Lokasi Pengoenjoeng Blog

Rabu, 21 Oktober 2009

AREN, GITU LOH

Berkat global warming, Indonesia akan panen devisa. Kuncinya adalah biofuel dari aren.

Dian Tio dan para petani aren lainnya di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara bersuka cita penuh semangat karena hasil produksi aren kini melejit menjadi primadona. Tak hanya di dalam negeri, tapi di seluruh dunia.

Masih terngiang tutur kata Presiden Bambang Susilo Yudhoyono, orang nomor satu di Indonesia yang sempat menemui mereka pada 14 Januari 2007 lalu saat berdialog dengan para petani aren, “Yang jelas permintaan masih tinggi sekali, Indonesia melipatgandakan produksinya pun belum mencukupi apa yang dibutuhkan oleh negara-negara pengimpor dari gula aren ini.”

Sebuah angin segar yang menjadi pemacu semangat para petani aren. Menjadi besar karena permintaan aren tak hanya untuk memenuhi industri gula saja, namun industri bioetanol yang saat ini sangat marak. Sejak tahun 2007, Presiden mencanangkan program nasional penanaman aren di wilayah Indonesia. Anggaran sebesar kurang lebih 60 miliar disiapkan untuk mensukseskan program tersebut. Diperkirakan luas lahan potensial yang bisa digarap untuk lahan aren sekitar 65000 hektar, tersebar di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Revolusi aren yang tiba-tiba menyeruak ini bukanlah tanpa sebab. Aren ditengarai menghasilkan bioetanol paling banyak dan paling bagus di antara tanaman lain. Target ke depan, bioetanol akan menggantikan posisi bahan bakar minyak dari fosil yang disadari makin lama persediaannya makin menipis dan didakwa menyebabkan global warning.

Bahan bakar minyak fosil memang tak pernah ramah pada lingkungan. Emisi karbon yang dihasilkannya mulai terasa membawa bencana. Efek gas rumah kaca yang disebabkan emisi kabon menyebabkan kenaikan suhu yang cukup signifikan. Es di kutub mencair, gletser menurun dan hilang, permukaan laut naik, perubahan cuaca terjadi secara ekstrem dan sulit diprediksi, banjir menerjang berbagai wilayah, berbagai jenis badai datang silih berganti. Sejumlah jenis tanaman dan hewan musnah, keanekaragaman hayati menurun, hasil pertanian menurun, dan berebagai jenis penyakit mengintai manusia.

Daerah gletser atau salju abadi di Puncak Carstensz tahun 1995 berkurang hingga 70%. Padahal, inilah satu-satunya gletser di negeri tropis. Di belahan dunia dengan empat musim, jumlah hari dengan suhu beku berkurang, musim panas lebih kering, dan musim dingin menjadi lebih lembab. Segala bencana tersebut sebagian besar dikarenakan penggunaan bahan bakar minyak fosil yang semakin hari berjumlah semakin besar.

Namun bukanlah kaum manusia jika tak dapat menemukan pemecahan masalah melalui uji inovasi yang canggih. Pemakaian bahan bakar fosil harus segera dicarikan pengganti. Agrofuel muncul sebagai bintang. Tanaman atau bahan nabati ternyata tak hanya bermanfaat sebagai bahan pangan, tetapi juga dapat diolah menjadi bahan bakar biofuel atau biodiesel yang kualitasnya bahkan jauh lebih baik dibanding bahan bakar minyak fosil. Selain itu, biofuel pun ternyata memiliki emisi karbon yang sangat rendah, sehingga lebih ramah lingkungan.

Industri agrobisnis mulai dibuka besar-besaran demi meraih target pasokan biofuel. Produksi biodiesel negara-negara Uni Eropa meningkat cepat dari 1 miliar liter pada tahun 2000 menjadi 4,5 miliar liter pada tahun 2006. Produksi bioetanol dunia juga meningkat cepat: dari 30 miliar liter menjadi 46 miliar liter pada periode yang sama. Ditargetkan pada tahun 2010 produksi bioetanol dunia akan mencapai 54 miliar liter atau setara satu persen dari konsumsi energi fosil dunia pada tahun tersebut.

Bahkan di Indonesia sendiri menargetkan, di rentang waktu tahun 2007 – 2010 pemerintah mengganti 1,48 miliar liter bensin dengan bioetanol, seperti yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No 5/2006. Pengolahan bahan nabati tak lagi hanya sekedar untuk pemenuhan persediaan pangan, tetapi mulai merambah ke pengembangan biofuel. Jagung, tebu, singkong, kedelai, ubi jalar, kanola, maupun kelapa sawit mulai diolah skala besar untuk produktivitas biofuel. Brazil berjaya berkat produksi biofuel dari tebu.

Pemerintah Amerika menghabiskan dana senilai 9,2 milyar dollar untuk subsidi ethanol di tahun 2008. Negara-negara Uni Eropa dan Afrika pun mengembangkan jagung sebagai primadona. Sedangkan negara-negara tropis seperti Indonesia maupun Malaysia memacu produktivitas kelapa sawit. Namun sebuah solusi selalu mengandung resiko. Pemecahan biofuel pun tak melulu mulus, melainkan juga menuai kritik dan kecaman.

Penanaman sawit sebagai komoditi ternyata menimbulkan permasalahan yang tak kalah pelik. Sawit dan tebu terlalu manja untuk ditanam pada lahan, karena memerlukan perlakuan khusus, pun tak mau berbaur dengan tanaman lain. Akibatnya, pembabatan dan pembakaran hutan demi membuka lahan sawit membabi buta, sehingga justru menyebabkan emisi karbon besar-besaran.

Indonesia sempat dituding sebagai biang kerok global warming saat banyak kebakaran hutan terjadi. Banjir tak terelakkan. Ekosistem fauna pun tak lagi lestari. Bahkan ada temuan baru yang menyatakan bahwa kadar nitrous oxide (N2O) yang dihasilkan oleh biofuel atau biodiesel dari kanola, tebu, kedelai, maupun jagung justru dapat memperparah efek global warming.

Selain itu produksi yang dihasilkan jauh lebih sedikit daripada bahan yang digunakan. Jagung memproduksi bioetanol sebanyak 6.000 liter per hektar per tahun, singkong 2.000 liter, biji sorgum 4.000 liter, sedangkan jerami padi, dan ubijalar 7.800 liter. Ada tanaman yang lebih potensial dan produktif dibanding lainnya, yakni pohon aren atau enau, yang ternyata banyak tumbuh di Indonesia.

Aren memproduksi 40.000 liter ethanol per hektar per tahun. Selain itu, tanaman jenis palma ini memiliki segudang kelebihan yang tak tertandingi. Aren bisa tumbuh subur di tengah pepohonan lain dan semak-semak, di dataran, lereng bukit, lembah, dan gunung hingga ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut, jadi tak perlu membabat hutan. Selain itu, akarnya yang bisa mencapai kedalaman 6–8 meter ini bisa menahan erosi, serta sangat efektif menarik dan menahan air.

Keuntungan lain, tanaman yang notabene merajai tanah Indonesia ini tidak membutuhkan pemupukan dan tidak terserang hama ataupun penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Tidak seperti singkong dan tebu yang dipanen 3-4 bulan sekali, aren dapat dipanen sepanjang tahun. Menurut Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit kimia LIPI, Dr. Hery Haeruddin, dalam satu hektar tanah bisa ditanami 75-100 pohon. Satu pohon aren mampu menghasilkan hingga 20 liter nira per hari. Sedangkan untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira. Tanaman jenis palma ini produktif hingga 6-8 tahun.

Mulanya aren hanya dianggap sebagai tanaman liar yang banyak tumbuh di sekitar hutan dan hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Namun semenjak disadari bahwa aren merupakan komoditas potensial yang juga mampu mengeruk keuntungan besar, aren mulai dibudidayakan dalam skala besar untuk sektor industri. Pemanfaatan lahan kritis mulai dimaksimalkan.

Para investor pun mulai berdatangan, baik asing maupun dalam negeri, misalnya PT Halmahera Enginering, PT Molindo Raya Industrial, Sugar Group Company (SGC), PT Tirtamas Majutama, dan masih banyak lagi perusahaan yang menilai aren sebagai peluang yang amat potensial.

“Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita,”

Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. Jika industri ini maju pesat, masalah pengangguran pun dapat teratasi. Sejauh ini, permintaan dunia terhadap biofuel belum terpenuhi maksimal lantaran ketersediaan bahan yang masih sedikit. Padahal permintaan pasar cukup besar dan tak terbatas, terutama di wilayah Amerika dan Uni Eropa yang paling boros pemakaian bahan bakarnya.

Saat ini harga bersih ethanol di pasaran dunia berkisar antara 1.15- 1.30 dolar per galon. Maka, jika Indonesia memanfaatkan peluang ini untuk memenuhi kebutuhan biofuel dunia, tak diragukan lagi bahwa negara kita akan panen devisa.

Gitu deh…
Sumber: www.kabarindonesia.com
Penulis: Arien Tw

1 komentar: