Lokasi Pengoenjoeng Blog

Senin, 12 Oktober 2009

ABORSI HARUS DICEGAH

Pengantar:
Ini tulisan mas Theo yang saat ini sedang getol studi psikologi. Topiknya menarik, tentang aborsi ditinjau dari efek psikologis.

Ada kejutan dalam tulisan ini, yaitu terungkapnya data tentang jumlah kasus aborsi di Indonesia yang ternyata sangat tinggi, menelan hampir sepertiga jumlah seluruh kasus aborsi dunia. Wow…


Judul: Aborsi Harus Dicegah!
Oleh: Theo (Theodorus)

Ketika kita mendengar kata aborsi, apa yang kita pikirkan? Aborsi sekarang bukan lagi merupakan topik yang enggan dan tabu untuk dibicarakan. Sekarang, kita hidup di zaman yang mengagung-agungkan kebebasan. Bahkan sampai ke tingkat ekstrim; Aborsi yang dahulunya sama sekali ditolak, sekarang telah menjadi alternatif bagi mereka yang menginginkan seks tanpa dibebani masalah membesarkan anak. Sementara di sisi lain banyak orang yang sangat menginginkan anak dan telah mencoba dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan anak itu, misalnya dengan cara terapi hormon atau bahkan bayi tabung dsb. Namun demikian, lebih banyak orang yang menganggap bahwa anak adalah beban hidup yang harus dihilangkan.

Tulisan ini, dengan metode komparatif argumentatif akan mencoba menerangkan mengapa pencegahan aborsi merupakan hal yang mutlak diperlukan. Untuk tujuan itu, tulisan ini membatasi diri pada efek psikologis dari aborsi, karena efek medisnya sudah cukup kentara. Misalnya saja kerusakan serviks, kanker rahim, rusaknya indung telur, dan banyak kerusakan-kerusakan lain yang sulit diperbaiki begitu kerusakan ini terjadi. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas definisi aborsi, penyebab atau pendorong terjadinya, serta efek-efek psikologis aborsi yaitu kehilangan harga diri, mimpi buruk tentang bayi, teriak histeris, mencoba bunuh diri, memakai narkoba dan tidak bisa lagi menikmati hubungan seksual, yang akan dibahas lebih dalam lagi.

Menurut definisi WHO, aborsi yang tidak aman adalah , ”penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan, atau kedua- duanya (dalam Januar,2007). Jika memang demikian, adakah aborsi yang aman? Supadmiati (2007) berpendapat bahwa proses aborsi beresiko sangat tinggi bagi si Ibu, baik aborsi dilakukan sendiri atau dengan pertolongan orang lain. Meski dengan bantuan medis yang aman, aborsi tetap berdampak pada kerusakan rahim, pendarahan hingga kematian.Lebih–lebih secara psikis, ibu akan dihantui rasa bersalah dan berdosa sepanjang hidupnya (Supadmiati,2007). Dari sini, dapatlah diketahui bahwa bagaimanapun juga, aborsi tidaklah aman secara medis fisik maupun secara mental psikologis.

Namun ironisnya, aborsi tampaknya sedang menjadi trend di Indonesia. Menurut perkiraan WHO, ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000-1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (dalam Januar, 2007).

Telah ada banyak tulisan dan buku- buku yang ditulis mengenai aborsi. Selain beberapa buku yang lebih mementingkan ‘toleransi’ daripada keselamatan aktual, sebagian besar setuju bahwa aborsi membawa efek buruk bagi pelakunya, baik secara fisik maupun mental. Akan tetapi, semuanya itu tidak mengurangi minat keliru masyarakat pada aborsi. Apakah penyebabnya? Mengapa ada kaum feminis yang, “menerima bahwa fetus adalah manusia, tetapi bila bayi tidak dikehendaki, itu karena bayi bagaikan pencuri yang masuk ke rumah Anda…” (Danes, S., Christopher, D.,2000), sehingga secara eksplisit mengijinkan terjadinya abosi ‘bersyarat’? Bukan hanya itu saja, Teichman (1998) dalam buku Etika Sosial menulis, “Di Barat aborsi memang tidak diterima sebagai metode pembatasan kelahiran, tetapi diterima sebagai sandaran kalau kontrasepsi gagal. Aborsi juga tidak dibela sebagai cara mengekang pertumbuhan populasi, sebagaimana lazimnya, meskipun ada juga efeknya dalam rata- rata kelahiran.

…, sejauh mereka melihat pembatasan kelahiran sebagai gagasan yang baik, mereka menganggapnya sebagai terutama relevan bagi orang – orang yang hidup untuk kesejahteraan.” (Teichman,1998). Semua ini menunjukkan, bahwa aborsi telah menjadi budaya yang menduia walaupun hal itu tidak diakui.

Ada 3 penyebab dan pendorong terjadinya aborsi yaitu: Berkurangnya bahaya kematian akibat aborsi karena kemajuan teknologi, membuat orang yang dulunya tidak melakukan aborsi karena takut mati, kini mempertimbangkannya sebagai jalan pintas.

Jika ada orang yang mau melakukan aborsi, tetapi tidak ada dokter atau bidan dan dukun beranak yang mau melakukannya, abosi tidak akan terjadi. Oleh karena itu, dokter, bidan dan dukun itu juga mempunyai andil besar dalam pengaborsian. Aborsi hanya bisa terjadi jika orang- orang seperti mereka melupakan sumpahnya dan mau melanggar HAM.

Adanya media massa dan Internet yang mendorong terjadinya pergaulan bebas diantara remaja merupakan faktor yang besar. Menurut Nadesul (2008) dalam bukunya Cara Sehat Menjadi Perempuan, aborsi disebabkan karena pergaulan semakin banyak yang berbuah kehamilan yang tidak diinginkan walaupun tindakan aborsi sendiri tidak dilegalkan (Nadesul,2008).

Jikalau efek fisik aborsi tidak terlalu terasa ataupun diperhatikan karena efeknya terhitung sementara, efek psikologis aborsi bisa membuat si ibu menjadi gila. Ini adalah akibat seumur hidup yang dirasakan baik oleh ibu yang melakukan aborsi terpaksa, dimana janin dikorbankan untuk menjaga nyawa ibu, maupun oleh mereka yang melakukan aborsi konsensual atau aborsi sukarela. Biasanya ibu yang aborsinya terpaksa lebih berkemungkinan sembuh daripada yang melakukan aborsi sukarela.

Seperti yang telah disebutkan, efek psikologis aborsi antara lain: Kehilangan Harga Diri: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya mempunyai citra diri yang lebih positif dibandingkan orang yang pernah melakukan aborsi. Jika hal ini diketahui umum, akan ada sanksi sosial berupa penggunjingan dan pengucilan Walaupun aborsi itu tidak diketahui oleh orang lain, orang yang melakukannya akan memandang rendah dirinya sendiri karena aib pembunuhan bayi yang dilakukannya itu. Orang yang tidak melakukan aborsi mungkin memang akan mengalami masa-masa sulit. Akan tetapi, jika ada dukungan dari keluarga dan tanggung jawab dari kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, pada akhirnya jika mereka berhasil melewati masa sulit tersebut, mereka boleh merasa bangga karena tidak banyaklah orang-orang yang berhasil seperti mereka.

Mimpi Buruk Tentang Bayi: Orang yang tidak melakukan aborsi umumnya tidak mengalami mimpi buruk semacam ini. Mimpi ini dialami oleh mereka yang melakukan aborsi, terutama dari pihak ibu karena hati nuraninya yang merasa bersalah. Walaupun secara sadar ibu telah menggunakan segala macam rasionalisasi yang termasuk tetapi tidak terbatas pada alasan kondisi ekonomi, bawah sadar ibu itu belum dapat memaafkan dirinya sendiri, mimpi itu bisa muncul sebagai pelampiasan dari bawah sadar. Sementara orang yang tidak melakukan aborsi dapat tidur dengan nyenyak dan tenang, orang yang melakukan aborsi tidak bisa tenang, bahkan dalam keheningan mimpinya.

Teriak Histeris: Ini adalah bentuk lain dari pelampiasan bawah sadar. Sekali lagi, ini hanya dilakukan oleh orang yang pernah melakukan aborsi, sedangkan yang tidak melakukannya tidak mengalami hal ini.

Mencoba bunuh diri dan memakai narkoba: Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan narkoba dan mencoba bunuh diri. Bagi pelaku aborsi, alasannya masih berkaitan dengan hilangnya harga diri mereka. Bukan saja masnyarakat umum yang merendahkan dan mencela mereka, merekapun tidak lolos dari penghakiman nurani mereka sendiri. Mereka merasa begitu bersalah sehingga mereka merasa pantas mati. Mereka menganggap kematian mereka dapat menebus kesalahan mereka dan menghindarkan diri mereka dari tuntutan hati yang terus mengejar mereka.

Pertanyaannya sekarang, apakah pelaku aborsi itu ingin mati dengan cepat atau lambat? Jika ingin mati secara cepat, mereka akan bunuh diri; misalnya dengan menggantung diri, minum Baygon, lompat dari ketinggian dan lain sebagainya. Sedangkan yang memilih mati secara lambat dan ‘enak’ mengambil jalan mati karena kelebihan dosis narkoba. Itu semua tidak akan terjadi bila orang masih mempunyai harapan. Selama harapan masih ada, semangat hidup terus berkorbar. Orang yang hamil tetapi tidak melakukan aborsi, tidak dibebani oleh rasa bersalah yang tak tertahankan itu. Orang itu akan berusaha hidup untuk bayi yang dikandungnya. Karena bayi itulah ibu tetap hidup.

Tidak Bisa Lagi Menikmati Hubungan Seksual: Mungkin inilah efek jangka panjang yang paling terasa bagi pelaku aborsi. Trauma yang disebabkan karena aborsi menghalangi mereka untuk menikmati hubungan seksual di kemudian hari, meskipun peristiwa aborsi itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Pelaku merasa tidak suci atau menjadi frigid karena pengalaman masa lalunya itu. Dalam suatu pernikahan yang bahagia, tak pelak lagi hubungan seksual memegang peranan yang sangat penting, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa tujuan seseorang menikah semata-mata hanya demi hubungan seksual. Maka dari itu, orang yang tidak melakukan aborsi mempunyai potensi rumah tangga bahagia yang lebih besar daripada orang pelaku aborsi.

Sebagai penutup tulisan ini, ijinkan penulis menekankan sekali lagi bahwa aborsi harus dicegah! Melakukan aborsi membawa kesenangan sesaat. Seakan-akan dengan melakukannya, masalah yang kita hadapi lenyap saat itu juga. Rasanya kita tidak perlu lagi mengurus hal remeh dan tidak usah bertanggung jawab apa-apa.

Tidak melakukan aborsi kelihatannya sangat menyusahkan dan merepotkan. Akan tetapi ingatlah! Kesenangan dan kesusahan itu hanya sementara saja. Pelaku aborsi akan mengalami penderitaan seumur hidupnya, sedangkan orang yang tidak melakukan aborsi bukan saja menjaga kesehatannya secara fisik, tetapi juga dapat memperoleh kebahagiaan batin selama- lamanya!

Selesai.

Gitu deh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar