Lokasi Pengoenjoeng Blog

Sabtu, 30 Mei 2009

AKSESORIS BUSANA JAWA…, DI KRATON TERIKAT ATURAN

Melengkapi diri dengan aksesoris seperti kalung, gelang, anting, bros, bando, dan sebagainya bisa dipastikan dengan tujuan tampil lebih percaya diri, lebih cantik, atau lebih cakep, tampan. Bagi masyarakat kebanyakan, persoalan aksesoris memang tidak ada batasnya, tetapi untuk lingkungan tertentu seperti keraton, hampir selalu terkait dengan tatanan atau aturan tertentu. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, wanita yang belum menikah tidak dibenarkan memasang aksesoris bunga di sanggul.

Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi busana sehari-hari dan busana resmi. Busana resmi masih terbagi menjadi busana untuk menghadiri upacara alit dan upacara ageng. Dari pengelompokan busana itu masih diperinci menjadi busana anak-anak, remaja dan dewasa.

Dalam buku Busana Adat Kraton Yogyakarta yang ditulis oleh RA. Siti Kusmariyalunnatmi, atau Mari S. Condronegoro disebutkan, sejak kecil putra-putri Sultan telah mengenal beberapa peraturan yang membedakan dirinya dengan status personal lain, diantaranya melalui busana yang dipakai berupa kencongan untuk anak laki-laki dan busana sabukwala untuk anak perempuan. Aksesori yang dikenakan biasanya kalung dan peniti bros serta bulu-bulu yang dikenakan di kepala.

Busana sabukwala dikenakan anak perempuan usia tiga tahun sampai 10 tahun tergantung ukuran tubuh si anak. Busana ini ada tiga macam yaitu busana sabukwala nyamping batik sebagai busana harian atau menghadiri upacara alit. Kedua, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan dan ketiga, sabukwala nyamping cinde untuk upacara grebeg. Sabukwala padintenan yang digunakan sebagai busana harian terdiri dari nyamping batik, baju katun, ikat pinggang berupa kamus songketan bergambar flora dan fauna, memakai lonthong batik bermotif tritik dan cathok dari perak berbentuk kupu, garuda atau merak.

Adapun aksesorisnya berupa subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang, gelang berbentuk ular atau gligen atau gelang model sigar penjalin. Bagi yang berambut panjang disanggul dengan konde. Kainnya bermotif parang, ceplok atau gringsing. Ketika menginjak usia 11-15 tahun, sabukwala ditinggalkan dan diganti dengan busana pinjung. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada yang panjangnya diukur dari dada ke bawah sampai di atas pusar. Wiru (lipatan) di sebelah kiri ini hanya boleh dikenakan para putri hingga cicit Sultan sampai cicit raja, selebihnya wiru harus di sebelah kanan.

Busana pinjung dilengkapi pinjung padintenan terdiri dari kain batik tanpa baju, lonthong tritik, kamus songketan, dilengkapi udhet tritik (semacam selendang sebagai hiasan pinggang yang dikenakan di bawah lonthong kamus), mengenakan subang, kalung dinar, gelang gligen. Sementara, sanggul berbentuk tekuk polos tanpa hiasan.

Busana Samekan

Untuk remaja atau dewasa, busana harian menggunakan samekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain panjang biasa. Busana yang disebut samekan padintenan ini terdiri kain batik, kebaya katun dengan aksesoris subang, gelang ular atau gelang gligen serta cincin. Untuk busana sehari-hari para putri Sultan tidak memakai kalung dan sanggulnya berbentuk sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Untuk putri raja yang sudah menikah terdiri atas samekan tritik dengan tengahan, kebaya katun, kain batik, sanggul tekuk polos tanpa hiasan, memakai subang, cincin, serta saputangan merah sebagai tempat mengikat kunci.

Sedang untuk laki-laki lebih sedikit ragamnya, hanya terdiri dari busana anak-anak dan dewasa. Busana anak-anak berupa kain batik dengan model kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang terbuat dari suwasa (emas berkadar rendah). Pada usia dewasa, para bangsawan mulai terlibat dalam beberapa kegiatan seremonial. Oleh karena itu, menurut Mari S. Condronegoro, busana yang dikenakan terlihat lebih bervariasi. Berbagai simbol yang tercermin dari pakaian merupakan alat komunikasi yang memberikan arti bagi masing-masing pribadi.

Dengan melihat pakaiannya orang dapat menentukan siapa pemegang peran sebuah upacara. Busana dewasa dibedakan menjadi empat macam yaitu ubet-ubet, samekan, rasukan dan kampuhan. Pada zaman Sultan Hamengku Buwono I pernah dibuat rancangan busana pria yang dinamakan surjan atau takwa. Takwa berasal dari kata taqwa yang berarti patuh pada Allah. Dengan busana taqwa diharapkan para pemakainya selalu ingat akan perintah Allah.

Kata surjan diambil dari kata surja yang berarti nglungsur wonten jaja atau meluncur melewati dada, sehingga bentuk surjan lebih panjang didepan daripada belakang. Pada upacara (semisal) grebeg Syawal, putri-putri kerabat Keraton yang sudah bersuami mengenakan busana kampuhan dengan tengahan, nyamping cinde, udhet, slepe, ukel tekuk, ceplok jebehan satu warna, pethat gunungan, sengkang, supe, kacu sutra. Aksesori sanggul berupa ceplok jebehan. Tapi untuk grebeg Mulud hiasan sanggul yang dikenakan ceplok tanpa jebehan.

Gitu deh…

Sumber: Heritage of Java

Kamis, 28 Mei 2009

MAKE UP


Di dunia hewan, sang jantan yang biasa bersolek. Tapi manusia, kok justru wanitanya yang berdandan, bermake up: lehernya dikalungin, kupingnya diantingin, bulu matanya dilentikin, matanya dibelalakin, bibirnya dilipstikin, udelnya ditindikin, bulu kakinya dicabutin..., auwww!

Sudah dari jaman dulu ya begitu itu. Kenapa ya?

NGEMPENG..., ASYIK LHO


Jangan percaya begitu saja kalau ada orang bilang empeng dapat menyebabkan bayi mengalami bingung puting. Bayi itu sebenarnya jauh lebih pintar lho dari yang kita kira. Dia tahu benar perbedaan antara puting ibu dengan empeng. Dia tahu mana “mut mutan” yang sekedar buat seneng2, alias empeng, dan mana “mut mutan asli” kepunyaan ibu yang bisa bikin dia kenyang…

Dan kita, meskipun mungkin tidak ingat lagi tapi tentunya waktu bayi dulu juga pernah melakukannya, ngenyot empeng alias ngempeng. Ini tidak perlu dibantah karena buktinya sampai sekarangpun kita2 juga masih suka…, ngenyot, ngemut, ngempeng, nyusu atau apapun istilahnya, pokoknya yang berkaitan dengan oral pleasure, gitu?

Seiring jaman, pengetahuan orang soal empeng mengempeng inipun makin bertambah. Sekarang orang tahu bahwa:
Ngempeng memberikan efek menenangkan pada bayi.
Ngempeng cukup dilakukan oleh bayi sampai dia berumur 1 tahun. Lebih dari itu dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi pertumbuhan giginya, misalnya gigi jadi tongos dsb.
Ngempeng cukup dilakukan sekali sekali saja, karena kalau bayi ngemut empeng terlalu intens alias ngempeng terus, kapan dong dia mulai belajar ngoceh?

Ya, ngempeng memang…, asyik lho.

Gitu deh…

"USDEK" MODEL PERJAMUAN TEMANTEN JAWA JADUL


Masa kecil, di Jogja, paling senang kalau saya diajak Bapak Ibu menghadiri undangan pernikahan, soalnya…, ditanggung kenyang deh. Tidak hanya kenyang tapi kita merasa benar2 dimanjakan. Bagaimana tidak, kita sebagai tamu cukup hadir tepat waktu, duduk manis, dan aneka suguhanpun datang sendiri ke haribaan. Aneka hidangan itu mengalir otomatis, selesai suguhan yang ini, muncul lagi makanan yang itu….

Begitulah cara jadul yang biasa dilakukan dalam jamuan resepsi mantenan di Jogja. Orang menyebut sistim jamuan itu dengan istilah USDEK, singkatan dari Unjukan alias minuman sebagai hidangan pembuka, lalu Sop, kemudian Daharan atau makan besar, dan Es puding sebagai hidangan penutup, setelah itu ya silahkan Kondur atau pulang karena acara sudah selesai.

Sambil menikmati hidangan itu kita dihibur dengan tari-tarian atau ular-ular (nasehat) perkawinan. Dengan keluarnya es puding ini berarti isyarat bahwa para tamu dipersilahkan kondur (pulang). Temanten berdua didampingi kedua orang tuanya akan menuju ke pintu keluar untuk menerima ucapan selamat dari para undangan.

Kalau sekarang sih sistim USDEK sudah tidak lagi dipakai dalam acara resepsi perkawinan, tapi sudah digantikan oleh sistim prasmanan. Padahal USDEK…, asyik banget lho…

Gitu deh…

Selasa, 26 Mei 2009

AMOY CUNGKUO

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di pergantian abad 20 ke abad 21 ini Jakarta dibanjiri pelacur atau perek asing dari Tiongkok dan Uzbekistan.

Amei, seorang mucikari mengaku sudah 2 tahun lebih mengelola PSK asal China. Para amoy yang sering disebut Cungkuo, jadi dagangan utama yang dijajakannya di sebuah tempat hiburan di bilangan jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Sekali kencan tarip si Amoy minimal Rp 1,5 juta.

Namun tidak hanya sekarang saja, di masa silampun kupu2 malam asal mancanegara sudah hinggap di Jakarta semasa kota ini masih bernama Batavia. Pada akhir abad ke 19 hingga awal tahun 1900 an, ratusan bahkan ribuan pekerja sex asal Jepang yang dikenal dengan sebutan Karayuki San, membanjiri Nusantara, terutama di kota besar seperti Batavia, Medan, Palembang, Surabaya.

Kulit kuning langsat, wajah manis, gerak gerik manja, tutur kata lembut, itulah sosok para pekerja sex komersial atau Karayuki San yang turut direkam oleh para penulis besar Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer hingga Remy Silado.

Ya, soal binis esek2 nampaknya memang…, kagak ada matinya.

Gitu deh…

NOSTALGIA DI SEKOLAH


Masa sekolah sudah lewat beberapa puluh tahun lampau. Meski begitu kenangan kepada masa2 itu tetap ada melekat di ingatan, kenangan saat kita duduk di bangku Taman Kanak2, di Sekolah Dasar (SD), di SMP, SMA dst. Di sana ada kenangan pada pak guru, bu guru, pada teman2 sekelas, teman sebangku, pada kantin, pada idola dsb. Ah....

Minggu, 24 Mei 2009

VW KODOK..., never die





Julukan untuk mobil unik buatan Jerman ini adalah VW BUG atau VW BEETLE, tapi entah mengapa kita orang menyebutnya VW KODOK. Dan meskipun mobil VW KODOK ini sudah ada sejak lebih dari 70 tahun lalu, namun hingga kini masih banyak orang yang menyukainya.

Ya, nampaknya si VW KODOK, VW BUG atau VW BEETLE ini..., tidak ada matinye!

Gitu deh...

SEPATU DISCO


Wong Jowo itu sungguh kreatif, kata sepatu misalnya, dimaknai sebagai “tlesepaning tungkak”, artinya…, ya sepatu. Dan sepatu itu amat besar gunanya. Bayangkan saja kalau kita berjalan di panas terik tanpa alas kaki, tanpa sepatu…, mana tahan lah yauw. Namun sepatu tidak hanya berguna sebagai alas kaki saja, tapi juga musti enak dipakainya dan…, modis.

Trend mode sepatu silih berganti dari tahun ke tahun. Namun ada satu model sepatu yang sangat mengesankan bagi saya, yaitu model sepatu tahun 70 an, seperti dalam gambar ini. Model sepatu laki2 berhak tinggi, lebih dari 10 centi itu biasa dijuluki sepatu disco, atau sepatu “roti tawar”.

Ah…, ingat sepatu disco itu saya jadi ingat masa lalu, ingat masa remaja. Wihhh, kalau kita sudah berdandan pakai sepatu itu, dikombinasi dengan celana cutbray, sabuk gede, baju ketat dan rambut gondrong dhiwut2…, rasanya udah top markotop dah, serasa bak peragawan. Ingat?

Itu dulu….

Sabtu, 23 Mei 2009

Yogyakarta…, Dari Sultan ke Sultan


Kepada majalah Tempo (17 Oktober 1987), Sri Sultan HB IX pernah menegaskan bahwa gelar ”Sultan Hamengku Buwono” akan tetap ada turun-temurun. Nama itu merupakan penggalan dari sebuah gelar panjang sebagai berikut: Sampeyan Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping... ing Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat Mataram. Nama ini menunjukkan otoritas dirinya sebagai seorang raja yang bertahta dan berkuasa secara politik, militer, dan sosial keagamaan.

Sudah lebih dari 250 tahun ini (sejak 1755) Kasultanan Yogyakarta berdiri dan berkembang. Sultan berganti Sultan. Setiap raja memancarkan kemuliaannya sendiri-sendiri. Karya-karya semasa mereka hidup menorehkan sejarah tersendiri.

HAMENGKU BUWONO I (1755-1792)
Nama kecil HB I adalah B.R.M. Sudjono. Setelah dewasa, sebelum naik tahta, HB I mempunyai nama Bendara Pangeran Hario (B.P.H.) Mangkubumi. Raja yang senang bertapa ini adalah seorang pembelajar. Filsafat, ilmu kemiliteran, dan ilmu pemerintahan ditekuninya. Ketika pada suatu hari bersemadi di desa Beton (sebelah timur Kraton Surakarta), ia mendapatkan visi (wahyu, wangsit) tentang bagaimana dirinya harus menjadi seorang pemimpin yang bisa mengayomi segenap rakyat.

Meskipun ia seorang pejuang yang melawan Penjajah dengan gagah berani, jiwa seninya sangat kuat. Beberapa karya seninya adalah tarian Beksan Lawung, tarian Wayang Wong, tarian Eteng, seni wayang Purwo, dan seni arsitektur Kraton Yogyakarta.

HAMENGKU BUWONO II (1792-1812)
Sebutan lain untuk HB II adalah Sultan Sepuh. Adapun nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas Sundoro. Raja yang nasionalis ini berani menentang Penjajah. Ia tidak segan-segan menjuluki Gubernur Jenderal Daendeles sebagai orang yang tidak tahu adat dan melanggar tata krama. Karena sikapnya yang anti-kolonialisme itu, HB II sempat dibuang ke Pulau Pinang dan Ambon.

Karya sastra HB II berjudul Serat Surya Raja, menggambarkan tentang bagaimana seandainya dua buah kerajaan bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang raja yang arif (Purwadi, 2007).

HAMENGKU BUWONO III (1812-1814)
Pemilik nama kecil Gusti Raden Mas Surayo ini adalah ayah dari Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan legendaris. HB III sendiri adalah seorang nasionalis. Ia menepati petuah ayahnya (HB II) untuk bersikap anti-kolonialis. Namun, pada masa Penjajahan Inggris di Indonesia, HB III terdesak. HB III terpaksa harus melepaskan haknya atas tanah-tanah di Kedu, Pacitan, Japan, Jipan, dan Grobogan. HB III hanya bertahta selama dua tahun karena meninggal pada usia 43 tahun.

HAMENGKU BUWONO IV (1814-1823)
Pada usia 13 tahun, G.R.M. Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan HB IV. Pengangkatan itu dilakukan atas usul residen Gernham. Karena masih terlalu muda, dibentuklah Dewan Perwakilan untuk membantu kepemimpinanya. Dewan itu terdiri dari Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ranadiningrat, dan RadenTumenggung Mertanegara. Sayangnya, tim ini rawan konflik karena masing-masing anggotanya memiliki kepentingan sendiri-sendiri (Purwadi, 2007). Namun, selama masa pemerintahannya, HB IV cukup mendapat dukungan dari rakyat.

HAMENGKU BUWONO V (1823-1855)
HB V lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dengan nama kecil G.R.M. Gathot Menol. Ia diangkat menjadi Sultan ketika berusia 3 tahun (1823). Karena masih kanak-kanak, ia didampingi oleh sebuah Dewan Perwalian yang terdiri dari neneknya (Kanjeng Ratu Ageng), ibunya (Kanjeng Ratu Kencana), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro (anak dari HB III). Namun, Pangeran Diponegoro kemudian meletakkan jabatan itu. Ia bersama dengan Sentot Prawirodirjo dan Kyai Maja memberontak melawan Penjajah Belanda.

HAMENGKU BUWONO VI (1855-1877)
Nama kecil HB VI adalah G.R.M. Mustojo. Semasa pemerintahannya, Mataram (Kasultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran) mengalami kemunduran secara politis. Menurut Ricklefs, kemunduran dalam bidang politik ini justru mendorong kamajuan di bidang sastra dan budaya (Purwadi, 2007). Masa ini bisa disebut sebagai masa renaisans kesusastraan Jawa klasik. Para pujangga mendapat peluang besar untuk berkarya pada waktu itu. Salah seorang yang terkenal adalah Raden Panji Nataroto. Disamping produktif dalam menulis, ia juga seorang ahli kebatinan.

HAMENGKU BUWONO VII (1877-1919)
Nama kecil HB VII adalah G.R.M. Murtejo. Menurut Serat Babad Mentaram (1898), penghasilan Kasultanan mengalami peningkatan. Kasultanan memperoleh keuntungan dari hutan jati di Wonosari, penyewaan tanah, dan bisnis tujuh belas pabrik gula. Kecuali itu, Kasultanan juga memperoleh keuntungan dari pembayaran ijin penggunaan jalur kereta api (jalur Yogyakarta-Tempel-Magelang, jalur Yogyakarta-Pundong, dan jalur Brosot-Samigaluh). Menjelang masa tua, HB VII meletakkan tahta dan memilih untuk nyepi (lengser keprabon mandeg pandhita). Untuk itu, HB VII yang juga disebut sebagai Sultan Sugih membangun pesanggrahan Ambarukmo (Saat ini terletak di antara Hotel Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza).

HAMENGKU BUWONO VIII (1921-1939)
Sebelum dinobatkan menjadi HB VIII, ia bernama G.R.M. Suyadi. Pada masa HB VIII bertahta, intervensi Belanda dalam pemerintahan Kasultanan Yoyakarta semakin kuat. Bahkan, posisi tawar Kasultanan dinyatakan semakin lemah dalam Acte van Verband yang merupakan politiek contract antara Belanda dengan HB VIII. Pertama, kedudukan Sultan semata-mata ada karena pemberian Belanda, bukan karena berhak sebagai raja. Kedua, Sultan harus setia dan mengabdi kepada Belanda. Ketiga, Sultan tidak berwenang mengubah peraturan yang berlaku di dalam Kraton, kecuali atas persetujuan Belanda.

Menjelang wafat, HB VIII cepat-cepat mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan kepada putranya (G.R.M. Dorojatun). HB VIII memanggil pulang putranya kembali ke tanah air dan memberinya pusaka Kraton (Kyai Jaka Piturun) sebagai lambang suksesi.

HAMENGKU BUWONO IX (1940-1988)
Karena kondisi Kasultanan ditekan selama masa ayahnya bertahta, G.R.M. Dorojatun sangat mewaspadai strategi Belanda. Henkie (nama lain Dorojatun) tidak langsung mau menandatanggani politiek contract yang disodorkan Belanda menjelang hari penobatannya sebagai HB IX. Sebagai seorang nasionalis sejati, Henkie keberatan sehingga proses perundingan menjadi alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendengar bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942).

Dalam perjuangan Kemerdekaan RI, HB IX memainkan peran yang sangat penting. Yogyakarta menjadi Ibukota RI. HB IX pun merancang strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyelamatkan RI di mata dunia. Pada awal masa Orde Baru, HB IX menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan cara mengembalikan kepercayaan internasional untuk membantu RI. Sejak tahun 1946 sampai 1971, HB IX berkali-kali menjabat posisi Menteri Negara RI. Tahun 1950 hingga 1951 dan tahun 1966, ia menjadi Wakil Perdana Menteri. Setelah itu, HB IX menjadi Wakil Presiden RI (1973-1978).

HAMENGKU BUWONO X (1989-)
Namanya sewaktu muda adalah B.R.M. Herjuno Darpito. Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 1946. Ia naik tahta (jumenengan dalem) pada tanggal 7 Maret 1989 dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso. Gubernur DIY sejak tahun 1998 ini pernah mendapat tanda jasa atau bintang penghargaan dari Austria (Grand Cross) dan dari Belanda (Orde Van Oranje Nassau).

HB X adalah salah seorang tokoh reformasi di Indonesia. Tindakan-tindakan taktis yang diambilnya turut mengakselerasi gerakan reformasi. Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” (1999) dijelaskan bagaimana HB X memberi dukungan terhadap gerakan reformasi secara simbolis dan juga secara praktis. Dalam aksi sejuta massa yang dikenal sebagai momen pisowanan ageng (20 Mei 1998), HB X menyampaikan maklumat. Dalam orasinya, HB X berkata: ”Maka adalah panggilan sejarah, jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung gerakan reformasi nasional bersama kekuatan reformasi lainnya!”

Gitu deh…

(Sumber: Haryadi Baskoro)

Jumat, 22 Mei 2009

MALAM PENGANTIN, MALAM PERTAMA

Bagaimana kita dulu melewatkan malam pengantin, itu kini menjadi kenangan masing2 kita. Semoga kenangan jadul, ‘Malam Pengantin, Malam Pertama” itu, indah adanya.

Gitu deh…

Selasa, 19 Mei 2009

IKLAN JADUL…, BOROS KATA

Dari tayangan iklan2 kuno kita bisa bilang, ee…, ternyata iklan jadul alias iklan kuno itu boros kata2 alias gambarnya seupil tapi keterangannya seabreg.

Ambil contoh, iklan ban sepeda Good Year. Di bawah gambar sesorang yang sedang megang sepeda, terdapat serentet tulisan bahasa jawa, yang terjemahan bahasa Indonesianya berbunyi seperti ini:

Amat banyak pekerjaannya…, disuruh membeli es…, lalu mendatangi toko langganannya, mengantarkan sinyo sekolah dan menjemput, mengantarkan surat kepada nyonya de Groot, memberi tahu bahwa nyonya tidak dapat bermain MahYong…, semua itu dilakukan dengan sepeda, oleh karenanya disuruh suruh waktunya masih luas (sisa).
Minggu yang lalu ban belakang harus diganti. Nyonyanya berkata, “ Amat! Ini uang untuk membeli ban, tetapi jangan lupa belilah ban GOODYEAR.”

Amat di dalam batin tertawa, karena sudah tahu lebih dulu, ban GOODYEAR (Buatan Hindia Belanda ini) ban yang bagus sendiri, dijual oleh orang Hindia sini. Tentu saja Amat senang memakai ban yang bagus ini. Oleh karena itu lalu membeli ban GOODYEAR.

Naik ban sepeda GOODYEAR tidak mengkhawatirkan.

Ya, iklan jadul lebih banyak menyampaikan pesan tentang nilai guna suatu barang, tanpa embel2 nilai2 lain, nilai prestisius, gengsi, asal usul dsb. Ini sangat berbeda dengan model2 iklan jaman sekarang…

Gitu deh...

Sabtu, 16 Mei 2009

PRANOTO MONGSO…


Pranoto Mongso atau Pranata Mangsa atau aturan waktu musim biasanya digunakan oleh para petani pedesaan, yang didasarkan pada naluri saja, dari leluhur yang sebetulnya belum tentu dimengerti asal-usul dan bagaimana uraian satu-satu kejadian di dalam setahun. Walau begitu bagi para petani tetap dipakai dan sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Uraian mengenai Pranata Mangsa ini diambil dari sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium Radya-Pustaka.

Menurut sejarah, sebetulnya baru dimulai tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII, yang memberi patokan bagi para petani agar tidak rugi dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1856, dengan urut-urutan :

Kasa…, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).

Karo…, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak).

Katiga…, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran).

Kapat…, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber).

Kalima…, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad.

Kanem…, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan).

Kapitu…, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit).

Kawolu…, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin).

Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara).

Kasepuluh…, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).

Desta…, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan).

Saya…, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin).

Demikian uraian singkat tentang Pranata Mangsa, yang jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus dicocokkan secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi, dan sebagainya.

Terlepas dari semua itu, adanya aturan sistematis tersebut menunjukkan kemajuan adat dan budaya serta kemampuan orang Jawa untuk menganalisa masalah global dan menafsirkannya dalam bentuk aturan baku. Pranoto mongso, masih dan akan tetap dipakai oleh orang Jawa dalam berbagai aspek kehidupan.

Gitu deh…

Sumber
http://www.kejawen.co.cc/pranoto-mongso-aliran-musim-asli-jawa/

Jumat, 15 Mei 2009

RORO MENDUT..., EROTISME JADUL


Roro Mendut nan jelita, merupakan salah satu tokoh dari sebuah kisah tragedi cinta yang melegenda di abad ke 17, pada awal berdirinya kerajaan Mataram. Di dalam salah satu fragmennya, ada kisah yang menarik tentang Roro Mendut dan rokok, tentang saat dimana Roro Mendut harus berjualan rokok.

Guna melariskan dagangan rokoknya, Roro Mendut menggelar live show, mempertontonkan aksinya saat menghisap rokok. Dia menghisap rokok sambil bibirnya “klamut klamut” dan matanya “merem melek”. Pembeli yang umumnya pria pun ngiler dan kesengsem dibuatnya. Dan puntung rokok alias rokok kuluman Roro Mendut pun jadi rebutan. Laris manizzz…

Ya, rupanya erotisme Roro Mendut ketika berjualan puntung rokok bekas kulumannya, telah menjadi daya tarik tersendiri….

Gitu deh…

Kamis, 14 Mei 2009

TEMBANG JADUL..., MBAKO TINGWE

Ada tembang jadul di jaman Sultan agung (Mataram) yang berkisah tentang tembakau rokok sebagai berikut:

“Kala seda panembahan swargi
ing kajenar pan anunggal warsa
purwa sata sawiyose
milaning wong ngaudud”

Terjemahannya:
“Waktu mendiang panembahan meninggal
di gedung kuning bersamaan tahunnya
dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu
mulailah orang merokok.”

Gak tahu ya, terjemahan itu bener atau kagak. Tapi catatan Raffles dan Condolle menyebutkan, kebiasan merokok di Jawa sudah ada sejak abad ke-17.

Onghokham dan A.Budiman bahkan mencatat, Raja Mataram Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645 adalah seorang chain smoker (perokok berat).

Apapun bunyi catatannya, yang terang rokok ataupun kebiasaan merokok memang merupakan barang jadul, barang lawas yang hingga kini masih “terpelihara” dengan sangat baik.

Gitu deh…

Rabu, 13 Mei 2009

MUTIARA KATA…, Gitu deh

Kata mutiara atau mutiara kata ada bertebaran di mana2. Semuanya merupakan kata2 hasil renungan yang mendalam menyangkut kehidupan, pengalaman hidup. Jadi boleh dibilang mereka muncul dari balik hal2 jadul. Dan inilah beberapa di antaranya.

RAHASIA BISNIS
Aristoteles Onasis bilang: “Rahasia bisnis adalah tahu sesuatu sementara orang lain tidak.”

Kita bilang: “Lho, katanya rahasia, kok diomongin?”

Gitu deh…
=======

ENJOY AJA
Warren Buffet bilang: “Orang yang berbahagia bukanlah orang yang hebat dalam segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya.”

Kita bilang: “Gubug derita…, jadi jadul deh. Gantinya gubug enjoy aja ya.”

Gitu deh…
=======

TETAP SEMANGAT!
Iqbal bilang: “Hidup adalah kreativitas dan semangat, maka jika kau benar-benar hidup, hiduplah dengan penuh kreativitas dan semangat”

Kita bilang: “Hidup Iqbal!”

Gitu deh…
=======

PENDORONG DAN PENGHANCUR
Jhon Collier bilang: “Di belakang kecemerlangan orang besar mesti ada seorang wanita pendorong. Dan di belakang keruntuhan nama seseorang pemimpin, tentu juga ada wanita.”

Kita bilang: “Wanita jangan selalu di belakang dong. Di atas ngapa.... Lho?”

Gitu deh…
=======

TIAP SESUATU ADA BATASNYA
Rabindranath Tagore bilang: “ Lautan air mata sekalipun pasti ada tepi pantainya. Kalau tidak demikian orang tidak akan berhenti menangis setelah seminggu. Kesusahan hidup pun ada batasnya. Kalau tidak demikian, tentu tak ada seorang pun yang mau hidup.”

Kita bilang: “Lha hiya lah. Nangis terus emang gak capek? “

Capek deh…
=======

Senin, 11 Mei 2009

Helly gug gug...


Inilah tampang si Helly gug gug itu. Sayang, sekarang Helly tak lagi bisa berlari lari. Sudah almarhum sih...

Album Pop Anak Anak Terlaris tahun 1975 : Chicha Koeswoyo


Oleh: Denny Sakrie

Inilah album pop Anak-anak terlaris di sepanjang tahun 1975, bahkan mungkin disepanjang sejarah Industri Musik Pop Indonesia. Chicha Koeswoyo puteri tertua Nomo Koeswoyo, drummer Koes Bersaudara yang kemudian membentuk No Koes serta menjadi orang nomor satu dalam perusahaan rekaman Yukawi Corp di Bogor,Jawa Barat.

Lagu lagu yang ditampilkan di album ini seluruhnya ditulis oleh Nomo
Koeswoyo. Dengan notasi yang mudah dipahami dan digemari anak-anak. Nomo pun banyak bertutur tentang keseharian anak-anak kecil, mulai dari sekitar rumah hingga ke lingkungan sang anak. Ini hal yang sekarang tak kita jumpai dalam industri musik Indonesia.

Yang ada sekarang,adalah maraknya lagu-lagu pop "dewasa" atau "remaja" yang dinyanyikan dengan santai oleh anak-anak mulai dari playgroup hingga Sekolah Dasar. Sangat miris kita mendengarnya.

Lagu tentang anjing kesayangan Chicha Koeswoyo bertajuk "Helly" menjadi hit terbesar Chicha Koeswoyo, dan bisa dideretkan dengan sederet lagu anak-anak yang pernah ditulis oleh Pak Dal, Ibu Sud maupun AT Mahmud.

Aku punya anjing kecil,
Ku beri nama Helly

Dia senang bermain main
sambil berlari-lari

Helly…., (gug gug gug…)
kemari
ayo lari-lari.......

Lagu Anak-Anak sekarang sudah menjadi barang yang langka, yang sukar ditemukan lagi keberadaannya.

Gitu deh…

Lagu Recycle

Jika diperhatikan, sekarang ini banyak bermunculan lagu recylce. Kenapa tren ini banyak berkembang? Apakah akan memberikan hal positif?

Banyak cara untuk membuat artis cepat meroket. Salah satunya adalah membawakan lagu-lagu lama, atau yang lebih dikenal dengan single recycle. Kesempatan itu bisa menjadi lebih besar jika single yang dibawakan adalah hit yang populer.

Penyajian dengan muka baru itu juga memberikan dampak tersendiri. Generasi yang pernah mendengarnya tentu akan bersemangat bernostalgia. Sedangkan generasi baru juga akan terbawa menyukainya.

Sekilas pintas, tampaknya para artis baru ini terlihat aji mumpung. Namun, bisa jadi tidak sepenuhnya seperti itu. Menurut pengamat musik Denny Sakrie, lagu-lagu recycle justru bisa jadi oase di industri musik.

"Bukan karena sisi kreativitas sudah buntu. Bukan. Saya rasa, bisa jadi ada satu fase ketika orang ingin kembali bernostalgia dengan lagu-lagu lawas. Sekarang kan sedang marak lagu-lagu tidak jelas dari band-band yang bermunculan begitu saja. Nah, wajah baru dari lagu lawas ini bisa jadi oase, penyegar, di industri musik kita," tutur Denny.

Menurut Denny, justru banyak hal positif yang muncul dari lagu recycle. Mulai jadi penyegar industri musik hingga memgenalkan sejarah musik Tanah Air pada generasi muda jaman sekarang.

"Justru lagu recycle ini adalah salah satu cara untuk memperkenalkan sejarah musik Indonesia ke generasi baru sekarang. Misalnya, ini lho lagu yang dulu ngetop. Sehingga anak muda jaman sekarang mengerti bahwa bangsanya punya sejarah musik seperti itu," jelasnya.

Salah satu contohnya adalah lagu Ada Kamu yang dulu dibawakan Erianti Erning Praja pada 1988. Kini, lagu itu dapat kita dengar kembali dengan nuansa baru yang dibawakan Dimas Beck.

Kalau diamati dari berbagai sisi, lagu recycle lebih banyak positifnya lho. Mama-Papa yang jadul ini bisa turut bernostalgia dengan lagu kesukaan yang dibawakan kembali oleh "wajah" baru.

Gitu deh…

Sumber: Jawa Pos

Jumat, 08 Mei 2009

Ciri-Ciri Pria Jadul

Omong2 soal barang jadul, ini ada kiriman tulisan dari seorang teman tentang:

Ciri-Ciri Pria Jadul alias Tidak Muda lagi

01. Membaca makin jauh, kencing makin dekat.
02. Dulu tidur berhadap-hadapan, sekarang pantat-pantatan.
03. Dulu suka pakai minyak wangi, sekarang pakai minyak angin.
04. Dulu 12 kali lebih dalam sebulan, sekarang belum tentu sekali sebulan.
05. Dulu keras sekali selama menunggu, sekarang lama sekali menunggu keras.
06. Dulu langsung ON, sekarang langsung Down.
07. Dulu sering siul2in cewe, sekarang siul2in burung.
08. Dulu kencing asin, sekarang kencing manis.
09. Dulu sering makan enak, sekarang sering makan obat.
10. Dulu korbankan kesehatan demi kekayaan, sekarang korbankan kekayaan demi kesehatan.
11. Dulu mengkritik generasi tua, sekarang mencela generasi muda.(hm..)
12. Dulu dongkol karena nggak dikasih, sekarang jengkel karena ditagih.(haha..)
13. Dulu pemburu nikmat, sekarang diburu tobat ... ampuuuuun .......

Hiya juga ya...

Rabu, 06 Mei 2009

Indonesia 1998, “Berburu Celeng”


Babi sama Celeng apa sih bedanya? Ah, berbeda atau tidak..., kagak jadi soal. Yang terang lukisan karya Joko Pekik berjudul “Berburu Celeng” ini laku senilai satu miliar dalam suatu pameran tahun 1999. Dan julukan Pelukis 1 Miliar pun disandang oleh seniman gaek yang sekarang berusia 72 tahun kelahiran Grobogan, Purwodadi Jawa Tengah itu.

Karya tersebut menjadi bagian dari trilogi celeng yang ia buat untuk melambangkan keangkaramurkaan di negeri ini. Jadi jelas bagi kita bahwa si celeng itu mati bukan gara2 tertular virus flu babi yang saat ini sedang merebak dan mewabah, tapi memang karena celeng itu kelewat rakus dan menjadi hama sehingga perlu digebuk dan ditumpes, peeeessss.

Apes deh…

Minggu, 03 Mei 2009

PAKDE SUKRO..., keren lho


Biarpun jadul tapi Pakde Sukro ini keren lho, bisa meniup saxophone mengiringi bulik Waljinah melantunkan lagu kroncong "Putri Sala".

PUTRI SALA
Penyanyi: Waljinah

Putri Sala
Dasare kepara nyata
Pancen Pinter Alelewa
Dasar Putri Sala

Nganggo Selendang Pelangi
Sumampir ana pundake
Cunduke kembang melati
Dadi lan pantese

Mung lakune kaya macan luwe
Sandal jepit penganggone
Kiyet kiyet suwarane
Kelap kelip yo suwenge
Dasar Putri Sala

Putri Sala
Yen ngguyu dekik pipine
ireng manis kulitane
Dasar Putri Sala

Gitu deh...

WALJINAH…, Putri Sala


Salah seorang penyanyi keroncong yang sangat populer di Tanah Air dari dulu hingga sekarang adalah Waljinah. Kita bisa menyimak lagu -lagu hit nya : “ Jamune”, “Enthit”, “Yen Ing Tawang Ana Lintang”, “Stambul Dua Baju Biru”. Kalau dihitung, hingga saat ini Waljinah telah menyanyikan atau telah rekaman lebih dari 1600 judul lagu. Wow…

Awal Karier:
Waljinah yang lahir pada tahun 1943 itu sejak kelas 6 SD sudah mulai mengembangkan bakat menyanyi Keroncong. Beberapa ajang lomba diikutinya, diantaranya:

Tahun 1958 mengikuti Kontes Ratu Kembang Kacang yang diselenggarakan oleh RRI dan Perfini. Dalam kontes tersebut dia meraih gelar Ratu Kembang Kacang dan dari kemenangannya itu dia mulai memasuki dapur rekaman.

Tahun 1959 mengikuti Pemilihan Bintang Radio tingkat Eks Karesidenan Surakarta.

Tahun 1965 menjadi juara 1 lomba Bintang Radio Tingkat Nasional untuk Kategori Keroncong dan menerima piala langsung dari Presiden Sukarno.

Pada Tahun 1968, Waljinah kembali memasuki dapur rekaman dengan menyanyikan lagu “Walang Kekek’’ yang meledak…

Album Seleksi EMAS Keroncong WALDJINAH antara lain: Bowo Dandang Gulo, Mawar Biru, Ngimpi, Mas Joko, Langgam Blitar, Keno Godo, Pohon Beringin, Langgam Brambang Bawang, Beboyo Margo, Gemes, Kecik-kecik, Ande-Ande Lumut, Resepsi, Tresnaku-Tresnamu, Nyungging Ati.

Terakhir, berkolaborasi dengan penyanyi Pop Indonesia Alm. Chrisye, Waljinah menyanyikan lagu berjudul “Semusim”.

Gitu deh…

KRONCONG MUSIC ..., a specific music from Java


When a traveler visiting Java, in Central Java or in Jakarta, sometimes he / she hears a music with special beat , it's so melodious, romantic. The music instruments are western but played in a special way which can not be found in any other part of the world.

One of the famous song is Bengawan Solo (River Solo), composed by Solonese senior artist Mr. GESANG. Bengawan Solo is not heard only in Solo or Indonesia, but its popularity has crossed the border to other countries of South East Asia & Japan . This is " The classic" of Kroncong music . Nowadays , Kroncong still has its valuable place in the world of music entertainment performed in front of the audience, in the television & radio.

The origin of Kroncong Music

This music had been first played around the year 1600 . Some people say that it was a modification or influenced by portuquese music.

Mr. Andjar Any, the president of Hamkri (Association of Indonesia Kroncong Artists) Solo branch, categorically says that Kroncong music is purely Indonesian. The 61 year-old artist, a journalist strongly supports his theory. In his profession he has traveled around the world and he did not found any music similar to Kroncong even in Portugal or its ex colony. It is a probability, that our people saw the European played their music with western music instruments hundreds years ago in the old days, the Kroncong had its root in Jakarta with its Kroncong Tugu (Tugu is a village in the coast of Jakarta) & Central Java.

He had composed more than 2000 songs, among other the famous Yen ing Tawang ana lintang (If there are stars in the sky), known by almost Javanese people, as it is in Javanese language. Many of his songs have been sung also in English & Mandarin. Although he has not been asked for approval, he does not mind, he is happy if others could enjoy his composition.

The present Kroncong

In the development, it is quite understandable if Kroncong has a deep root in Yogyakarta & Central Java, it can live in harmony side by side with Javanese gamelan music. In fact Kroncong & Gamelan , they have similarity in their rules of composition.

Kroncong music has push highly some stars of Kroncong such as : Senior singers of Solo & Yogya, Mrs. Surip with her sparkling ball eyes, Mrs Any Landau, Sapari , S.Darmanto, Ismanto, Bram Aceh and from the younger generation such as Waljinah with her song " Walang Kekek", Sundari Sukoco, Wiwiek Sumbogo, Mus Mulyadi etc.

Keroncong music sometimes mixed with other instruments & beats. The compursari music : combining Kroncong & gamelan music instruments innovated by a senior artist , MR, MANTHOUS of Gunung Kidul, Yogyakarta, is now very popular.

The Kroncong songs are also sometimes played with REGGAE or DANGDUT beats. According to Andjar Any , this development is not destructive, it is a process, it is a proof that kroncong has a place in the heart of Indonesian society.

Gitu deh...

(Sumber: Suryo S. Negoro)

Jumat, 01 Mei 2009

Panggil aku..., Sotiniwati


Sekarang, nama Tini, Tono atau Wenas bukan lagi milik orang Jawa atau Manado, tetapi juga milik WNI keturunan Tionghoa. Lho kok begitu? Gimana ceritanya?

Ya, kisah tentang nama2 baru bagi WNI keturunan Tionghoa itu bermula dari adanya keputusan pemerintah No. 127/U/Kep/12/1966. Peraturan tersebut mengenai penggantian nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku terpisah menjadi nama bercirikan Indonesia, untuk tujuan percepatan proses asimilasi kala itu.

Peraturan itu ditaati hampir oleh semua WNI keturunan Tionghoa, tetapi ada juga sih yang tetap mempertahankan nama Tionghoanya, misalnya Kwik Kian Gie. Peraturan tersebut memang tidak memuat sanksi apabila seorang WNI keturunan Tionghoa tidak mentaati. Jadi suka2 aja…

Dalam mencari nama baru atau nama Indonesia itu setiap orang tentu mempunyai alasan pribadi yang meskipun tidak penting bagi orang lain tapi ternyata menarik juga lho untuk diketahui.

Dari sebuah riset ala kadarnya yang dilakukan oleh seseorang terhadap sejumlah data, atau tepatnya terhadap 810 pasang nama Tionghoa (NT) dan nama Indonesia (NI), yang diambil dari berita duka di salah sebuah harian Ibukota dapat diketahui hal2 sbb:.

Masih cukup banyak orang Tionghoa yang mencantumkan NT nya, terutama mereka yang berusia 50 tahun ke atas (baik yang almarhum maupun kerabatnya). Tapi pada tingkat cucu dan cicit, tidak ada lagi NT itu tercantum.

NI yang dipilih dapat dibedakan atas tujuh kelompok berikut:
1. Nama keluarga dipertahankan sebagaimana adanya. Ada nama keluarga yang dicantumkan di muka, ada yang di belakang, seperti Ng Soesilo Gunawan (Ng Sien Fa), Suherman Thio (Thio Soe Tong), Ng Hadi Santoso Soesilo, Ng Hendra Soesilo, Ng Yulie Indrawati, Ng Vinna Indrawati. Terdapat juga usaha mempertahankan suku lain dengan penyesuaian grafis, seperti Tan Samsudin Anwar (Tan Seng An), Arifin Tjhai (Tjhai Kim Phin) dsb.

2. Nama keluarga dipertahankan sebagaimana adanya, menjadi suku pertama yang digabung dengan suku lain. seperti: Loekito (Loe), Gondo (Go), Tanamal(Tan), Tjokro (Tjo), Soeganda (Soe), Narmawan (Na), Hadisurya (Ha), Sofian (So), Pangestu (Pang), Sungkono (Sung), Gandamiharja (Gan), Lokasari,(Lo), Yapina (Yap), Chendana (Chen), Limawan (Lim), Angwar (Ang), Oenkiriwang (Oen), Lauwidjaja, Lauwita (Lauw).

3. Nama keluarga dipertahankan secara fonetis sebagai suku pertama dalam NI dengan penyesuaian grafis dan digabung dengan suku lain. Contoh untuk kategori ini: Widjaja, Winata, Widagdo, Wiharto, Widianingsih, Widodo, Wikarta, Widjoseno, Wibowo, Wiharja (Oey), Wibawa (Whie), Hidayat (Hie), Kusnadi, Kurnia, Kusiana (Khoe), Teja, Tejamulia (The), Chandra, Tjandra (Chen, Tjan), Kosasih (Kho), Djohan (Jo), Anggraeni (Ang), Tanti (Tan) Tamin (Tham), Leman (Lie).

Pada kelompok ini tampak bahwa suku kata wi cukup produktif dalam pembentukan NI yang lazim. Ada beberapa nama yang terasa berbeda dengan NI pada umumnya, misalnya Lohananta, Lohanda (Loa), Mercu Buwono (Tjung), Tamira (Tham), Lisan, Libriyani (Lie); Tandri, Tanu, Tandra (Tan).

4. Nama keluarga dipertahankan pada suku kedua atau ketiga NI dengan penyesuaian grafis. Contoh untuk kategori ini adalah Susilo, Pranolo (Lo), Halim, Salim (Lim, Liem), Muliana, Rusli, Muslina, Ali, Mulia, Darmali (Lee, Lie), Hartanti, Hartanto, Sutanto, Intan, Kristanto (Tan), Prasetio, Susantio (Thio), Sugimin (Gim), Sukowidono (Wie), Otong (Ong), Supandi (Phan), Wigono (Go), Nawangwulan (Wang), Suyapto (Yap), Supangat (Pang), Sulim (Lim), Aly, Taruli (Lie).

5. Dua suku NT dipertahankan pada NI dengan penyesuaian grafis. Salah satu suku dapat merupakan nama keluarga, seperti Sotiniwati (Lie So Tin), Suwandi Kosim (Kho Chuan Suan), Asnawi Halim (Lim Thian Wie), Setyo Setiawan (Thio She Wen), Meilina Hardjali (Lie Mei Ling), Firmansyah Aluwi (Liauw Yuk Tjong), Pikman Wibisono (Oei Wie Pik), Tanin Djuhari (Tan Tek Djoe).

6. Salah satu NT (bukan nama keluarga) dipertahankan . Ada nama yang memang sesuai dengan ejaan NI seperti Sukidjan (Tjo Tiang Djan), Landriyati (Tjo Giok Lan), Iping Jaya (Kang Siu Ping). Ada nama yang ditulis dengan penyesuaian grafis, misalnya Wirya Sentoso (Gim Wei I), Suhita Tandra (Tjhin Men Sui), Leonard Sailan (Lim Tjing Say).

7. NT tidak terlihat lagi dalam NI. Nama yang dipilih pada umumnya NI yang lazim, yang diambil dari kitab suci atau nama yang berciri Barat. Contohnya: Hendrik Irawan (Lay Foek Nam), Suryadi Sunarso (Tjoa Bun Seng), Diany Agustin (Tjoa Kiok Nio), Asam Basrie (Hiu Nen Kiong), Dwiratna Suhardjo (Oen Tjuk Yoen), Harum Budiningsih (Oey Kwie Hiang), Yohanes Hidayat (Lie King Heng), Fransisca (Pang Siang Nio), Thomas Budiman (Chuang Sin Fat), Henoch Setiawan (Lauw Tjoei Hin), Claudia Christina (Tan Moei Tjin ), Brian Herabadi (The Eng Goan), Hendrik Irawan (Lay Foek nam), Jenny Andelma (Thian Khai Shien).

Ada juga sih, beberapa nama yang dirasakan kurang lazim, seperti Budi Sawahanto (Thian Jie Jim), Thomas Nagazaki (Liong Tjoen Hian), Freddy Baguna (Ong Boen Hong), Petrus Otto Toindo (Ang Sioe Leng). Sebaliknya, ditemukan nama keluarga terkenal, seperti Melani Iskandar Dinata (Tan Beng Giok), G. Th. Mangundap (Thio Giok Tjioe), George Wenas (Jan Khik Kay). Memang terbuka kemungkinan bahwa sebuah keluarga Indonesia memberikan nama keluarganya untuk orang keturunan Tionghoa.

Ada hal yang menarik yakni penambahan nama wati (yang dianggap sebagai ciri keindonesiaan) dilakukan tanpa memperhatikan keserasian, seperti pada Hildawati, Pingkowati, Sotiniwati, Mariawati, Luciawati, Ellywati.

Weh…, ternyata bikin nama untuk diri sendiri tidak gampang ya. Biasanya kita cuma dikasih sama ortu sih, begitu lahir jebret…, lalu dinamain. Kita cukup pasrah saja meski nama kita itu Helly atau Pleki, misalnya.

Gitu deh…