histeris: Ini adalah bentuk lain dari pelampiasan bawah sadar. Sekali lagi, ini hanya dilakukan oleh orang yang pernah melakukan aborsi, sedangkan yang tidak melakukannya tidak mengalami hal ini.
Mencoba bunuh diri dan memakai narkoba: Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan narkoba dan mencoba bunuh diri. Bagi pelaku aborsi, alasannya masih berkaitan dengan hilangnya harga diri mereka. Bukan saja masnyarakat umum yang merendahkan dan mencela mereka, merekapun tidak lolos dari penghakiman nurani mereka sendiri. Mereka merasa begitu bersalah sehingga mereka merasa pantas mati. Mereka menganggap kematian mereka dapat menebus kesalahan mereka dan menghindarkan diri mereka dari tuntutan hati yang terus mengejar mereka.
Pertanyaannya sekarang, apakah pelaku aborsi itu ingin mati dengan cepat atau lambat? Jika ingin mati secara cepat, mereka akan bunuh diri; misalnya dengan menggantung diri, minum Baygon, lompat dari ketinggian dan lain sebagainya. Sedangkan yang memilih mati secara lambat dan ‘enak’ mengambil jalan mati karena kelebihan dosis narkoba. Itu semua tidak akan terjadi bila orang masih mempunyai harapan. Selama harapan masih ada, semangat hidup terus berkorbar. Orang yang hamil tetapi tidak melakukan aborsi, tidak dibebani oleh rasa bersalah yang tak tertahankan itu. Orang itu akan berusaha hidup untuk bayi yang dikandungnya. Karena bayi itulah ibu tetap hidup.
Tidak Bisa Lagi Menikmati Hubungan Seksual: Mungkin inilah efek jangka panjang yang paling terasa bagi pelaku aborsi. Trauma yang disebabkan karena aborsi menghalangi mereka untuk menikmati hubungan seksual di kemudian hari, meskipun peristiwa aborsi itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Pelaku merasa tidak suci atau menjadi frigid karena pengalaman masa lalunya itu. Dalam suatu pernikahan yang bahagia, tak pelak lagi hubungan seksual memegang peranan yang sangat penting, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa tujuan seseorang menikah semata-mata hanya demi hubungan seksual. Maka dari itu, orang yang tidak melakukan aborsi mempunyai potensi rumah tangga bahagia yang lebih besar daripada orang pelaku aborsi.
Sebagai penutup tulisan ini, ijinkan penulis menekankan sekali lagi bahwa aborsi harus dicegah! Melakukan aborsi membawa kesenangan sesaat. Seakan-akan dengan melakukannya, masalah yang kita hadapi lenyap saat itu juga. Rasanya kita tidak perlu lagi mengurus hal remeh dan tidak usah bertanggung jawab apa-apa.
Tidak melakukan aborsi kelihatannya sangat menyusahkan dan merepotkan. Akan tetapi ingatlah! Kesenangan dan kesusahan itu hanya sementara saja. Pelaku aborsi akan mengalami penderitaan seumur hidupnya, sedangkan orang yang tidak melakukan aborsi bukan saja menjaga kesehatannya secara fisik, tetapi juga dapat memperoleh kebahagiaan batin selama- lamanya!
Selesai.
Gitu deh...
Jumat, 02 Oktober 2009
KAKUS
Papi RH:
Kata Indonesia / Jawa "kakus" berasal dari kata Belanda "kakhuis", "kak" adalah kata kasar = tahi, dan "huis" = rumah!
Orang Belanda dan Eropa umumnya menamakan kakus itu WC, sebenarnya kata Inggris water closet, yang artinya semula ialah tempat mengosongkan usus besar di mana dipakai air untuk mengguyur kotoran keluar dari 'panci' ("pan").
Pemisah antara kotoran dan ruangan ditutup oleh air (dengan alat "gulu banyak" pada unit tempat duduk, bukan tempat berjongkok!!!).
Kenapa orang Eropa tidak buang air di luar spt di Indonesia, dan tidak jongkok tetapi duduk? Pertama, udaranya dingin betul, jadi berjongkok lama di pinggir kali tidak pernah terjadi, dan duduk dianggap lebih enak. Itu sebabnya dalam bhs Inggris kata "stool" (juga Jerman "Stuhl" dan Bld "stoel") berarti kursi atau tahi!!!
Sekarang hampir di semua permukiman desa dan kota di dunia Barat ada yang dinamakan sewerage system, yaitu sistem yang membawa air kotor / cairan kotor keluar dari rumah, jauh tersembunyi di bawah tanah (tidak spt di Indonesia di mana selokan dibiarkan terbuka, untung cuma cairan ringan yang dibuang!!!
Di jaman sebelum perang dunia II di negeri Belanda juga masih ada sistim "jumbleng", dalam bhs Inggris istilahnya "thunderbox", kotak yang kadang-kadang menggema dengan bunyi geledeg tertentu!!!
Syukurlah sekarang ini semua kamar kecil sudah sebegitu mungil dan ada di dalam rumah (di th 50'an di Aus pun rumah kecil biasa berada agak jauh dari rumah pokok). Di banyak stasiun di Eropa sekarang semuanya serba otomatis, air mancur sendiri kalau tangan anda anjungkan di dekat kran, atau kalau selesai buang air pengguyuran terjadi secara automatis.
Ada hal lain lagi yang menarik?
Bagaimana dengan membersihkan diri setelah buang air besar? Ada yang bagus, di hotel-hotel di Italia bidet (diucapkan bidé) tersedia di kamar kecil, kran menengadah di taruh di tempat strategis, sehingga kita bisa merasa bersih setelah berhajat besar.
Macem-macem aja!
Papilon:
Pi, di tanah air beta biasa lho tisue untuk toilet "dihidangkan" di restoran.
Piye jal?
(dari Papyrus, majalah elektronik)
Kata Indonesia / Jawa "kakus" berasal dari kata Belanda "kakhuis", "kak" adalah kata kasar = tahi, dan "huis" = rumah!
Orang Belanda dan Eropa umumnya menamakan kakus itu WC, sebenarnya kata Inggris water closet, yang artinya semula ialah tempat mengosongkan usus besar di mana dipakai air untuk mengguyur kotoran keluar dari 'panci' ("pan").
Pemisah antara kotoran dan ruangan ditutup oleh air (dengan alat "gulu banyak" pada unit tempat duduk, bukan tempat berjongkok!!!).
Kenapa orang Eropa tidak buang air di luar spt di Indonesia, dan tidak jongkok tetapi duduk? Pertama, udaranya dingin betul, jadi berjongkok lama di pinggir kali tidak pernah terjadi, dan duduk dianggap lebih enak. Itu sebabnya dalam bhs Inggris kata "stool" (juga Jerman "Stuhl" dan Bld "stoel") berarti kursi atau tahi!!!
Sekarang hampir di semua permukiman desa dan kota di dunia Barat ada yang dinamakan sewerage system, yaitu sistem yang membawa air kotor / cairan kotor keluar dari rumah, jauh tersembunyi di bawah tanah (tidak spt di Indonesia di mana selokan dibiarkan terbuka, untung cuma cairan ringan yang dibuang!!!
Di jaman sebelum perang dunia II di negeri Belanda juga masih ada sistim "jumbleng", dalam bhs Inggris istilahnya "thunderbox", kotak yang kadang-kadang menggema dengan bunyi geledeg tertentu!!!
Syukurlah sekarang ini semua kamar kecil sudah sebegitu mungil dan ada di dalam rumah (di th 50'an di Aus pun rumah kecil biasa berada agak jauh dari rumah pokok). Di banyak stasiun di Eropa sekarang semuanya serba otomatis, air mancur sendiri kalau tangan anda anjungkan di dekat kran, atau kalau selesai buang air pengguyuran terjadi secara automatis.
Ada hal lain lagi yang menarik?
Bagaimana dengan membersihkan diri setelah buang air besar? Ada yang bagus, di hotel-hotel di Italia bidet (diucapkan bidé) tersedia di kamar kecil, kran menengadah di taruh di tempat strategis, sehingga kita bisa merasa bersih setelah berhajat besar.
Macem-macem aja!
Papilon:
Pi, di tanah air beta biasa lho tisue untuk toilet "dihidangkan" di restoran.
Piye jal?
(dari Papyrus, majalah elektronik)
Langganan:
Postingan (Atom)