Lokasi Pengoenjoeng Blog

Jumat, 19 Februari 2010

BECAK JOGYA KAGAK ADE MATINYE


Dikala becak diburu, dimusnahkan dan dilarang beroperasi di Jakarta, Jogya justru membiarkan dirinya disebut sebagai "kota becak". Kenapa begitu? Pengin tahu?

Jogya memang istimewa, lain dari yang lain. Ketika becak di Jakarta sedang gencar dirumponkan, Sri Sultan HB IX justru menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Ya, keberadaan becak di Jogya telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Dalam wilayah turisme misalnya, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu wisata, para penjual kerajinan, penjual makanan dan oleh2, galeri, hotel, toko souvenir, para abdi dalem Kraton, bahkan dengan pelacuran.

Pada kemunculannya pertamakali di Indonesia, becak dielu elu dianggap sebagai arena lapangan kerja baru. Namun selanjutnya becak ditolak kehadirannya justru karena kelenturannya yang luar biasa sebagai penampung pencari kerja yang datang ke kota, yang dianggap "membahayakan" pembangunan kota moderen. Aneka alasan seperti becak tidak manusiawi kek, becak sumber kemacetan kek, dipakai untuk meminggirkan, untuk meniadakan becak dari kehidupan kota. Menyanggah dengan mengatakan bahwa becak itu merupakan moda transportasi yang manusiawi dan ramah lingkungan, namun tanpa diimbangi dengan pemahaman becak sebagai bagian dari sejarah kota itu, bakalan sia2 deh. Mengatakan sanggahan demikian justru semakin menegaskan bahwa becak memang rentan terhadap pemusnahan. Dan itulah yang telah terjadi di kota besar. Seperti di Ibukota Jakarta sejak beberapa puluh tahun lalu becak dilarang beroperasi.

Namun lain cicak lain buaya, lain becak di Jogya lain di Jakarta. Di Jogya becak bukan semata-mata perkara transportasi yang tidak manusiawi ataupun perkara mobilitas "wong cilik" yang memacetkan jalanan dan menyesaki ruang kota, tetapi antara becak dan kota Jogya, keduanya memang saling menghidupi saling melengkapi, sudah bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, kayak mimi lan mintuno. Gitu loh…

Perjalanan sejarah becak di Jogya dimulai sebelum Perang Dunia II. Dan selama beberapa tahun setelahnya, becak dapat diterima dengan baik sebagai alat transportasi. Banyak tenaga pengayuh yang terserap. Ongkosnyapun relatif murah. Lebih cepat dari berjalan kaki dan relatif nyaman. Dikala hujan, penumpang tidak kehujanan, dikala panaspun tidak kepanasan, lha wong ada atap terpalnya. Yang jelas becak merupakan alat transportasi yang lebih baik dari yang ada sebelumnya untuk memecahkan masalah transportasi dengan jarak yang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya bisa mengangkut orang tapi becak juga bisa mengangkut barang. Jadi becak merupakan alat angkut orang dan barang yang nir energi, nir polusi dan "teleknya" tidak mengotori (jika dibandingkan dengan andong).

Pernah becak jadi raja jalanan. Tapi itu dulu sewaktu belum ada angkot, taxi maupun ojek. Kala itu becak banyak berseliweran di sela sepeda pribadi, beberapa motor pribadi, segelintir mobil pribadi, andong serta gerobak sapi. Pengusaha rental becak berjaya. Dan saya juga masih ingat dulu di sebelah rumah, di Kemetiran Kidul dekat Malioboro, ada garasi merangkap bengkel becak milik Bah Mbing. Saya yang masih ABG demen nongkrong di situ melihat pak Man Juru Gambar, salah satu pekerjanya, bekerja menggambari slebor2 becak. Slebor itu tidak hanya digambari pemandangan gunung kembar, Merapi dan Merbabu, tapi juga ditulisi dengan aneka slogan, Adem Ayem, Ayem Tentrem, Waton Ayem, dsb.Wiih, unik banget.

Oleh Bah Mbing becak2 yang puluhan jumlahnya itu disewakan ke para tukang becak yang berasal dari desa pinggiran Jogya, dari mBantul, ngGanjuran, Palbapang, nDenggung, Sentolo, Prambanan, mBayat, Wonosari dsb. Tidak siang tidak malam becak2 itu laris tersewa. Mereka, para tukang becak, biasa mangkal di Stasiun, di Pasar, di Stanplat, di Malioboro, di depan hotel atau dimana saja tempat yang ramai orang. Di pagi hari kita bisa melihat becak dikayuh tergesa mengantar anak berangkat sekolah dan siang harinya menjemput pulang. Atau kita bisa melihat Pak Paijan ngos2an nggenjot becak mengantar Mbokde Setu Legi (setengah tuwo lemu ginuk2) menuju ke pasar dan sorenya menuju pulang.

Kostum pak becak teramat sederhana. Nyeker, bercelana kolor, berbaju seadanya dan bercaping. Mereka berpakaian seadanya seperti itu karena mereka memang bukan orang yang berada. Umumnya mereka hanya punya modal dengkul (dalam arti harafiah). Sehingga kalau becak kemudian diindentikkan dengan kehidupan rakyat kecil, dengan kemisikinan, itu memang tidak keliru. Yo pancen begitulah kenyataannya waktu itu, mau bilang apa?

Jamanpun berkembang, roda2 berputar kian kencang. Sepeda onthel yang dulu digeos kethowal kethawil dan mlakune thimik2 kini telah digantikan oleh pit montor alias sepeda motor, gerobak sapi salin rupa jadi Kijang pikep, andong jadi angkot. Kini tak lagi terdengar glodhak glodhek suara roda besi pedati, tak sering lagi terdengar dag dig dug suara sepatu kuda. Yang santer terdengar adalah suara ingar bingar deru mesin, bunyi raungan knalpot serta prat pret bunyi klakson kendaraan2 bermotor. Dan di lingkungan nan hiruk pikuk seperti itulah becak itu berada. Piye Jal?

Kalau di tempat lain jangan harap becak dapat selamat dari seleksi alam yang super ketat macam begitu. Lambat laun becak bakal tergusur tergantikan oleh jenis angkutan lain yang lebih ampuh dan lebih bisa wes ewes bablas ngebut. Tapi untunglah berkat sejarah kota Jogya yang istimewa, Jogya sebagai kota budaya dan sebagai daerah tujuan wisata maka kita boleh berharap keberadaan becak di Jogya akan bisa langgeng lestari senantiasa hingga nanti sepanjang masa, sepanjang usia kota Jogya. Wis jan, Jogya pancen oye, kata dalang ki Manteb. Jogya never ending Asia, kata Sri Sultan. Dan kata orang Betawi dengan nada setengah ngiri: "Becak Jogya kagak ade matinye, ni yeee…"

Berwisata ke Jogya, kurang afdol kalau tidak kiya kiya berbecak ria raun raun kota. Bener lho. Bahkan sekarang dengan ongkos yang super murah kita sudah akan dikelilingkan oleh pak becak ke berbagai toko cenderamata, toko batik, toko buah tangan dsb. yang tersebar di seantero Jogya. Tentang hal itu ada seorang turis mancanegara, Lemaire namanya, yang mengamati dan menulis begini:
"Saya selalu bertanya tanya mengapa tukang becak di sekitar Kraton lebih ramah daripada tukang tukang becak yang lain, dan menawarkan layanan mereka seharga hanya Rp1.000,00, Kenyataannya adalah tukang tukang becak ini dapat membawa para turis ke berbagai toko yang berbeda, dan di sana mereka mendapatkan komisi dari setiap barang yang dibeli oleh sang turis. Uang yang mereka dapatkan dari komisi ini biasanya lebih tinggi daripada ongkos becak sesungguhnya. Sistem komisi ini pun ada pada skala yang lebih tinggi: beberapa tukang becak, yang bekerja di sekitar Sosrowijaya pada malam hari, "mampu membaca mata lelaki", dan membawa para lelaki ini ke rumah rumah bordil di "SARKEM" di sekitar situ. Mereka biasanya menerima komisi sebesar Rp30.000,00 untuk setiap klien yang mereka bawa."

Nah, sekarang baru ketahuan bahwa ternyata dimungkinkan adanya hasil "sampingan" yaitu komisi, tip ataupun bingkisan, yang lumayan dari kerja narik becak di Jogya. Sehingga kita tidak perlu heran kala menyaksikan seorang tukang becak yang berwajah cerdas, berkostum pantas, berkalung handphone, punya alamat email ataupun face book dan bahasa Inggris serta Belandanya cas cis cus. Itulah dia profil si abang pemandu "becak wisata" masa kini. Citra lama sosok tukang becak yang kusut, kumuh, susah, menderita, tak berpendidikan, tak berketrampilan dsb, luruh sudah. Digantikan oleh para mas mas (atau nantinya juga mbak mbak?) tukang becak yang piawai memandu para pelancong lokal maupun interlokal. (Saxjannya tipe tukang becak yang merangkap jadi guide itu lebih cocok lho kalau dijuluki "Gaet Genjot". He he…. ).

Dan tempo hari sewaktu saya dari Jakarta tiba di stasiun Jogya saya sempat merasakan keramahan salah seorang mas tukang becak itu. Ditengah kerumunan para tukang becak yang menawarkan jasa, saya mendengar sapaan menggelikan.
"Pakde, pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk." Saya tertarik, mendekat dan bertanya:"Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk?"
"Soalnya becak saya pakai tiga roda," jawabnya sembari menyanyi lucu sekali: "Nyamuk sini cuma takut tiga roda, toret toret…." "Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuk" batin saya.
"Yo wis ayo tarik. Menyang mBadran piro? Seket ewu yo". kata saya . "Lah, kebanyakan Pakde" katanya. "Yo gak apa. Sepuluh ewu dinggo mbayar mbecake, patang puluh ewu dinggo dagelane". Dan kami berduapun tertawa ngkik3x.

Tujuh menit kemudian sampailah saya ke tempat tujuan, yaitu mBadran Cafe Jinemji.

Wis ngono wae…
(Studi dari berbagai sumber).

Senin, 15 Februari 2010

PROFESI PERAMAL, KAGAK ADE MATINYE


Kegiatan ramal-meramal telah ada sejak awal sejarah. Dulu, meramal kerap diasosiasikan dengan suasana yang seram, ruang peramal yang gelap, sempit, dan dipenuhi asap dupa. Ditambah dengan aksi peramal yang tak kalah menegangkan. Namun kegiatan meramal ternyata juga berubah, sesuai perkembangan zaman, terutama di Jakarta. Kegiatan tersebut kini memasuki trend baru, yaitu diadakan di kafe-kafe.

Di kafe, ramalan tampaknya lebih ditujukan sebagai sebuah bentuk hiburan. Para peramalnya pun rata-rata berusia muda, dan berdandan modis. Sementara pengguna jasanya juga biasanya hanya sekedar ingin tahu masa depan, tanpa sungguh-sungguh memasukkan ramalan tersebut ke dalam hati. Ini tidak berbahaya. Yang berbahaya, adalah jika orang tersebut menjadi takut, dan melakukan usaha yang tidak sepantasnya.

Psikolog menilai, orang yang datang ke peramal, apakah untuk melihat masa depannya, ataukah untuk minta tolong diberikan jalan untuk mencapai cita-citanya, tidak memiliki rasa percaya diri. Namun bagi Bulik Sopo Kae, seorang peramal, mereka yang datang kepadanya bukannya tidak memiliki rasa percaya diri, melainkan mencari teman berbagi cerita yang tidak berpihak.

Melihat masa sekarang ataupun masa depan, dengan medium kartu, tanggal lahir dan punggung tangan, ataupun kartu tarot, dengan kesurupan ataupun tidak, di ruang khusus ataupun sekedar kafe, nyatanya profesi peramal pada umumnya, memang senantiasa dibutuhkan orang. Sampai kapanpun, keingintahuan orang akan hidup dan kehidupannya memang tak akan pernah terpuaskan. Di sisi lain, nyatanya membuka peluang usaha baru.

Gitu deh…

Kamis, 04 Februari 2010

GENJER2 BIKIN MERINDING…

Pengantar:
Syair lagu Genjer2 itu ternyata telah diplesetkan sedemkian rupa oleh PKI. Sehingga seiring dengan penumpasan organisasi politik itu pada tahun 1965, lagu Genjer2 versi PKI dilarang edar. Dan adalah seorang kanak2 yang berhasil merekam serta menuangkan kembali ingatannya akan peristiwa ngeri yang disaksikannya diseputar pembersihan anggota PKI pada waktu itu, lebih dari 40 tahun lalu. Berikut ini kisah lama yang ditulisnya sendiri baru2 ini.


Lagu ini telah banyak membuat orang traumatis pada era setelah tahun 65. Terutama pada saat "pembersihan" orang2 yang dituduh berfaham komunis (PKI). Jangankan menyanyikan, mendengarkan saja (lewat PH atau pita gulung) sudah sangat takut, apalagi menyimpan piringan hitam atau pitanya. Bahkan menyebut nama lagunyapun dengan setengah berbisik, takut kedengaran orang dan diciduk.

Pada masa jayanya PKI lagu itu dinyanyikan para gadis sambil menari-nari. Saya hanya ingat sedikit, capet2 lah, karena masih kecil dan belum sekolah, mustinya generasi di atas saya tahu persis soal ini, termasuk sepak terjang PKI waktu itu. Yang saya ingat pada era pencidukan, bukan hanya militer, tetapi juga massa. Ayah saya yang seorang anggota polisi saja tidak mampu berbuat banyak ketika massa menyerbu rumah seseorang yang diindikasikan anggota organisasi terlarang itu.

Tidak jauh dari rumah saya ada bekas bangunan markas Belanda yang dikelilingi tembok setinggi 3 meter lebih. Setiap pukul 6.00 sore selalu terdengar lolongan orang kesakitan dan minta tolong. Ini bukan cerita hantu, tetapi penyiksaan orang2 yang diciduk, terutama anggota gerwani.

Miris dan sangat miris, tapi semua orang dewasa hanya bisa diam dan semakin membuat suasana menakutkan serta trauma berkepanjangan. Semua berlalu begitu saja, pengadilan tidak lagi berperan dan yang tewas hanya dibungkus tikar, entah dikubur di mana.

Sisa2 kekejian satu dua tahun kemudian masih terlihat di beberapa tempat, salah satunya di sungai pasir Pandan Simping. Sungai yang penuh pasir Merapi (lebih tinggi dari jalan di sampingnya) ini terletak di perbatasan Klaten-Prambanan. Saya masih ingat, sekitar tahun 68-69 sering bersama ibu berziarah ke Goa Maria Sendang Sriningsih. Kami harus melewati sungai pasir itu dan sisa2 kekejaman masih nampak, tulang belulang manusia, termasuk tengkorak berserakan di sungai yang tidak kelihatan airnya itu. Sebuah pemandangan yang tidak sehat bagi kejiwaan seorang anak berusia 8-9 tahun. Bukti2 ini sekarang sudah tidak nampak lagi, sungai itu sudah kehilangan pasirnya. Dan tulang belulang juga lenyap terseret air banjir.

Sebuah era yang menakutkan, mendengar lagu itu saya masih merinding dan rasa takut masih terasa di kudukku. Membayangkan orang2 desa berlari diberondong peluru dan yang tertangkap disuruh menggali lubang kuburnya di kali pasir dan dipenggal, cerita sehari2 yang mewarnai hari2 "pembersihan" itu sekarang sudah ikut terkubur zaman.

Oleh: Awe Subarkah