Lokasi Pengoenjoeng Blog
Jumat, 27 Februari 2009
Kacamata hitam...
Ini kacamata hitam model jadul. Frame nya terbuat dari kulit penyu. Dan sekarang penyu2 itu beserta telurnya sangat dilindungi. Orang punya perhatian besar terhadap kehidupan hewan, tapi kadang malah kurang peduli dengan hidup "sesamanya". Buktinya, kasus aborsi marak terjadi di mana2. Bisa jadi mata hatinya sudah dibutakan oleh hitamnya si kaca. Hik hik...
Kring kring..., ada sepeda
Bantalan Rel...
Bantalan Rel sekarang sudah dibuat dari beton. Jadi bantalan rel dari kayu macam begini..., bakal tidak ada lagi. Dan kita bisa memungutnya beberapa bilah kayu bantalan itu sebagai kenangan akan masa lalunya. Betapa "hidupnya" penuh derita. Ya kepanasan, kehujanan, dan..., ditindas serta dilindas. Piye Jal?
Stasiun KA Lempuyangan
Walaupun Lempuyangan selama ini dikenal sebagai stasiun yang hanya melayani datang dan perginya KA ekonomi, stasiun ini ternyata memiliki sejarah dan peranan yang amat penting bagi perkembangan dunia perkeretaapian di kota Jogja.
Stasiun Lempuyangan diresmikan pada 2 Maret 1872 oleh pemerintah Hindia Belanda. Peresmian Stasiun itu menjadi awal hadirnya Kereta Api pertama di wilayah Yogyakarta. Ketika itu Stasiun Lempuyangan hanya melayani rute Yogyakarta-Semarang. Sekitar 15 tahun kemudian barulah hadir Stasiun Tugu.
Sangatlah tepat jika Stasiun Lempuyangan dikatakan sebagai salah satu warisan sejarah kota Jogja yang harus dilestarikan. Karena tanpanya, mungkin saja, perkembangan perkeretaapian di Pulau Jawa tidak akan sepesat seperti saat ini.
Cegatan Plombir...
Ada yang masih ingat? Dulu setiap sepeda wajib bayar pajak.Dan sebagai tanda bahwa sepeda sudah berpajak, kita diberi stiker yang biasa disebut "plombir". Plombir itu harus ditempel di sepeda.
Kadang di jalanan ada petugas yang berwenang sedang beroperasi mencegat sepeda yang lalu lalang untuk diperiksa, sudah bayar pajak atau belum. Kita anak2, kalau melihat di kejauhan ada "cegatan plombir" macam gitu, segera ambil langkah seribu, balik kanan dan kabur bersama kita punya sepeda. Walah..., bahkan kanak2 pun sudah tahu cara melarikan diri dari "kewajiban" bayar pajak. Wis jan...
Sepeda Perempuan...
Ini model sepeda onthel perempuan. Perhatikan, tidak ada batang melintang di antara sadel dan setang yang disebut "plantangan". Mengapa begitu? Jalarannya, antara cewek dan cowok berbeda gaya dalam menaiki (sadel)sepeda. Cowok punya gaya, satu kaki diangkat tinggi alias ngangkang dan kemudian kaki itu diseberangkan melewati pantat sepeda. Sedang cewek, karena biasanya pakai rok, tidak bagus tho kalau kakinya harus "petakilan". Itu jaman dulu, ketika belum banyak cewek pakai celana..., panjang.
Perhatikan juga di samping kiri kanan roda belakang ada plastik hitam yang menutupi sebagian ruji2. Itu adalah plastik pengaman agar kaki pembonceng tidak nyelip ke ruji2 itu. Dulu pernah lho kaki kecil saya masuk ke situ. Auwww....
Selasa, 17 Februari 2009
Belajar Sepeda…
Dulu sekian puluh tahun lalu, kebanyakan sepeda berukuran besar dan disebut pit kebo, pit gakuk atau pit gacel. Jenisnya ada dua yaitu sepeda laki2 dan sepeda perempuan. Model sepeda yang berplantangan, berupa pipa besi melintang di antara sadel dan setang, itulah yang dinamakan pit lanang alias sepeda laki2, sedang yang tanpa plantangan disebut pit wedhok alias sepeda perempuan. Kenapa begitu? Jawabnya ada dilain waktu. Sekarang kita cerita soal pengalaman belajar sepeda.
Ternyata belajar naik sepeda itu tidak gampang lho. Perlu proses panjang. Pertama tama kita tidak langsung naik tapi belajar.., nuntun! Wah…, kalau ingat itu kita geli bener, membayangkan sosok bocah kurus kecil sedang nuntun sepeda "kegedean", berputar putar di halaman....
Lancar nuntun sepeda, barulah kita ke tahap berikutnya, yaitu "nyengklak". Sepeda kita lajukan dengan berlari, lalu..., mak clingkrik..., pantat pun nangkring di plantangan, dan sepeda melaju sendiri tanpa digeos, tanpa digenjot, tanpa dikayuh.
Setelah mahir menjaga keseimbangan, baru kemudian kaki mencoba meraih pedal. Tapi lantaran "kaki tak sampai", maka pedal kita kayuh, kita onthel secara "deglek deglek" alias ketowal ketawil. Ah…..
Senin, 16 Februari 2009
Mesin Ketik..., ketak ketik, tiiing!
"Geef mij maar nasi goreng"
Lurs, ada yang ingat dengan lagu jadul ini? Yuk, nyanyi bersama:
Judul: "Geef mij maar nasi goreng"
3 2 4... 3 2 1... dst.
geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
geen lontong, sate babi, en niets smaakt hier pedis
geen trassi, sroendeng, bandeng en geen tahoe petis
kwee lapis, onde-onde, geen ketella of ba-pao
geen ketan, geen goela-djawa, daarom ja, ik zeg nou
lalalalalalaaaa...
Wis jan, bener2 jadul...
Minggu, 15 Februari 2009
Biola Antik..., cantik
Hantu made in Hongkong...
Bioskop Indra, Permata, Ratih ataupun Soboharsono di Jogja dulu sering memutar filem2 hongkong. Filem hongkong itu paling lucu dan ger2an kalau ada adegan hantunya. Bayangkan, sosok hantu made in hongkong itu khas. Wajahnya pucat pasi dan tangannya kaku njepaplang ke depan. Jalannya lonjak2 persis seperti orang lagi balap karung pas acara 17 an di kampung.
Hantu itu akan terus lonjak2 seakan sedang mengejar bakpia di genggaman.(Tangan hantu itu begitu kaku sehingga tak bisa ditekuk untuk sekedar memasukkan bakpia patuk itu ke mulutnya). Dia baru akan berhenti bergerak kalau jidatnya ditempeli ampao minimal nggo mban. Kurang dari itu maka dia akan tetap jingkrak2 sembari geleng2 kepala. Wis tho..., pokoke gayeng tenan. Penonton segedung bisa dibuatnya terpingkal berbarengan.
Itu jaman dulu ketika bioskop masih berjaya. Sekarang nasib bioskop sungguh merana...
Hantu itu akan terus lonjak2 seakan sedang mengejar bakpia di genggaman.(Tangan hantu itu begitu kaku sehingga tak bisa ditekuk untuk sekedar memasukkan bakpia patuk itu ke mulutnya). Dia baru akan berhenti bergerak kalau jidatnya ditempeli ampao minimal nggo mban. Kurang dari itu maka dia akan tetap jingkrak2 sembari geleng2 kepala. Wis tho..., pokoke gayeng tenan. Penonton segedung bisa dibuatnya terpingkal berbarengan.
Itu jaman dulu ketika bioskop masih berjaya. Sekarang nasib bioskop sungguh merana...
Jumat, 13 Februari 2009
Nyai, nyai…
Dari segi bahasa, persoalan nyai atau nyi terletak pada makna gandanya yang bukan saja berbeda, tetapi juga bertentangan. Dihadapkan pada sebutan itu, citra dan moralitas kaum Hawa seperti terbelah dua: mulia dan hina.
Pengertian pertama nyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua: adalah panggilan untuk orang perempuan yang sudah kawin atau sudah tua; juga panggilan untuk orang perempuan yang lebih tua daripada orang perempuan yang memanggil. Bahwa sebutan nyai atau nyi memuliakan perempuan juga bisa kita lihat pada panggilan bagi beberapa tokoh sejarah Indonesia seperti Nyi Hadjar Dewantara dan Nyi Ageng Serang.
Pengertian kedua tentang nyai berbeda dengan pengertian pertama. Pengertian yang kedua ini diwarisi dari sistem sosial kolonial di Hindia Belanda, yakni ’gundik orang asing, terutama orang Eropa’.
Pada masa itu sebutan nyai hanyalah eufemisme untuk para bedinde yang diangkat sebagai istri gelap tuan-tuan kolonial selagi istri resmi mereka ditinggalkan di Eropa. Agar tidak memalukan sang tuan, para nyai didandani. Mereka diajari beretiket dan berbahasa Belanda, menikmati musik klasik, dan menerima tamu layaknya istri sah. Menurut De Haan dalam Oud Batavia (1922), para majikan juga menyematkan nama elok bagi para nyai: Saarce, Roosce, Dorce(?)dsb.
Kehidupan para nyai yang tersimpan dalam loji-loji besar menyebar melalui cerita fiksi yang digolongkan oleh Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka sekarang) sebagai roman picisan, seperti karangan G. Francis, Tjerita Njai Dasima (1896).
Nyai itu sebutan jadul, sekarang sudah tak terdengar lagi. Nyai, nyai….
Pengertian pertama nyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua: adalah panggilan untuk orang perempuan yang sudah kawin atau sudah tua; juga panggilan untuk orang perempuan yang lebih tua daripada orang perempuan yang memanggil. Bahwa sebutan nyai atau nyi memuliakan perempuan juga bisa kita lihat pada panggilan bagi beberapa tokoh sejarah Indonesia seperti Nyi Hadjar Dewantara dan Nyi Ageng Serang.
Pengertian kedua tentang nyai berbeda dengan pengertian pertama. Pengertian yang kedua ini diwarisi dari sistem sosial kolonial di Hindia Belanda, yakni ’gundik orang asing, terutama orang Eropa’.
Pada masa itu sebutan nyai hanyalah eufemisme untuk para bedinde yang diangkat sebagai istri gelap tuan-tuan kolonial selagi istri resmi mereka ditinggalkan di Eropa. Agar tidak memalukan sang tuan, para nyai didandani. Mereka diajari beretiket dan berbahasa Belanda, menikmati musik klasik, dan menerima tamu layaknya istri sah. Menurut De Haan dalam Oud Batavia (1922), para majikan juga menyematkan nama elok bagi para nyai: Saarce, Roosce, Dorce(?)dsb.
Kehidupan para nyai yang tersimpan dalam loji-loji besar menyebar melalui cerita fiksi yang digolongkan oleh Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka sekarang) sebagai roman picisan, seperti karangan G. Francis, Tjerita Njai Dasima (1896).
Nyai itu sebutan jadul, sekarang sudah tak terdengar lagi. Nyai, nyai….
PEPATAH JAWA: ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA
Ini pepatah Jawa, dapat diterjemahkan sebagai menyombongkan kecantikan wajah ataupun keelokan tubuh, menyombongkan besarnya tubuh ataupun garis keturunan, menyombongkan ilmu ataupun pengetahuan, dan menyombongkan kemahirannya ber bicara ataupun kemerduan suaranya.
Pepatah ini digunakan untuk menasihati orang agar hendaknya jangan menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai suatu kelebihan, kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan Tuhan.
Orang yang merasa diri rupawan, cenderung menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang merasa dirinya besar dan kuat cenderung menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat cenderung menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan alias tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara cenderung mempengaruhi orang lain dengan omongannya.
Perilaku adigang, dalam masyarakat Jawa dicontohkan oleh perilaku kijang atau menjangan . Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling keren sedunia. Namun ia mati justru karena tanduk itu, entah karena diburu atau lantaran tanduk itu nyangkut di semak..
Perilaku adigung dicontohkan oleh gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati justru karena tubuhnya, karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar, saking beratnya.
Perilaku adiguna dicontohkan oleh perilaku ular berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun ia mati juga di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan oleh perilaku burung yang merdu dan pandai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati justru oleh karena melalui kicauannya itu pemburu jadi tahu tempat bertenggernya.
Adigang, adigung, adiguna, adiwicara..., mengajak kita agar supaya tidak sombong dan baik budi. Gitu deh...
Pepatah ini digunakan untuk menasihati orang agar hendaknya jangan menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai suatu kelebihan, kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan Tuhan.
Orang yang merasa diri rupawan, cenderung menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang merasa dirinya besar dan kuat cenderung menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat cenderung menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan alias tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara cenderung mempengaruhi orang lain dengan omongannya.
Perilaku adigang, dalam masyarakat Jawa dicontohkan oleh perilaku kijang atau menjangan . Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling keren sedunia. Namun ia mati justru karena tanduk itu, entah karena diburu atau lantaran tanduk itu nyangkut di semak..
Perilaku adigung dicontohkan oleh gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati justru karena tubuhnya, karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar, saking beratnya.
Perilaku adiguna dicontohkan oleh perilaku ular berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun ia mati juga di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan oleh perilaku burung yang merdu dan pandai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati justru oleh karena melalui kicauannya itu pemburu jadi tahu tempat bertenggernya.
Adigang, adigung, adiguna, adiwicara..., mengajak kita agar supaya tidak sombong dan baik budi. Gitu deh...
Kamis, 12 Februari 2009
Pekik...
Yang namanya pekik, haruslah diteriakkan dengan gegap gempita, dengan semangat 45, entah itu pekik merdeka atau pekik yang lain. Jadi bukan diucapkan dengan lemah gemulai seperti: merdeka ya dik, misi tante, merdeka ya, atau ihhh..., merdeka deh ike.
Namun apa boleh buat, situasi memang sudah berubah. Pekik merdeka sudah tak lagi cocok dengan keadaan. Pekik merdeka tak lagi lantang terdengar.
Ya..., setelah merdeka lalu ngapa? Mungkin pertanyaan yang tak berjawab itu yang bikin kita lemes.
Ah…, bahkan pekik pun bisa ketinggalan jaman, menjadi jadul. Piye jal?
Namun apa boleh buat, situasi memang sudah berubah. Pekik merdeka sudah tak lagi cocok dengan keadaan. Pekik merdeka tak lagi lantang terdengar.
Ya..., setelah merdeka lalu ngapa? Mungkin pertanyaan yang tak berjawab itu yang bikin kita lemes.
Ah…, bahkan pekik pun bisa ketinggalan jaman, menjadi jadul. Piye jal?
Sri, Lungguh, Gedhong, Loro, Pati
Ada lima unsur yang digunakan oleh orang Jawa untuk menentukan cocok tidaknya sebuah nama yang disandang, yaitu: kesatu-sri, kedua-lungguh, ketiga-gedhong, keempat-loro dan kelima-pati.
Untuk mendapatkan unsur itu, suatu nama perlu ditranspose dulu menjadi angka. Caranya dengan menggunakan media aksara jawa, ha na ca ra ka dst.
Baris pertama aksara jawa adalah: ha na ca ra ka. Masing2 aksara itu mewakili angka 1,2,3,4 dan 5.
Baris keduanya: da ta sa wa la, dan angka yang diwakili juga 1 s/d 5.
Baris ketiga pa dha ja ya nya, dengan angka yang diwakili 1 hingga 5.
Baris terakhir, ma ga ba tha nga, dan angkanya 1 sampai 5 juga.
Jadi aksara2 yang berada di larik (nyebute larik, baris opo kolom ya?) yang sama, seperti aksara ha, da, pa dan ma, bernilai sama yaitu 1. Demikian seterusnya.
Lha kalau perhitungan itu diterapkan pada nama papilon, misalnya, maka nilainya akan seperti berikut:
Pa = 1 (pa)..., pa, da, ja, ya, nya.
pi = 1 (pa)..., pa, da, ja, ya, nya.
lo = 5 (la)..., da, ta, sa, wa, la.
n = 2 (na)..., ha, na, ca, ra, ka.
Nilai totalnya = 9
Nah, angka 9 inilah yang kemudian diproyeksikan ke unsurnya sbb:
Angka 1 = sri
Angka 2 = lungguh
Angka 3 = gedhong
Angka 4 = loro
Angka 5 = pati
Setelah angka 5, perhitungan kembali lagi ke asal. Jadi angka 6 = sri, angka 7 = lungguh, angka 8 = gedhong dan angka 9 = loro.
Sesuai hitungan, maka nama Papilon yang memiliki nilai 9, jatuh pada unsur..., loro!
Wah.., ini cilakak, karena unsur loro dan pati memiliki konotasi negatif yaitu hidupnya bakal tersendat, kurang mujur, siaaal, dan lora-loro alias sakit2an. Unsur pati lebih parah, karena menyimpan makna umur pendek. Sementara tiga unsur lain, sri, lungguh dan gedong bermakna positif, baik dalam kedudukan atau jabatan dan juga baik dalam ekonomi.
Dadi, kepiye ini? Karena nama Papilon ternyata jatuhnya "loro" alias kurang mujur, apa perlu diruwat dan diganti? Apa perlu biar nilainya jadi 11 dan jatuhnya pas di unsur SRI yang positif itu, nama Papilon diganti jadi..., Papilontong? Ha ha ha...
Ada2 saja...
Papilon.
(Dari Papyrus, majalah elektronik).
Untuk mendapatkan unsur itu, suatu nama perlu ditranspose dulu menjadi angka. Caranya dengan menggunakan media aksara jawa, ha na ca ra ka dst.
Baris pertama aksara jawa adalah: ha na ca ra ka. Masing2 aksara itu mewakili angka 1,2,3,4 dan 5.
Baris keduanya: da ta sa wa la, dan angka yang diwakili juga 1 s/d 5.
Baris ketiga pa dha ja ya nya, dengan angka yang diwakili 1 hingga 5.
Baris terakhir, ma ga ba tha nga, dan angkanya 1 sampai 5 juga.
Jadi aksara2 yang berada di larik (nyebute larik, baris opo kolom ya?) yang sama, seperti aksara ha, da, pa dan ma, bernilai sama yaitu 1. Demikian seterusnya.
Lha kalau perhitungan itu diterapkan pada nama papilon, misalnya, maka nilainya akan seperti berikut:
Pa = 1 (pa)..., pa, da, ja, ya, nya.
pi = 1 (pa)..., pa, da, ja, ya, nya.
lo = 5 (la)..., da, ta, sa, wa, la.
n = 2 (na)..., ha, na, ca, ra, ka.
Nilai totalnya = 9
Nah, angka 9 inilah yang kemudian diproyeksikan ke unsurnya sbb:
Angka 1 = sri
Angka 2 = lungguh
Angka 3 = gedhong
Angka 4 = loro
Angka 5 = pati
Setelah angka 5, perhitungan kembali lagi ke asal. Jadi angka 6 = sri, angka 7 = lungguh, angka 8 = gedhong dan angka 9 = loro.
Sesuai hitungan, maka nama Papilon yang memiliki nilai 9, jatuh pada unsur..., loro!
Wah.., ini cilakak, karena unsur loro dan pati memiliki konotasi negatif yaitu hidupnya bakal tersendat, kurang mujur, siaaal, dan lora-loro alias sakit2an. Unsur pati lebih parah, karena menyimpan makna umur pendek. Sementara tiga unsur lain, sri, lungguh dan gedong bermakna positif, baik dalam kedudukan atau jabatan dan juga baik dalam ekonomi.
Dadi, kepiye ini? Karena nama Papilon ternyata jatuhnya "loro" alias kurang mujur, apa perlu diruwat dan diganti? Apa perlu biar nilainya jadi 11 dan jatuhnya pas di unsur SRI yang positif itu, nama Papilon diganti jadi..., Papilontong? Ha ha ha...
Ada2 saja...
Papilon.
(Dari Papyrus, majalah elektronik).
"Kabotan Jeneng" alias keberatan nama...
Orang jawa punya istilah "kabotan jeneng" atau keberatan nama, sampai2 ada acara ruwatan atau upacara mengganti nama. Biasanya anak yang kabotan jeneng memiliki tanda2 sakit2an atau nakal kebangetan. Penggantian nama dimaksudkan supaya anak menjadi lebih sehat dan lebih baik.
Orang tua memberi nama anaknya tentu dengan sejuta harap, agar kelak sang anak bisa berguna bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Tapi terkadang harapan itu sia2. Seperti nama Al Amin berarti orang yang dapat dipercaya. Nur Salim artinya penebar selamat. Nurdin Halid punya makna cahaya agama. Tapi kenyataanya, apa yang telah diperbuat oleh si penyandang nama keren itu?
Ah.., boleh jadi mereka itu "kabotan jeneng", sehingga nakalnya nggak ketulungan.
Piye Jal?
(Tulisan asli ada di Papyrus, majalah elektronik. Silahkan buka link teman).
Orang tua memberi nama anaknya tentu dengan sejuta harap, agar kelak sang anak bisa berguna bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Tapi terkadang harapan itu sia2. Seperti nama Al Amin berarti orang yang dapat dipercaya. Nur Salim artinya penebar selamat. Nurdin Halid punya makna cahaya agama. Tapi kenyataanya, apa yang telah diperbuat oleh si penyandang nama keren itu?
Ah.., boleh jadi mereka itu "kabotan jeneng", sehingga nakalnya nggak ketulungan.
Piye Jal?
(Tulisan asli ada di Papyrus, majalah elektronik. Silahkan buka link teman).
Selasa, 10 Februari 2009
Sujud..., pengamen tak tung tak tung duuut.
Lelaki berperawakan kecil, usia paruh baya sepantaran saya itu selalu menjalani harinya dengan riang gembira. Dengan kendang menggantung di bahu, dia melangkah pasti, sambil menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya. Senyumnya lebar….
Pengamen jalanan sejati, itulah salah satu sebutan bagi Sujud, begitu namanya disebut, yang dengan setia sejak 40 tahun lalu menyusuri jalanan kota Jogja. Namun demikian dia menolak disebut sebagai pengamen. Sujud cenderung lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" alias "Pemungut Pajak Rumah Tangga". Hal ini karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah. Bagi penghuni rumah yang ia datangi, bakat besar yang dimiliki Sujud adalah sebuah pertunjukan yang menghibur daripada sesuatu yang mengganggu. Kendang dan jemarinya, seperti merupakan pasangan padu, yang bila saling beradu, menghasilkan bunyi nan merdu. Sujud memang piawai mengendang. Sembari menabuh kendang, dia pun bernyanyi.
Kesetiaannya pada profesi penabuh kendang, telah mendatangkan banyak penghargaan dan predikat baginya. Pengamen jalanan sejati dan pengamen agung Indonesia, adalah beberapa diantaranya. Belasan piagam dan piala penghargaan, berjejalan di mengisi ruang tamu rumah kontrakannya. di Kampung Notoyudan, Jogja.
Saya masih ingat betul, bagaimana dulu saya sering barter dengannya. Sujud saya pinjami sepeda dan saya pinjam…, kendangnya. Dan kita pun sama2 girang, ketawa ketiwi haha hihi.
Keteplak ketepluk, tak tung tak tung duuut, begitu suara kendangnya.
Senin, 09 Februari 2009
Poniyem alias Yeni, Wagiyem alias..., Tetty
Tak hanya sebagai nama pasar, nama Jawa asli itu, pon, legi, wage, paing, banyak juga dipakai untuk menamai anak orang. Dulu, nama seperti ini bukan barang langka, Ponirah, Ponijan, Wagiyo, Wagiyem, Legirah, Paimin, Paiman, Paijo dll.
Tentang nama asli Jawa ini, papi Rayhard di majalah Papyrus berkomentar begini:
Sekurangnya kita sekarang tahu kalau Wage, Kliwon, Legi, Pahing dan Pon adalah kata Jawa asli, dan itulah yang membuat nama banyak orang Jawa : Wagiman atau Wagimin, Legiman atau Legimin (?), Paiman atau Paimin, Paijan, Poniman ataupun Ponimin.
Tapi lha kok Kliwonman atau Kliwonmin ataupun Kliwoniyem nggak ada ya? Mungkinkah "n" dan "m" jarang ditemukan bersama-sama? Juga, apakah Kliwon kurang mentereng? (Memang saya pernah mendengar nama orang "Kliwon", tapi tanpa embel2 “man” atau “min”).
Dan kenapa gadis Jawa sekarang ini tidak lagi memakai nama2 asli seperti itu, tetapi malahan memilih nama Tetty, Titiek, dsb? Mangkali malu ah, penyanyi huebat kok namanya Paijem!! Mungkinkah ada tendensi bahwa orang "malu" akan keasliannya?
Ya..., itulah komentar papi Ray yang sekarang bermukim di Australi.
Piye Jal?
Hari Pasaran ala Jawa..., asli lho!
Jawa termasuk kebudayaan dunia yang cukup besar. Tidak hanya besar namun ternyata juga sangat tua. Uniknya, ada "sesuatu" yang orisinil asli Jawa yang kita masih bisa temui saat sekarang. Apakah itu? Itu adalah nama2 hari "pasaran" ala Jawa. Nama hari pasaran kliwon, legi, paing, pon dan wage adalah istilah asli Jawa! Ya, asli alias tidak niru dan tidak nyontek siapa2 (Begitu kata sebuah sumber yang maaf saya lupa namanya).
Sejak jaman kuno nama2 kliwon, legi, pahing, pon, wage, telah ada dan digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang. Dipercaya, oleh nenek moyang bahwa bisnis akan lancar ketika berhasil dipilih hari yang tepat, hari yang baik. Saat hari baik itu semua dagangan di pasar ditanggung laris manis. Karenanya ada istilah untuk menamai pasar, yaitu Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon dan Pasar Wage.
Leluhur (orang Jawa) percaya bahwa ada lima roh dalam jiwa manusia yang disebut "sedulur papat limo pancer" Dan yang menjadi pusat atau pancer adalah kliwon atau disebut juga ingsun, sukma, roh atawa kasih. Empat sedulur si kliwon mewakili unsur jasmani yakni unsur2 tanah, air, api dan udara.
Kemudian datanglah orang2 Hindhu dengan membawa serta nama hari, bulan dan tahun yang kita kenal sebagi tahun saka. Dan nama2 hari versi Hindhu itu adalah: Aditya, Soma, Anggara, Budha, Whraspati, Cukra dan Caniscara. Lantaran lidah jowo itu medok banget, maka nama aditya berubah menjadi radite atau dite (minggu), soma jadi somo (senin), anggara menjadi anggoro (selasa), budha jadi budo (rabu), whraspati jadi respati (kamis), cukra menjadi sukro (jumat) dan caniscara menjadi..., tumpak (sabtu).
Meskipun ada pengaruh luar (Hindhu), tapi dasar wong jowo itu kreatif, nama2 hari kepunyaannya tidak mau dihilangkan begitu saja. Nama hari pasaran itu dilekatkan pada nama2 hari versi hindhu sehingga menjadi: Somo manis untuk hari senin legi. Anggoro kasih untuk hari selasa kliwon. Respati manis untuk hari kamis legi dst.
(Catatan: Kliwon sinonimnya adalah kasih atau kasihan. Legi yang merupakan unsur udara sinonimnya manis, warnanya putih atau pethak/pethakan. Paing merupakan unsur api, warnanya merah atau abrit/abritan. Pon merupakan unsur air, berwarna kuning alias jene atau jeneyan. Dan wage merupakan unsur tanah, warnanya hitam atau cemeng/cemengan).
Jadi, hari:
Dite kasih = minggu kliwon.
Dite pethakan = minggu legi.
Dite abritan = minggu paing.
Dite jeneyan = minggu pon.
Dite cemengan = minggu wage.
Demikian juga untuk hari senin, ada somo kasih, somo manis, somo abritan, somo jeneyan, somo cemengan. Untuk hari selasa dst, jenengono dewe!
Seiring jaman, penanggalan Jawa itu ditinggalkan. Namun jejak nama hari pasaran masih ada di beberapa daerah sebagai nama pasar tradisionil, semisal: Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon dan Pasar Wage.
Gitu deh…
Sejak jaman kuno nama2 kliwon, legi, pahing, pon, wage, telah ada dan digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang. Dipercaya, oleh nenek moyang bahwa bisnis akan lancar ketika berhasil dipilih hari yang tepat, hari yang baik. Saat hari baik itu semua dagangan di pasar ditanggung laris manis. Karenanya ada istilah untuk menamai pasar, yaitu Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon dan Pasar Wage.
Leluhur (orang Jawa) percaya bahwa ada lima roh dalam jiwa manusia yang disebut "sedulur papat limo pancer" Dan yang menjadi pusat atau pancer adalah kliwon atau disebut juga ingsun, sukma, roh atawa kasih. Empat sedulur si kliwon mewakili unsur jasmani yakni unsur2 tanah, air, api dan udara.
Kemudian datanglah orang2 Hindhu dengan membawa serta nama hari, bulan dan tahun yang kita kenal sebagi tahun saka. Dan nama2 hari versi Hindhu itu adalah: Aditya, Soma, Anggara, Budha, Whraspati, Cukra dan Caniscara. Lantaran lidah jowo itu medok banget, maka nama aditya berubah menjadi radite atau dite (minggu), soma jadi somo (senin), anggara menjadi anggoro (selasa), budha jadi budo (rabu), whraspati jadi respati (kamis), cukra menjadi sukro (jumat) dan caniscara menjadi..., tumpak (sabtu).
Meskipun ada pengaruh luar (Hindhu), tapi dasar wong jowo itu kreatif, nama2 hari kepunyaannya tidak mau dihilangkan begitu saja. Nama hari pasaran itu dilekatkan pada nama2 hari versi hindhu sehingga menjadi: Somo manis untuk hari senin legi. Anggoro kasih untuk hari selasa kliwon. Respati manis untuk hari kamis legi dst.
(Catatan: Kliwon sinonimnya adalah kasih atau kasihan. Legi yang merupakan unsur udara sinonimnya manis, warnanya putih atau pethak/pethakan. Paing merupakan unsur api, warnanya merah atau abrit/abritan. Pon merupakan unsur air, berwarna kuning alias jene atau jeneyan. Dan wage merupakan unsur tanah, warnanya hitam atau cemeng/cemengan).
Jadi, hari:
Dite kasih = minggu kliwon.
Dite pethakan = minggu legi.
Dite abritan = minggu paing.
Dite jeneyan = minggu pon.
Dite cemengan = minggu wage.
Demikian juga untuk hari senin, ada somo kasih, somo manis, somo abritan, somo jeneyan, somo cemengan. Untuk hari selasa dst, jenengono dewe!
Seiring jaman, penanggalan Jawa itu ditinggalkan. Namun jejak nama hari pasaran masih ada di beberapa daerah sebagai nama pasar tradisionil, semisal: Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon dan Pasar Wage.
Gitu deh…
Minggu, 08 Februari 2009
Ee.., dayohe teko (SMS dulu dong).
Berikut ini tulisan Papi Iss, di majalah elektronik "PAPYRUS", menanggapi topik soal etiket bertamu. Begini komentarnya:
Tumrape wong Jawa, kedhayohan kuwi padha karo nampa rejeki. Mula yen ana tamu ora tau nglirwakake gupuh, lungguh lan suguh. Sapa wae yen kedhayohan mesthi gupuh olehe mbagekake tamune, ngaturi lenggah, terus gawe wedang kanggo suguhan.
Merga anane pakurmatan mau mula wong sing maradhayoh kudu ngerti (tahu diri), dadiya tamu sing becik. Aja sakepenake dhewe, aja gawe gelane sing ditamoni, lan bisaa nyenengake sing duwe omah. Apa wae sing perlu digatekake yen maradhayoh? (DARI SERBAJADUL).
Wah kalau jaman sekarang ini, ada tamu belum kasih sms atau telpon, maka sulit dibukain pintu.
Dari dalam kita teriak: siapa ya??? ada apa ya?????
Kalau tidak kenal ditanya terus: mau apa? ada urusan apa???? etc.
Kalau kenal ya dibukain pintu..
Kalau kagak kenal kita ngomel: kok tidak telpon dulu sih.
Ya bagaimana dong, banyak sih yang minta sumbangan, yang mau tawarkan jualan ini atau itu. Pokok patut dihindari dan tidak diberi kesempatan gitu.
Kalau pak pos ok, kalau pak pencatat meteran pln ok, kalau pak pencatat meteran air ok, kalau mau jualan roti, sedotan debu, cuci mobil etc no no no and no. apalagi kalau orang yang mau maling dan rampok.
Suatu ketika rumah temanku disatroni rampok. Pagi pagi buta ada yang ketok ketok, dan pagar dibuka pembantu, langsung saja pembantu dibekap. Dan mereka masuk dengan mobilnya. Pagar ditutup lagi dan mereka leluasa masuk rumah. Mereka minta ditunjukkan mana kamar tidur yang empunya rumah. Dan perampokan dimulai. TV cd player etc tidak dijamah. Yang diminta barang kecil kecil berharga. Lalu mereka semua diikat dilak band mulutnya dan pergi ngeloyor saja. Tetangga adalah kakaknya. Kakak ini suka jogging pagi. Dia saat jogging juga lihat tuh ada tamu datang. Ya udah wong tamu kok......tamu rampok.
Dia baru tahu setelahnya.
iss.
Betul Pi, jaman sekarang kalau mau bertamu, kita bisa ngabari dulu. Supaya kita tidak kecele ataupun mengganggu aktifitas tuan rumah. Gitu?
Ee..., dayohe teko, ee..., cepakno kloso, ee..., klosone bedah, ee..., tambalen jadah.
Ee..., jadahe mambu, ee..., pakakno asu, ee..., asune mati, ee..., buangen kali.
Ee..., kaline banjiiir!
Tumrape wong Jawa, kedhayohan kuwi padha karo nampa rejeki. Mula yen ana tamu ora tau nglirwakake gupuh, lungguh lan suguh. Sapa wae yen kedhayohan mesthi gupuh olehe mbagekake tamune, ngaturi lenggah, terus gawe wedang kanggo suguhan.
Merga anane pakurmatan mau mula wong sing maradhayoh kudu ngerti (tahu diri), dadiya tamu sing becik. Aja sakepenake dhewe, aja gawe gelane sing ditamoni, lan bisaa nyenengake sing duwe omah. Apa wae sing perlu digatekake yen maradhayoh? (DARI SERBAJADUL).
Wah kalau jaman sekarang ini, ada tamu belum kasih sms atau telpon, maka sulit dibukain pintu.
Dari dalam kita teriak: siapa ya??? ada apa ya?????
Kalau tidak kenal ditanya terus: mau apa? ada urusan apa???? etc.
Kalau kenal ya dibukain pintu..
Kalau kagak kenal kita ngomel: kok tidak telpon dulu sih.
Ya bagaimana dong, banyak sih yang minta sumbangan, yang mau tawarkan jualan ini atau itu. Pokok patut dihindari dan tidak diberi kesempatan gitu.
Kalau pak pos ok, kalau pak pencatat meteran pln ok, kalau pak pencatat meteran air ok, kalau mau jualan roti, sedotan debu, cuci mobil etc no no no and no. apalagi kalau orang yang mau maling dan rampok.
Suatu ketika rumah temanku disatroni rampok. Pagi pagi buta ada yang ketok ketok, dan pagar dibuka pembantu, langsung saja pembantu dibekap. Dan mereka masuk dengan mobilnya. Pagar ditutup lagi dan mereka leluasa masuk rumah. Mereka minta ditunjukkan mana kamar tidur yang empunya rumah. Dan perampokan dimulai. TV cd player etc tidak dijamah. Yang diminta barang kecil kecil berharga. Lalu mereka semua diikat dilak band mulutnya dan pergi ngeloyor saja. Tetangga adalah kakaknya. Kakak ini suka jogging pagi. Dia saat jogging juga lihat tuh ada tamu datang. Ya udah wong tamu kok......tamu rampok.
Dia baru tahu setelahnya.
iss.
Betul Pi, jaman sekarang kalau mau bertamu, kita bisa ngabari dulu. Supaya kita tidak kecele ataupun mengganggu aktifitas tuan rumah. Gitu?
Ee..., dayohe teko, ee..., cepakno kloso, ee..., klosone bedah, ee..., tambalen jadah.
Ee..., jadahe mambu, ee..., pakakno asu, ee..., asune mati, ee..., buangen kali.
Ee..., kaline banjiiir!
Tata Krama Jawa..., soal bertamu
Berikut ini adalah etiket, tata krama, unggah ungguh, tata cara yang biasa diterapkan oleh orang/masyarakat Jawa dikala bertamu. Ditulis dalam bahasa Jawa. Namun pada intinya, seperti juga aturan dimana mana, tata krama itu menghendaki agar baik tamu maupun tuan rumah saling menghormati satu sama lain, biar enaaak.
Tumrape wong Jawa, kedhayohan kuwi padha karo nampa rejeki. Mula yen ana tamu ora tau nglirwakake gupuh, lungguh lan suguh. Sapa wae yen kedhayohan mesthi gupuh olehe mbagekake tamune, ngaturi lenggah, terus gawe wedang kanggo suguhan.
Merga anane pakurmatan mau mula wong sing maradhayoh kudu ngerti (tahu diri), dadiya tamu sing becik. Aja sakepenake dhewe, aja gawe gelane sing ditamoni, lan bisaa nyenengake sing duwe omah. Apa wae sing perlu digatekake yen maradhayoh?
ANGON WAYAH, NGERTI WEKTU
Maradhayoh ora kena sakarepe dhewe, kudu ngerti wayah sing trep kanggo mertamu. Aja mertamu wayahe wong ngaso lan turu, kira-kira jam loro nganti jam papat sore. Aja mertamu wancine wong mangan, embuh wancine sarapan, mangan awan, utawa mangan bengi. Senajan panjenengan dudu wong muslim, nanging yen maradhayoh wancine wong nindakake ibadah prayogane enggal pamitan mulih. Upamane wancine shalat magrib sing wektune mung sethithik, menawa krungu azan magrib kudu enggal pamitan. Jroning sasi Ramadhan yen mertamu sore saperlune wae, awit wayah sore wancine wong repot nyiapake buka. Aja nganti krungu azan magrib lagi gupuh pamitan. Mertamu sacukupe wae aja kesuwen, mundhak sing ditamoni jeleh lan kesel nemoni. Rembugan aja nglantur. Sing bisa momong pangrasane sing duwe omah. Yen sajake ora seneng dijak ngrembug sawenehing bab, becike aja diterusake. Yen ana perlu wigati aja kesuwen, enggal dikandhakake apa wigatine anggone mertamu.
Mertamu aja kliwat saka sak jam. Kajaba yen wis lawas ora ketemu upamane tilas mitra raket nalika isih sekolah, kanca nyambutgawe ana kutha liya, lan sapanunggalane. Iku wae iya kudu ndeleng kahanane sing ditamoni, seneng apa ora ditekani. Prayogane nalika mertamu nganggo arloji, supaya ngerti wanci. Sebab durung mesthi saben ruang tamu ana jame.
Kepriye yen sing duwe omah sing nggandholi? Upamane merga wis suwe ora ketemu,durung mari kangene, angger arep pamitan mulih digandholi. Panjaluke sing duwe omah kena dituruti nanging saperlune. Yen dirasa keperluane wis cukup lan anggone mertamu wis rada suwe, prayogane tetep nyuwun pamit nanging janji yen arep dolan maneh ing liya wektu.
TRAPSILA
Senajan maradhayoh kuwi ora resmi nanging perlu migatekake tata susila. Klambi sing sopan, apa maneh yen merdhayoh menyang omahe wong sing luwih tuwa. Yen disuguhi aja kesusu diombe apa dipangan sadurunge dimanggakake sing duwe omah. Menawa suguhane wedang diwadhahi cangkir lan lepek, anggone njupuk salepeke, aja mung cangkire wae. Senajan wedange enak, nasthelgi, aja dientekake nganti gusis nanging dingengehake sethithik wae ing dhasare cangkir. Yen disuguhi jajan, panganan, anggone njupuk saperlune senajan jajane enak tur weteng lagi luwe.
Kepriye yen dijak mangan? Ana kalane maradhayoh disuguhi mangan senajan ora wancine mangan. Mbokmenawa sing duwe omah lagi masak-masak enak apa lagi slametan ulang tahun anake. Suguhan mau aja ditampik, mundhak gawe gelane sing duwe omah. Yen suguhan mau wis diracik ing piring, kudu dientekake aja nyisa.
Menawa dijak mangan ing ruang makan anggone imbuh ngenteni dimanggakake lan njupuk sacukupe wae. Rampung dhahar sendhok lan garpu dikurebake ing piring lan dhaharan ing piring kudu gusis kajaba balung lan eri. Aja watuk sajrone dhahar lan aja glegeken sawise rampung. Menawa kudu watuk utawa glegeken diempet dhisik nganti ninggalake ruang makan.
AJA PADU
Yen ana wong maradhayoh sing perlune nagih utang, nagih janji, utawa marani barang sing disilih. Sok-sok sing duwe omah gawe anyel, upamane durung bisa nyaur utange, ora netepi janjine lan barang sing disilih rusak. Nanging senajan nesu dikaya ngapa becike diampah sabisane. Sebab kurang prayoga yen nesu lan muni-muni ing omahe liyan. Apa maneh yen keprungu tangga teparo nganti padha metu nonton. Sulayane janji bisa dirembug sing sareh amrih kekarone padha mareme. Senajan lagi nesu nanging yen mulih tetep pamitan sing apik.
Seperti yang ditulis oleh Nuniek
di Jaya Baya 48/LX, 30 Juli – 5 Agustus 2006
Gitu deh...
Itu aturan jadul atau semuanya masih berlaku untuk sekarang ya? Soalnya jaman sekarang orang tak lagi biasa tidur siang tuh...
Piye Jal?
Tumrape wong Jawa, kedhayohan kuwi padha karo nampa rejeki. Mula yen ana tamu ora tau nglirwakake gupuh, lungguh lan suguh. Sapa wae yen kedhayohan mesthi gupuh olehe mbagekake tamune, ngaturi lenggah, terus gawe wedang kanggo suguhan.
Merga anane pakurmatan mau mula wong sing maradhayoh kudu ngerti (tahu diri), dadiya tamu sing becik. Aja sakepenake dhewe, aja gawe gelane sing ditamoni, lan bisaa nyenengake sing duwe omah. Apa wae sing perlu digatekake yen maradhayoh?
ANGON WAYAH, NGERTI WEKTU
Maradhayoh ora kena sakarepe dhewe, kudu ngerti wayah sing trep kanggo mertamu. Aja mertamu wayahe wong ngaso lan turu, kira-kira jam loro nganti jam papat sore. Aja mertamu wancine wong mangan, embuh wancine sarapan, mangan awan, utawa mangan bengi. Senajan panjenengan dudu wong muslim, nanging yen maradhayoh wancine wong nindakake ibadah prayogane enggal pamitan mulih. Upamane wancine shalat magrib sing wektune mung sethithik, menawa krungu azan magrib kudu enggal pamitan. Jroning sasi Ramadhan yen mertamu sore saperlune wae, awit wayah sore wancine wong repot nyiapake buka. Aja nganti krungu azan magrib lagi gupuh pamitan. Mertamu sacukupe wae aja kesuwen, mundhak sing ditamoni jeleh lan kesel nemoni. Rembugan aja nglantur. Sing bisa momong pangrasane sing duwe omah. Yen sajake ora seneng dijak ngrembug sawenehing bab, becike aja diterusake. Yen ana perlu wigati aja kesuwen, enggal dikandhakake apa wigatine anggone mertamu.
Mertamu aja kliwat saka sak jam. Kajaba yen wis lawas ora ketemu upamane tilas mitra raket nalika isih sekolah, kanca nyambutgawe ana kutha liya, lan sapanunggalane. Iku wae iya kudu ndeleng kahanane sing ditamoni, seneng apa ora ditekani. Prayogane nalika mertamu nganggo arloji, supaya ngerti wanci. Sebab durung mesthi saben ruang tamu ana jame.
Kepriye yen sing duwe omah sing nggandholi? Upamane merga wis suwe ora ketemu,durung mari kangene, angger arep pamitan mulih digandholi. Panjaluke sing duwe omah kena dituruti nanging saperlune. Yen dirasa keperluane wis cukup lan anggone mertamu wis rada suwe, prayogane tetep nyuwun pamit nanging janji yen arep dolan maneh ing liya wektu.
TRAPSILA
Senajan maradhayoh kuwi ora resmi nanging perlu migatekake tata susila. Klambi sing sopan, apa maneh yen merdhayoh menyang omahe wong sing luwih tuwa. Yen disuguhi aja kesusu diombe apa dipangan sadurunge dimanggakake sing duwe omah. Menawa suguhane wedang diwadhahi cangkir lan lepek, anggone njupuk salepeke, aja mung cangkire wae. Senajan wedange enak, nasthelgi, aja dientekake nganti gusis nanging dingengehake sethithik wae ing dhasare cangkir. Yen disuguhi jajan, panganan, anggone njupuk saperlune senajan jajane enak tur weteng lagi luwe.
Kepriye yen dijak mangan? Ana kalane maradhayoh disuguhi mangan senajan ora wancine mangan. Mbokmenawa sing duwe omah lagi masak-masak enak apa lagi slametan ulang tahun anake. Suguhan mau aja ditampik, mundhak gawe gelane sing duwe omah. Yen suguhan mau wis diracik ing piring, kudu dientekake aja nyisa.
Menawa dijak mangan ing ruang makan anggone imbuh ngenteni dimanggakake lan njupuk sacukupe wae. Rampung dhahar sendhok lan garpu dikurebake ing piring lan dhaharan ing piring kudu gusis kajaba balung lan eri. Aja watuk sajrone dhahar lan aja glegeken sawise rampung. Menawa kudu watuk utawa glegeken diempet dhisik nganti ninggalake ruang makan.
AJA PADU
Yen ana wong maradhayoh sing perlune nagih utang, nagih janji, utawa marani barang sing disilih. Sok-sok sing duwe omah gawe anyel, upamane durung bisa nyaur utange, ora netepi janjine lan barang sing disilih rusak. Nanging senajan nesu dikaya ngapa becike diampah sabisane. Sebab kurang prayoga yen nesu lan muni-muni ing omahe liyan. Apa maneh yen keprungu tangga teparo nganti padha metu nonton. Sulayane janji bisa dirembug sing sareh amrih kekarone padha mareme. Senajan lagi nesu nanging yen mulih tetep pamitan sing apik.
Seperti yang ditulis oleh Nuniek
di Jaya Baya 48/LX, 30 Juli – 5 Agustus 2006
Gitu deh...
Itu aturan jadul atau semuanya masih berlaku untuk sekarang ya? Soalnya jaman sekarang orang tak lagi biasa tidur siang tuh...
Piye Jal?
Barang Antik..., iklan balsem
“Masuk angin? Pakailah balsem Bintang Todjoe”. Beginilah bunyi iklan balsem ini. Ada tambahan kata2 yang unik: “Bila perlu boleh diminum”. Hahhh…, minum balsem?
Masyarakat Jogja atau Jawa pada umumnya mempunyai cara yang khas untuk mengusir sakit masuk angin. Tidak hanya dulu kala, sekarangpun cara usir angin dengan “kerokan” atau “kerikan” masih dipakai. Sekujur punggung, lengan dan dada diolesi minyak kelapa, kemudian dikerok kerok menggunakan mata uang logam hingga kulit memerah, membentuk motif loreng2 ala zebra…, zebra merah. Dengan dikerok atau kerokan itu, badan menjadi hangat, sakitpun sembuh…, bablas angine. Lha balsem buat apa? Balsem itu biang kerok, artinya tanpa dikerok pun badan bisa hangat dan yang bikin hangat ya balsem itulah.
Daripada kerikan yang menggelikan itu (bikin saya keri alias geli), saya lebih memilih digosok balsem. Gitu deh…
Barang Antik..., iklan jarit (kain batik) jadul
Barang Antik..., lampu bang jo jadul
Jaman dulu (jadul), lampu bang jo (abang ijo) pengatur lalu lintas di perempatan jalan modelnya kayak di gambar ini. Pak polisi berdiri tengah2 prapatan, di bawah payung sembari mengendalikan handel pengatur tanda, berhenti atau mati, e.., berhenti atau silahkan jalan.
Di kemudian hari, payung pengatur lalu lintas itu digantikan perannya oleh lampu bang jo, lampu lalu lintas merah kuning hijau. Kalau tidak mengidap buta warna, kita orang wajib berhenti dikala lampu bang jo menyala merah. Gitu deh...
MITONI.., satu peristiwa seribu makna
Mitoni berbeda dengan ngidoni. Yang satu peristiwa gembira menyambut akan lahirnya seorang anak manusia, yang lain peristiwa peludahan serta penghinaan terhadap sesama manusia. Dan upacara MITONI atau selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan itu begitu indah menarik dan mengandung seribu makna. Peristiwanya selalu berbunga-bunga sekaligus mendebarkan, karena tidak lama lagi, sepasang temanten akan segera menjadi nyokap dan bokap, sepasang papa dan mama akan segera menjadi kakek dan nenek. Mbah kakung en mbah putri akan segera menjadi eyang buyut dan seterusnya.
ADAT JAWA
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga ini dibilangnya “kuping”, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku dan kaku. “Cengkir” alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. “Tebu” diartikan sebagai antebing kalbu.”Pisang ayu” disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera.
Para pahlawan disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma bangsa...tttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus angrem, seperti kura-kura sedang mengeram.
Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, di antaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Dan salah satunya adalah upacara memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut “mitoni” itulah.
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Usia kehamilan tujuh bulan oleh orang Jawa dinamai SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan….
PELAKSANAAN
Tahap pelaksanaan upacara mitoni berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. Dan biasanya dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan.
TAHAP SIRAMAN
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. (Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi?).
Dan sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, (atau bisa juga dari air mineral berbagai merek?), yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian.
Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. En seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.
Tanpa mengenakan tetek bengek asesoris seperti anting, ataupun gelang akar bahar, jadi hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara mengguyurkan air penuh bunga itu ke tubuh calon ibu dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa yang masih berkelapa alias masih ada dagingnya.
Bekas bunga yang menempel di sekujur badan si terguyur, dibersihkan dengan air kendi. Kendi kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua hadirin mengamati. Jika setelah pecah cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirinpun akan berteriak: “ Cowok! Laki! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan bahwa sang anak nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berantakan tanpa cucuk yang utuh, dipercaya bahwa anak yang lahir nanti bakalan…, cewek.
Acara siraman ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesakan ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan full semangat menyiarkan berita di seputar pandangan mata.
Siraman selesai, calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk plus hair dryer supaya tidak masuk angin.
BROJOLAN
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Warna merah melambangkan kasih sayang, putih melambangkan tanggung jawab calon bokap bagi kesejahteraan keluarganya. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. (Kalau tidak ada letrek..., janur pun jadi).
Calon nenek memasukkan tropong (bagian dari alat tenun tradisional) ke dalam lilitan kain jarit si calon ibu, kemudian tropong dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. (Tidak ada tropong..., telur ayam pun jadi).
Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut biasanya ditato/ digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Dengan gambar2 itu diharapkan agar anak yang lahir kelak bisa tampil keren seperti para tokoh itu. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat kain jarit si calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan/ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.
Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak:”Perempuan!” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak:”laki-laki!” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang....
PEMAKAIAN BUSANA
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.
Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. (Sudah pantas dan selayaknya).
Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak dan ibunya. Gaya “pendudukan” seperti itu disebut angreman. Angreman bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.
Sebelum matahari terbenam seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas, tassss.
BAKAL EYANG
Semoderen apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimana tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Dan tidak bisa tidak itu pasti akan terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.
Semoga upacara mitoni yang penuh makna ini bisa lestari sepanjang masa. Gitu deh...
ADAT JAWA
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga ini dibilangnya “kuping”, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku dan kaku. “Cengkir” alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. “Tebu” diartikan sebagai antebing kalbu.”Pisang ayu” disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera.
Para pahlawan disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma bangsa...tttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus angrem, seperti kura-kura sedang mengeram.
Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, di antaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Dan salah satunya adalah upacara memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut “mitoni” itulah.
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Usia kehamilan tujuh bulan oleh orang Jawa dinamai SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan….
PELAKSANAAN
Tahap pelaksanaan upacara mitoni berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. Dan biasanya dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan.
TAHAP SIRAMAN
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. (Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi?).
Dan sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, (atau bisa juga dari air mineral berbagai merek?), yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian.
Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. En seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.
Tanpa mengenakan tetek bengek asesoris seperti anting, ataupun gelang akar bahar, jadi hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara mengguyurkan air penuh bunga itu ke tubuh calon ibu dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa yang masih berkelapa alias masih ada dagingnya.
Bekas bunga yang menempel di sekujur badan si terguyur, dibersihkan dengan air kendi. Kendi kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua hadirin mengamati. Jika setelah pecah cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirinpun akan berteriak: “ Cowok! Laki! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan bahwa sang anak nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berantakan tanpa cucuk yang utuh, dipercaya bahwa anak yang lahir nanti bakalan…, cewek.
Acara siraman ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesakan ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan full semangat menyiarkan berita di seputar pandangan mata.
Siraman selesai, calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk plus hair dryer supaya tidak masuk angin.
BROJOLAN
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Warna merah melambangkan kasih sayang, putih melambangkan tanggung jawab calon bokap bagi kesejahteraan keluarganya. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. (Kalau tidak ada letrek..., janur pun jadi).
Calon nenek memasukkan tropong (bagian dari alat tenun tradisional) ke dalam lilitan kain jarit si calon ibu, kemudian tropong dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. (Tidak ada tropong..., telur ayam pun jadi).
Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut biasanya ditato/ digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Dengan gambar2 itu diharapkan agar anak yang lahir kelak bisa tampil keren seperti para tokoh itu. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat kain jarit si calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan/ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.
Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak:”Perempuan!” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak:”laki-laki!” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang....
PEMAKAIAN BUSANA
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.
Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. (Sudah pantas dan selayaknya).
Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak dan ibunya. Gaya “pendudukan” seperti itu disebut angreman. Angreman bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.
Sebelum matahari terbenam seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas, tassss.
BAKAL EYANG
Semoderen apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimana tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Dan tidak bisa tidak itu pasti akan terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.
Semoga upacara mitoni yang penuh makna ini bisa lestari sepanjang masa. Gitu deh...
Sabtu, 07 Februari 2009
Jamu, jamu…, jamune mas.
Hingga sekarang masih bisa kita temukan mbak2 penjual jamu gendong. Rata2 mereka berpenampilan lumayan, sehat, singset. Memang mesti begitu, penampilannya ngiras promosi, khan yang dijual jamu untuk kesehatan dan untuk kecantikan luar dalam. Ada jamu galian singset, jamu sari rapet, beras kencur dsb. Ya, tradisi minum ataupun meracik jamu memang lekat dengan kehidupan masyarakat Jawa.
Ibu saya hobi minum jamu. Meskipun rasanya pahit, tapi beliau tenggak juga jamu pahit itu dengan enaknya, tanpa ragu. Sementara saya pilih beras kencur, jamu yang rasanya manis. Dulu, jamu itu disajikan di wadah serupa cawan terbuat dari batok kelapa, unik sekali.
Selain di gendong dibawa jalan2, ada juga jamu yang dijual menetap, di warung jamu. Di Jogja ada lho warung jamu yang kondangnya sudah sejak dari dulu, namanya Warung Jamu Ginggang. Tak sulit menemukan warung kecil di sudut jalan daerah Pakualaman itu, karena hampir sebagian warga Jogja mengenalnya. Inilah satu-satunya "resto jamu tradisional" yang ada di Jogja dan sudah berdiri sejak tahun 1925. Pengin tehe kisahnya?
Begini storinya. Pada mulanya, berbagai ramuan minuman kesehatan tradisional berbentuk jamu berlabel Jamu Ginggang itu diracik oleh seorang pembuat jamu di lingkungan Kraton di jaman Pakualam ke VI. Mbah Joyo, tukang jamu itu, biasanya meracik jamu spesial untuk dikonsumsi raja dan keluarga. Mbah Joyo memakai cara tradisonal untuk membuat jamu itu seperti menggodok dalam air untuk jamu godogan atau menggunakan piranti seperti lumpang, pipisan, parut, kuali dan sebagainya untuk jenis jamu lainnya.
Jamu itu memang berkhasiat, sehingga pihak “Ndalem Pakualaman” menyarankan mbah Joyo agar menjual jamu racikannya itu ke luar kraton. Jadilah kemudian jamu itu dijajakan keliling untuk masyarakat umum di luar tembok Pakualaman dan diberi merek dagang Tan Ginggang, dari asal kata: tansah tidak renggang, bermakna harapan agar supaya tetap erat hubungan antara kraton dengan jamunya. Jamu racikan mbah Joyo itu masih terus dijajakan dengan cara berkeliling sampai usaha tersebut dikelola oleh Birowo, penerusnya, hingga akhirnya Puspomadio, penerus Birowo memutuskan untuk berjualan secara menetap dan menghilangkan kata Tan di depan nama Ginggang.
Saat ini Jamu Ginggang yang merupakan usaha keluarga turun temurun masih tetap berusaha mempertahankan keaslian rasa serta khasiat jamunya dengan tetap menggunakan resep yang ditemukan oleh Mbah Joyo. Kini, Jamu Ginggang yang memiliki tiga produk unggulan yaitu jamu bubuk, jamu segar dan jamu godok masih dikelola oleh para keturunan Mbah Joyo.
Jamu, jamu…, jamune mas! Yang pahit, yang sedep, yang rapet, yang lemu.Lho? Ya..., mbak2 penjual jamu itu memang gemar bercanda..., biar larisss. Gitu deh.
REL SEPUR…, tuit, tuit, ra duwe duiiit!
Jaman dulu (jadul), kereta api itu punya bunyi yang khas, jazz jess jazz jess dan suara peluitnya…, tuit tuit. Namun bocah2 kala itu punya versi lain. Di kuping kita, bocah Jogja, bunyi sepur itu menjadi : jo jajan, ojo jajan…, ora duwe duwiiit! (Jangan jajan, kagak punya duit). Di tempat lain versi bunyi itu bisa jadi: jaman susah, jaman susah…, susah…, cari duiiittt!!!
Jarak setasiun kereta api Tugu dengan rumah saya tidak begitu jauh, tidak lebih dari satu kilo meter dan di sekitar situlah saya dulu biasa bermain. Bermain di pinggir rel, nyari batu api alias kerikil yang ada banyak di situ, ada di antara kayu2 bantalan rel, ataupun masang paku besar di atas rel itu agar paku menjadi pipih terlindas oleh kereta api yang melintas. Arah ke barat, rel itu menuju kota Jakarta. Wah enaknya, segitu jauhnya perjalanan tapi sopirnya bisa santai, tidak perlu nyopir. Mungkin karena itulah sopir kereta api bukan disebut sopir melainkan masinis.
Kereta api itu selain punya kepala alias lokomotif juga punya badan alias gerbong2. Rangkaian gerbongnya bisa banyak, lima, enam, tujuh ataupun lebih. Wis jan, persis…, ular naga panjangnya, bukan kepalang. Sewaktu bocah pengin lho saya naik kereta api, tapi naik di..., kepalanya. Kesampaiankah keinginan si bocah itu? Saya akan cerita dilain waktu. Sekarang kita akan cerita dulu soal riwayat rel kereta.
Manfaat rel sudah diketahui orang sejak lama sebelum Masehi, diperoleh dari pengalaman saat menarik atau mendorong gerobak di jalan tanah nan becek. Di musim hujan atau ketika kondisi tanah basah kehujanan, roda gerobak akan menekan tanah sehingga meninggalkan jejak berupa cekungan. Setelah selang beberapa waktu, tanah yang sering dilalui itu akan mengeras. Dan ternyata menjalankan gerobak lewat bagian tanah yang mengeras itu lebih gampang. Jalur tapak roda di tanah telah berperan bisa mengarahkan roda.Karena sudah tercipta jalur, maka tugas si pendorong kini ya tinggal ndorong gerobak aja, tak perlu lagi repot2 nyetir.
Mau hujan mau tidak, berjalan di atas rel akan sama saja, akan sama mudahnya alias tidak tergantung cuaca. Di abad ke-18 angkutan batu bara menggunakan prinsip jalur rel ini dengan memakai papan kayu sebagai jalurnya. Dalam perkembangannya, setelah besi digunakan untuk berbagai keperluan, para ahli membuat roda yang berlapis besi tipis. Begitu juga jalur kayunya, dilapisi besi cor di atasnya serta ditinggikan kedua sisinya. Makin moderen, dibuatlah rel besi sebagai pengganti rel kayu. Jadinya ya kayak rel kereta api yang sering kita lihat sekarang ini, berupa dua besi panjang yang selalu berbaring berpasangan namun tak pernah saling bersentuhan…
Gitu deh…
Dan ini ada permainan kata yang bisa bikin lidah kita "kelibet". Ucapkan berulang kali, mula2 lambat, tapi kemudian dipercepat, kata2 seperti ini:
"Lor ngeril kidul ngeril, lor ngeril kidul ngeril"
Ditanggung deh kita bakal keseleo lidah. Mau coba?
Jumat, 06 Februari 2009
Ban besi itupun..., mati angin.
Glodak glodek dan kluntang kluntung. Kedua bunyi itu dulu kerap saya dengar dikala tengah malam. Mula2 terdengar sayup, namun kemudian makin mendekat. Ya, itulah suara kluntang kluntung kalung klonthongan yang dikenakan oleh sepasang sapi yang tengah berjalan menarik gerobak. Glodak glodek adalah bunyi ban besi roda gerobak yang berputar dan terseok seok menyusuri jalanan aspal depan rumah. Namun itu tidak berlangsung lama. Belum sempat saya membesar, bunyi khas roda itu tak lagi terdengar. Mengapa? Apakah bajingan alias driver gerobak sapi itu telah ganti trayek?
Ternyata tidak, gerobak masih tetap melaju lewat depan rumah, dan sapi pun masih tetap mengenakan kalung klonthongan, hanya saja ban besi pembalut roda gerobak telah diganti dengan ban karet. Pantesan sunyi, soalnya ban karet. Tapi siapa sih yang nyuruh ngganti ban?
Pertanyaan sepele sekian puluh tahun itu baru terjawab kemarin ketika saya buka2 internet. Rupanya ada ketentuan daerah yang mengatur perkara si ban besi itu. Peraturan Daerah DIY Nomor 2 tahun 1968 itu menjelaskan begini:
Sudah menjadi kenyataan bahwasanya dalam kehidupan sehari-hari para pemilik/pengemudi gerobak, terutama gerobak sapi, selalu berusaha untuk memuati kendaraannya sebanyak mungkin, sehingga untuk menariknya bila perlu digunakan sapi dua tiga ekor.
Akibat muatan semacam itu ialah jalannya kendaraan tersebut tidak dapat tenang lurus sebagaimana mestinya, tetapi dengan putaran roda-roda yang miring-miring kekiri dan kekanan. Dengan cara berjalan yang demikian maka roda gerobak tersebut yang diperlengkapi dengan ban mati dan besi/baja, dalam waktu yang relatip pendek, dengan mudah dapat merusakkan lapisan-lapisan aspal perkerasan jalan yang dilaluinya.
Menghadapi pelanggaran-pelanggaran tersebut dimuka, dipandang dari segi sosial ekonomi, penuntutan terhadap kelebihan-kelebihan muatan oleh gerobak (diproses verbal), pada dewasa ini kurang dapat dibenarkan.
Dalam pada itu perbaikan jalan-jalan yang rusak tersebut memerlukan pembiayaan yang tinggi, yang sangat memberatkan beban Negara, lebih-lebih kalau diingat bahwasanya aspal tersebut sebagian besar harus didatangkan dari Luar Negeri (Import).
Salah satu jalan untuk menjaga jalan-jalan aspal dari kerusakan-kerusakan yang parah ialah dengan mengharuskan gerobak-gerobak yang berjalan diatasnya menggunakan perlengkapan roda-roda dengan ban-ban hidup, ban truck/mobil, paling sedikit dengan ban-ban mati dari karet yang cukup tebal yaitu untuk gerobak-gerobak kecil/ringan.
Ya sudah, bye bye dah roda gerobak ban besi.
SEKATEN..., sesak ati?
Jaman dulu (jadul), sekian puluh tahun lalu, keramaian pasar malam Sekatenan di Jogja selalu menarik perhatian saya. Ada banyak tontonan di sana, seperti tong setan, band, tarian2 an dsb. Juga ada bermacam permainan, ombak banyu, draimolen dll. Penjual dolanan bocah kayak gangsingan, kapal othok2, mobil2 an kayu, kodok2 an, manuk2 an, balon pit montor, angkrek alias munyuk2 an, plembungan, wayang karton, payung kertas, kitiran, dsb., ada sejibun. Saat pulang pasti jajan endog abang atau klatak, gulali ataupun tahu petis. Sebagai bocah, nonton pasar malam sekaten di Alun Alun Lor itu, wis jan, senenge pol, senang sekali.
Tidak dulu, tidak sekarang, Pasar Malam Sekaten itu selalu ada, selalu hadir di setiap perayaan ritus tradisional, Tradisi perayaan dengan menghadirkan pasar malam memang sudah ada sejak masa Hindu Jawa.
Konon, tradisi itu muncul di era Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ceritanya, kalau nggak salah, kala itu raja sedang sedih ketika mendengar sang putra Raden Patah, ngotot dan mengancam akan memberontak bila keputusannya pindah ke agama Islam tidak disetujui. Untuk menghibur hati raja, para komposer istana pun berinisiatif menciptakan gending baru.
Sayang, ciptaan baru yang berirama nglangut itu justru bikin raja tambah manyun. Gubahan pun dikoreksi. Irama gending yang nglangut, males2an diubah menjadi berirama lebih hot, lebih oye dan bersemangat. Dengan aransemen baru itu raja pun terhibur, bisa manggut2 dan senyum2 lagi…, ramai lagi. Dan karena lagu baru itu dimainkan dengan instrumen gamelan disaat raja tengah bersedih, maka gamelan itu disebut sebagai gamelan Kyai Sekati, dari kata sedih hati atau bahasa Jawanya sesek ati,…, sekati.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, Walisongo memanfaatkan kebiasaan atau tradisi yang telah ada, termasuk kegemaran masyarakat mendengarkan siaran…, gamelan. Misalnya ketika Sunan Kalijaga merayakan Maulud, pelataran masjid dihias bunga aneka warna, dan gamelan Kyai Sekati ditabuh. Suasana yang semarak dan suara gamelan yang mengalun indah itu berhasil menyedot perhatian orang banyak. Masyarakat datang berduyun-duyun, bersukacita dalam kemeriahan itu, untuk kemudian masuk Islam secara sukarela. Begitu seterusnya, setiap perayaan Maulud, gamelan kyai Sekati ditabuh, kemeriahan Pasar Malam “Sekaten” tercipta. (Sekali lagi ini kalau nggak salah lho. Kalau cerita ini keliru, ada yang bisa mbetulin? Piye Jal?).
Ning nong ning gong…, ning nong ning gong, blanggentak…, gong, begitulah bunyinya.
Rabu, 04 Februari 2009
Gembira Loka..., cinta monyet.
Gembira Loka itu nama kebun binatang di sebelah timur kota Jogja. Ditilik dari namanya, gembira loka, tempat itu tentunya tempat yang menggembirakan, baik bagi kita pengunjungnya maupun bagi para penghuninya, gajah , kancil dan cs nya.
Ada kurang lebih 190 jenis binatang, 200 koleksi tanaman serta memiliki 20 unit aquarium air tawar dan laut, di sana. Dengan berbagai fasilitasnya itu, taman wisata ini kerap dijadikan ajang pendidikan bagi banyak keluarga. Selain itu, Gembira Loka juga dilengkapi berbagai fasilitas wisata keluarga, seperti perahu angsa di danau buatan ataupun tempat bermain bagi anak-anak. Pada momen-momen tertentu, tempat wisata ini juga menyelenggarakan berbagai atraksi pertunjukan seperti pergelaran musik ataupun atraksi hiburan lainnya. Dari jaman dulu (jadul) emang begitu.
Yang asyik pacaran di dekat kandang monyet juga ada. Monyet di sebelahnya sudah pada maklum dan cuek saja. “Ah…, cinta monyet” begitu kira2 pikirnya.
Gitu deh…
Merapi..., rosa,rosa.
Gunung Merapi, di ujung utara Daerah Istimewa Yogyakarta, mendukung kehidupan dan kesejahteraan penduduk dengan memberikan air dan kesuburan tanah…
Bagi sebagian masyarakat Jogja, Gunung yang berada di wilayah Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten ini memiliki nilai spiritual. Setiap tahun di bulan Rejeb, selalu diadakan upacara persembahan kepada Gunung Merapi agar gunung ini tidak "marah".
Mbah Maridjan, yang kini kondang itu, yang bergelar Mas Penewu Suraksohargo adalah juru kunci gunung Merapi. Jabatan sebagai juru kunci Merapi didapatnya dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX sejak tahun 1982. Setiap gunung Merapi akan meletus, seluruh warga setempat akan selalu menunggu petunjuk Mbah Maridjan, perlu ngungsi atau tidak. Dan tempo lalu saat merapi akan meletus, simbah tenang2 saja. Ketika orang bertanya:" Mbah, ngungsi atau kagak nih?" Mbah Marijan menjawab dengan tenang: " Rosa..., rosa..." Dan yang dimaksud rosa rosa itu bolehlah kita terjemahkan sebagai "Rasah.., rasah" alias ora usah (kagak usah). Gitu aja kok repot...
Jika Merapi sedang "tenang", mendaki Merapi sangat asyik dan menyenangkan. Sejumlah jalur pendakian bisa digunakan yaitu melalui Selo dari sebelah utara, Babadan dari sisi barat serta Kaliadem dari sisi selatan. Tapi jika Merapi sedang kumat marahnya, jangan coba2 kluyuran ke sana. Gawat!
Gitu deh…
Selasa, 03 Februari 2009
NGEJAMAN, GEDUNG AGUNG dan sekitarnya.
Di kawasan sekitar Titik Nol Kilometer berdiri sejumlah bangunan tua bersejarah yang bukan hanya menjadi saksi perjalanan sejarah kota Jogja, namun juga menjadi bagian penting dari sejarah Republik Indonesia. Dan kini kita akan menjelajahinya mulai dari sisi kawasan paling utara.
Di depan Gereja Protestan di sebelah utara Gedung Agung, berdiri sebuah jam kota atau stadsklok. Area di seputarnya yang dahulu bernama Jalan Margomulyo ini biasa disebut Ngejaman. Jam ini didirikan tahun 1916, sebagai persembahan masyarakat Belanda kepada pemerintahnya untuk memperingati satu abad kembalinya Pemerintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang sempat berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19.
Bangunan berhalaman luas di sebelah selatan Ngejaman adalah Gedung Agung. Gedung yang selesai dibangun pada tahun 1832 ini, dulu dipakai sebagai tempat tinggal para Residen dan Gubernur Belanda di Yogyakarta. Pada jaman penjajahan Jepang menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa Jepang di Kota Jogja. Dari tahun 1946 hingga 1949, gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, pada saat Kota Jogja menjadi ibukota Republik Indonesia. Kini, Gedung Agung adalah salah satu Istana Presiden Republik Indonesia yang berada di luar kota Jakarta. Gedung Agung ini merupakan bangunan yang sarat nilai sejarah, karena menjadi saksi berbagai peristiwa penting di Jogja.
Benteng Vredeburg berada tepat di depan Gedung Agung. Bangunan yang menjadi markas tentara pada jaman kolonial Belanda ini, sekarang berfungsi sebagai museum dengan nama Museum Benteng Vredeburg. Benteng ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1760 atas permintaan orang-orang Belanda. Bangunannya yang sederhana kemudian disempurnakan pada tahun 1787 dan kemudian diberi nama Benteng Rustenburg yang artinya benteng peristirahatan. Bangunan ini sempat rusak berat pada saat terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, namanya kemudian diganti menjadi Benteng Vredeburg, yang berarti benteng perdamaian. Masyarakat Jogja tempo dulu menyebut benteng ini dengan nama Loji Gedhe, sementara barak-barak tentara di belakangnya disebut Loji Cilik. (Gedung Agung yang berada tepat didepannya, karena memiliki taman yang luas, disebut sebagai Loji Kebon).
.
Di sisi barat, Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dahulu berdiri sebuah toko bernama NV Toko Europe yang menyediakan barang-barang impor untuk keperluan orang-orang Belanda. Setelah masa kemerdekaan, bekas bangunan toko ini dipergunakan oleh sejumlah kantor, diantaranya sebagai Kantor kementrian Penerangan, Kantor Persatuan Wartawan Indonesia, serta perwakilan Kantor Berita Antara.
Di sebelah timurnya, dulu berdiri Gedung Societet de Vereeniging atau Balai pertemuan yang dikenal masyarakat Jogja dengan nama Balai Mataram. Tempat ini merupakan tempat rekreasi orang-orang Belanda. Biliard adalah salah satu permainannya, sehingga gedung ini juga disebut Kamar Bola. Pada tahun 50-an, gedung ini digunakan sebagai bioskop rakyat dengan nama Senisono. Bioskop ini kemudian pindah ke salah satu sudut Alun-alun Utara dan berganti nama menjadi Soboharsono, yang saat ini telah berubah fungsi menjadi galeri seni. Hingga akhir tahun 80-an, Senisono menjadi pusat kegiatan seni budaya di Kota Jogja. Bekas NV Toko Europe dan Gedung Senisono telah dipugar dan saat ini menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Gedung Agung.
Bangunan bertingkat yang masih berdiri kokoh di sisi selatan jalan sekarang dipergunakan sebagai Kantor Bank BNI. Pada jaman kolonial, gedung ini dipakai sebagai Kantor Asuransi Nill Maattschappij dan Kantor de Javasche Bank. Lantai bawah gedung ini, pada Jaman Jepang dipergunakan sebagai Kantor Radio Hoso Kyoku, Pada awal kemerdekaan studio digunakan sebagai Studio Siaran radio Mataram yang dikenal dengan nama MAVRO.
Di sisi timur, di seberang Gedung Bank BNI, saat ini berdiri Kantor Pos Besar Yogyakarta. Pada jaman Kolonial Belanda, fungsinya ya tidak jauh beda, yaitu sebagai kantor pos, telegraf dan telepon. Di sebelah timur gedung kantor pos berdiri Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Dulunya kantor de Indische Bank.
Nah, gedung sekolahan SD (dulu SR) dan SMP Bruderan Pangudi Luhur terletak di Kidul Lodji, persisnya di belakang gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Pintu gerbang sekolahan ada di depan, di samping dan di belakang. Saya bisa masuk ke sekolahan melalui jalan Panembahan Senopati, atau lewat belakang Kantor Pos atau via samping gedung bioskop Soboharsono.
O ya.., pasar Beringharjo adanya di sisi utara, di seberang Ngejaman. Lha Malioboro di mana?
JOGJA, kota gudeg
Jogja selain terkenal dengan tempat-tempat wisata dan budaya, juga terkenal dengan makanan tradisionalnya. Salah satunya adalah gudeg. Gudeg Jogja ini punya rasa manis yang khas. Dan makanan tradisional yang manis ini juga menjadi trade mark kota Jogja. Begitu terkenalnya gudeg sebagai makanan khas Jogja, sehingga Jogja terkenal juga sebagai ‘Kota Gudeg’.
Gudeg, enaknya dimakan dengan nasi hangat dan sambal krecek. Kalau gemar pedas, sambal krecek bisa ditambahkan. Kombinasi nasi hangat, gudeg dan sambal krecek (serta telur ataupun daging ayam, tahu ataupun tempe) ini bisa membuat banyak orang ketagihan…
Gudeg Jogja tidak hanya digemari oleh orang Jogja tapi juga oleh dulur dari luar daerah. Mereka bisa menikmati gudeg di rumah makan atau di bakul gudeg lesehan. Selain itu gudeg juga bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Jogja dalam kemasan kotak karton, besek bambu, atau kendil.
Atau panjenengan sampeyan pengin mencoba masak sendiri dengan resep gudeg di bawah ini?
Resep Gudeg.
Bahan – bahan :
daging ayam 1/2 kg
nangka muda 1/2 kg
telur ayam 4 butir
tahu putih ukuran sedang ( medium) 6
kelapa tua 1 buah (diparut)
daun jati 4 – 6 lembar.
Bumbu-bumbu :
bawang merah 6 biji
bawang putih 8 siung
ketumbar 1 1/2 sendok teh
laos 2 ruas jari
kemiri 7 buah
daun salam 4 lembar
gula merah 2 sendok makan
garam 1 sendok makan
Cara memasak :
parut kelapa , beri air sedikit, peras dan ambil santannya 750 cc
rebus telur dan kupas kulitnya
cuci bersih dan potong-potong nangka muda
rebus nangka muda bersama daun jati.
Tiriskan dan memarkan nangka muda yang sudah direbus
Haluskan semua bumbu kecuali laos dan daun salam
Masukkan semua bahan dan bumbu ke dalam panci
Rebus semua bahan dan bumbu dengan santan sampai santan hampir habis
Sesudah masak, makanan ini siap dihidangkan untuk 5 orang, sebagai teman makan nasi hangat.
Dari jaman dulu sampai sekarang resep Gudeg ya begitu itu. Lha kalau soal cara menyantapnya sih…, semua kita juga tahu, di ma’em nyam nyam nyam gitu. Jaman dulu (jadul) sarapan saya seringnya ya sego gudeg ini. Walau daging ayamnya cuma sa'suwir, atau telur ayamnya cuma sa'ipit alias sedikit, no problem. Pokoknya sekali gudeg tetap gudeg. Gitu deh...
Gudeg, enaknya dimakan dengan nasi hangat dan sambal krecek. Kalau gemar pedas, sambal krecek bisa ditambahkan. Kombinasi nasi hangat, gudeg dan sambal krecek (serta telur ataupun daging ayam, tahu ataupun tempe) ini bisa membuat banyak orang ketagihan…
Gudeg Jogja tidak hanya digemari oleh orang Jogja tapi juga oleh dulur dari luar daerah. Mereka bisa menikmati gudeg di rumah makan atau di bakul gudeg lesehan. Selain itu gudeg juga bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Jogja dalam kemasan kotak karton, besek bambu, atau kendil.
Atau panjenengan sampeyan pengin mencoba masak sendiri dengan resep gudeg di bawah ini?
Resep Gudeg.
Bahan – bahan :
daging ayam 1/2 kg
nangka muda 1/2 kg
telur ayam 4 butir
tahu putih ukuran sedang ( medium) 6
kelapa tua 1 buah (diparut)
daun jati 4 – 6 lembar.
Bumbu-bumbu :
bawang merah 6 biji
bawang putih 8 siung
ketumbar 1 1/2 sendok teh
laos 2 ruas jari
kemiri 7 buah
daun salam 4 lembar
gula merah 2 sendok makan
garam 1 sendok makan
Cara memasak :
parut kelapa , beri air sedikit, peras dan ambil santannya 750 cc
rebus telur dan kupas kulitnya
cuci bersih dan potong-potong nangka muda
rebus nangka muda bersama daun jati.
Tiriskan dan memarkan nangka muda yang sudah direbus
Haluskan semua bumbu kecuali laos dan daun salam
Masukkan semua bahan dan bumbu ke dalam panci
Rebus semua bahan dan bumbu dengan santan sampai santan hampir habis
Sesudah masak, makanan ini siap dihidangkan untuk 5 orang, sebagai teman makan nasi hangat.
Dari jaman dulu sampai sekarang resep Gudeg ya begitu itu. Lha kalau soal cara menyantapnya sih…, semua kita juga tahu, di ma’em nyam nyam nyam gitu. Jaman dulu (jadul) sarapan saya seringnya ya sego gudeg ini. Walau daging ayamnya cuma sa'suwir, atau telur ayamnya cuma sa'ipit alias sedikit, no problem. Pokoknya sekali gudeg tetap gudeg. Gitu deh...
Senin, 02 Februari 2009
Kemasan Daun
Di antara sekian banyak bahan kemasan modern yang saat ini digunakan ternyata masih ada kemasan berbahan daun, yang masih tetap bertahan. Keberadaan kemasan tradisional ini merupakan suatu fenomena yang patut diperhatikan, sebab ternyata kemasan daun memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh kemasan kertas ataupun plastik.
Kemasan daun ini unik. Tidak jarang jenis makanan tertentu bisa kita bedakan dari yang lain bukan melalui rasa tapi melalui cara mengemas dan bentuk kemasannya. Contohnya, lontong segera bisa dibedakan dari kue nagasari, padahal keduanya memanfaatkan bahan kemasan yang sama yakni daun pisang.
Daun pisang lah yang sering dipakai untuk mengemas. Zat lilin yang melapisinya membuat daun pisang itu dapat menampung hidangan berkuah kental. Daun pisang pun memberi aroma sedap pada masakan jika kita menuangkan makanan panas di atasnya. Cara membuatnya pun praktis, hanya bermodalkan daun pisang serta biting sebagai piranti sematnya. Selain daun pisang, daun jagung , daun kelapa, daun enau , daun jambu air dan daun jati kerap juga dipakai.
Nyantap sego pecel, lotek, ataupun sego gudeg pakai piring pincuk dan sendok suru…, ah, pancen unik! Semoga kemasan daun yang ramah lingkungan itu panjang umur! Gitu deh…
Makan di dapur…, enak tenan!
Andreas Maryoto, menulis di Kompas tanggal 14 Desember 2007, dengan judul “Orang Jawa tidak kenal konsep ruang makan” Dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa kultur agraris memperlihatkan, makan pagi dilaksanakan di sawah atau ladang. Para petani harus sudah keluar dari rumah sebelum matahari menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di rumah. Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) juga menyebutkan hal seperti itu.
Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus. Makan siangpun kadang dilakukan di sawah. Maryoto selanjutnya menyatakan, rumah tanpa ruang makan masih banyak ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan meja makanpun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu mereka makan di sembarang tempat.
Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara. Keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk menjadi pembantu. Para pembantu ini kemudian mengenal berbagai jenis makanan orang Belanda, tata cara makan dan ruang makan. Pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti jadi pejabat, dan kesempatan bersekolah. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga ke soal kebutuhan ruang makan dan juga menu makanan., begitu penjelasan Maryoto selanjutnya….
Tentang keadaan di masa lalu itu, berikut ini ada kisah pengalaman dari seseorang.
Rumah masa kecilku di dusun kecil, belum ada listrik, berdebu saat kemarau dan becek saat musim hujan. Kira-kira 200 meter dari rumahku terbentang sawah menghijau dan kalen (sungai kecil) untuk mengairi sawah. Rumah saya terdiri dari 3 ruangan, ruang depan untuk menerima tamu, ruang kedua untuk tamu keluarga dan bagian belakangnya ada sentong yang biasanya digunakan untuk menyimpan bahan pangan. Tapi karena keadaan, sentong tadi dimanfaatkan menjadi ruang tidur. Ruangan ketiga adalah dapur. Dapurnya besar, seperti konsep orang Jawa, bahwa di dapurlah tempat pertemuan keluarga, karenanya di situ diletakkan juga meja panjang dan kursi, yang digunakan untuk menyiapkan makanan, serta kadang-kadang dipakai juga untuk tempat makan.
Di dapur itulah saya dan adik-adik yang masih kecil biasa menunggu simbok masak. Jika masakan sudah matang maka kami diambilkan langsung dari dandang (tempat memasak nasi), istilahnya di culik. Mengingat saat itu, makan di dapur, rasanya…, enak tenan!
Gitu deh…
.
Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus. Makan siangpun kadang dilakukan di sawah. Maryoto selanjutnya menyatakan, rumah tanpa ruang makan masih banyak ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan meja makanpun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu mereka makan di sembarang tempat.
Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara. Keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk menjadi pembantu. Para pembantu ini kemudian mengenal berbagai jenis makanan orang Belanda, tata cara makan dan ruang makan. Pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti jadi pejabat, dan kesempatan bersekolah. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga ke soal kebutuhan ruang makan dan juga menu makanan., begitu penjelasan Maryoto selanjutnya….
Tentang keadaan di masa lalu itu, berikut ini ada kisah pengalaman dari seseorang.
Rumah masa kecilku di dusun kecil, belum ada listrik, berdebu saat kemarau dan becek saat musim hujan. Kira-kira 200 meter dari rumahku terbentang sawah menghijau dan kalen (sungai kecil) untuk mengairi sawah. Rumah saya terdiri dari 3 ruangan, ruang depan untuk menerima tamu, ruang kedua untuk tamu keluarga dan bagian belakangnya ada sentong yang biasanya digunakan untuk menyimpan bahan pangan. Tapi karena keadaan, sentong tadi dimanfaatkan menjadi ruang tidur. Ruangan ketiga adalah dapur. Dapurnya besar, seperti konsep orang Jawa, bahwa di dapurlah tempat pertemuan keluarga, karenanya di situ diletakkan juga meja panjang dan kursi, yang digunakan untuk menyiapkan makanan, serta kadang-kadang dipakai juga untuk tempat makan.
Di dapur itulah saya dan adik-adik yang masih kecil biasa menunggu simbok masak. Jika masakan sudah matang maka kami diambilkan langsung dari dandang (tempat memasak nasi), istilahnya di culik. Mengingat saat itu, makan di dapur, rasanya…, enak tenan!
Gitu deh…
.
Rumah JOGLO
Berdasarkan sejarah, perkembangan bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikan menjadi 4 macam yaitu rumah tradisional:
bentuk Panggangpe,
bentuk Kampung,
bentuk Limasan
bentuk Joglo.
Dibanding bentuk lainnya, rumah bentuk joglo lebih dikenal masyarakat pada umumnya.
Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Mengapa? Jalarannya rumah joglo butuh bahan lebih banyak dan mahal ketimbang rumah bentuk lain. Masyarakat jawa dulu menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh sembarang orang, oleh orang kebanyakan, tapi hanya diperkenankan bagi kaum bangsawan, raja, dan pangeran, serta mereka yang terhormat dan terpandang. Namun dewasa ini rumah joglo digunakan pula oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan serta perkantoran.
Pada dasarnya rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar, dengan empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Bentuk persegi empat ini dalam perkembangannya mengalami perubahan dengan adanya penambahan-penambahan ruang di sisi bangunannya namun tetap merupakan kesatuan bentuk dari denah persegi empat.
Dari perubahan-perubahan itu muncullah aneka bentuk rumah joglo dengan aneka nama yaitu:
joglo jompongan,
joglo kepuhan lawakan,
joglo ceblokan,
joglo kepuhan limolasan,
joglo sinom apitan,
joglo pengrawit,
joglo kepuhan apitan,
joglo semar tinandu,
joglo lambangsari,
joglo wantah apitan,
joglo hageng, dan
joglo mangkurat.
Gitu deh...
“GALERI ANTIK SERBA JADUL”, apa saja isinya?
Lurs, saya telah merancang semacam “DAFTAR ISI” untuk blog “GALERI ANTIK SERBA JADUL” ini. Dari situ kita bisa melihat betapa sungguh banyak hal yang dapat diketengahkan, diungkapkan dan diceritakan. Kombinasi antara pengetahuan umum akan segala sesuatunya di masa lalu dan sejuta kenangan pribadi tentang masa silam bakal mewarnai isi blog ini.
Informasi tentang kampung halaman, Yogyakarta, tentang bangunan2 bersejarahnya maupun adat budayanya akan tampil di edisi awal, semisal soal: kantor posnya, gereja tuanya, pasar tradisionalnya, stasiun sepurnya, moda angkutan umumnya, pelosok kampungnya, perdagangannya, bahasa gaulnya, jajan pasarnya, kerajinan tangannya, hiburan rakyatnya, kesenian tradisionalnya, piranti dapur, piranti bertaninya, upacara adatnya, cangkriman2nya, aksara jawanya, mistiknya, unggah ungguhnya, cerita rakyatnya, dolanan bocahnya, jamunya, arsitektur tradisionalnya dsb, dst, dll.
Dari topik2 seperti di atas, kita masih bisa menjabarkannya lagi dengan seluas luasnya. Misalnya tentang alat angkut, di sana ada sepeda, becak, dokar, gerobag, kereta api, dsb. Tentang alat dapur, ada dandang, soblok, gentong, alu dll. Alat tani, ada garu, ani2, arit. Di alat hiburan terdapat gamelan, wayang, radio . Piranti pembuat jamu, ada pipisan dsb. Perabot rumah, ada meja, kursi, lemari dll. Piranti dagang, ada timbangan, pikulan, uang. Di bangunan, terdapat pintu, jendela, grendel. Piranti penerangan ada teplok, petromax, oncor, lampu gantung, lampu duduk, lampu rambu2, dst. Dolanan bocah ada dakon. Piranti tulis ada sabak, pulpen. Piranti senang2 ada tempat sirih, pipa cangklong, klobot, mbako tingwe. Barang2 kerajinan ada keris, sulaman, anyaman, gerabah, barang2 kuningan, perhiasan perak, topeng, patung, dll. Piranti penunjuk waktu, ada jam tangan, jam dinding dst. Di bagian busana ada batik, lurik, selop serta aneka perhiasan jaman dulu.
Ini semua tentu akan berguna, untuk nanti ketika kita ingin mengoleksi aneka benda2 jaman dulu (jadul). Paling tidak kita menjadi benar2 tahu alasannya mengapa “sesuatu” itu perlu kita koleksi. Dengan tahu riwayat “kejadiannya”, maka koleksi2 kita itu akan lebih “berbicara”, dan tentu saja menjadi semakin dapat “menyenangkan hati". Bayangkan, bersenang hati sembari melestari...
Setelah edisi kampung halaman ini nanti selesai, kita bisa melangkah ke wilayah yang lebih luas, ke seluruh nusantara dan kemudian jagat raya. Begitulah kira2 cara blog GALERI ANTIK SERBA JADUL ini akan dikelola. Piye Jal?
Selamat menikmati...
Salam, Dimas Anto.
Informasi tentang kampung halaman, Yogyakarta, tentang bangunan2 bersejarahnya maupun adat budayanya akan tampil di edisi awal, semisal soal: kantor posnya, gereja tuanya, pasar tradisionalnya, stasiun sepurnya, moda angkutan umumnya, pelosok kampungnya, perdagangannya, bahasa gaulnya, jajan pasarnya, kerajinan tangannya, hiburan rakyatnya, kesenian tradisionalnya, piranti dapur, piranti bertaninya, upacara adatnya, cangkriman2nya, aksara jawanya, mistiknya, unggah ungguhnya, cerita rakyatnya, dolanan bocahnya, jamunya, arsitektur tradisionalnya dsb, dst, dll.
Dari topik2 seperti di atas, kita masih bisa menjabarkannya lagi dengan seluas luasnya. Misalnya tentang alat angkut, di sana ada sepeda, becak, dokar, gerobag, kereta api, dsb. Tentang alat dapur, ada dandang, soblok, gentong, alu dll. Alat tani, ada garu, ani2, arit. Di alat hiburan terdapat gamelan, wayang, radio . Piranti pembuat jamu, ada pipisan dsb. Perabot rumah, ada meja, kursi, lemari dll. Piranti dagang, ada timbangan, pikulan, uang. Di bangunan, terdapat pintu, jendela, grendel. Piranti penerangan ada teplok, petromax, oncor, lampu gantung, lampu duduk, lampu rambu2, dst. Dolanan bocah ada dakon. Piranti tulis ada sabak, pulpen. Piranti senang2 ada tempat sirih, pipa cangklong, klobot, mbako tingwe. Barang2 kerajinan ada keris, sulaman, anyaman, gerabah, barang2 kuningan, perhiasan perak, topeng, patung, dll. Piranti penunjuk waktu, ada jam tangan, jam dinding dst. Di bagian busana ada batik, lurik, selop serta aneka perhiasan jaman dulu.
Ini semua tentu akan berguna, untuk nanti ketika kita ingin mengoleksi aneka benda2 jaman dulu (jadul). Paling tidak kita menjadi benar2 tahu alasannya mengapa “sesuatu” itu perlu kita koleksi. Dengan tahu riwayat “kejadiannya”, maka koleksi2 kita itu akan lebih “berbicara”, dan tentu saja menjadi semakin dapat “menyenangkan hati". Bayangkan, bersenang hati sembari melestari...
Setelah edisi kampung halaman ini nanti selesai, kita bisa melangkah ke wilayah yang lebih luas, ke seluruh nusantara dan kemudian jagat raya. Begitulah kira2 cara blog GALERI ANTIK SERBA JADUL ini akan dikelola. Piye Jal?
Selamat menikmati...
Salam, Dimas Anto.
Minggu, 01 Februari 2009
“ROEMAH EYANG”, rumah sejuta kenangan.
Salah satu kawasan bangunan rumah yang masih dilestarikan seperti aslinya di dalam kampung bisa dilihat di bilangan Kemetiran Kidul, Jogya, yang dikenal dengan nama Roemah Eyang. Saat kita memasuki kawasan Roemah Eyang, suasana kampung tempo doeloe akan benar-benar mewarnai. Selain karena bentuk bangunannya, maka suasananya pun benar-benar mendukung. Kehidupan kampung benar-benar sangat terasa.
Storinya, Roemah Eyang ini dibangun pada tahun 1907 oleh eyang buyut RM Kromodirdjo, dan kemudian direnovasi pada tahun 1957 oleh eyang R Prodjomartono. Selanjutnya direstorasi seperti bentuk aslinya pada tahun 2005 oleh bu Harno, yaitu ibu saya, dan kemudian difungsikan sebagai rumah tamu.
Roemah Eyang adalah rumah warisan keluarga yang adiluhung, bernuansa rumah tempo doeloe yang berlokasi di dalam kampoeng Kemetiran Kidul, Gedong Tengen Yogyakarta. Interior kamar dan mebelernya didesain selayaknya kamar hotel berbintang agar tidak terkesan angker seperti rumah-rumah kuno lainnya. (Mebel-mebel antik peninggalan eyang terdahulu ditempatkan hanya di ruang-ruang terbuka).
Fungsi Roemah Eyang kini berubah, tidak saja sebagai tempat tinggal bu Harno serta tempat persinggahan putra putri dan cucu-cucunya jika berkunjung ke Jogya, tetapi juga diperuntukkan bagi wisatawan yang ingin menginap sembari bernostalgia dengan pelayanan kekeluargaan. Tamu wisatawan dianggap sebagai tamu keluarga yang bebas melakukan aktivitas selayaknya di rumah eyangnya sendiri dengan sopan santun serta tata krama sebagaimana keluarga Jawa,.
Karena itulah, maka segenap keluarga menamakannya sebagai Roemah Eyang. Artinya, siapa pun yang berada di dalam bangunan tersebut, entah sekadar duduk santai, minum teh sambil ngobrol, atau menginap, maka suasana akan benar-benar jauh dari keramaian kota. Tempat ini memang berawal dari rumah eyang yang tidak lagi ditempati oleh putra-putrinya, namun masih meninggalkan seluruh kenangan manis, kehangatan sebuah keluarga besar. Sehingga, upaya melestarikan bangunan kampung ini, berikut suasana dan aromanya, semata dimaksudkan untuk bisa berbagi rasa, dengan menjadikan Roemah Eyang ini sebagai rumah tinggal yang representatif di tengah kota yang penuh kenangan.
Jadilah sebuah konsep baru rumah tinggal dengan pelayanan kekeluargaan, dan menikmati keramahan khas Jogya. Dengan ornamen yang artistik, serta bentuk dinding serta penempatan jendela yang simetris, maka keberadaan beberapa kursi di emperan dinding terasa benar-benar pas sebagai tempat santai. Bentuk perabotan atau mebelernya menyatu dengan desain bangunannya.
Dengan demikian, sebagai tempat tinggal atau tempat klangenan, Roemah Eyang ini memang bisa membuat kerasan. Posisinya sebagai heritage house menjadikan rumah di tengah kampung ini seperti hidup. Seakan kehidupan kampung zaman dahulu hadir lagi di era moderen sekarang. Gitu deh…
Jadi, kalau dulur berkesempatan ke Jogya, silahkan menginap di hotel "ROEMAH EYANG." Piye Jal?
Storinya, Roemah Eyang ini dibangun pada tahun 1907 oleh eyang buyut RM Kromodirdjo, dan kemudian direnovasi pada tahun 1957 oleh eyang R Prodjomartono. Selanjutnya direstorasi seperti bentuk aslinya pada tahun 2005 oleh bu Harno, yaitu ibu saya, dan kemudian difungsikan sebagai rumah tamu.
Roemah Eyang adalah rumah warisan keluarga yang adiluhung, bernuansa rumah tempo doeloe yang berlokasi di dalam kampoeng Kemetiran Kidul, Gedong Tengen Yogyakarta. Interior kamar dan mebelernya didesain selayaknya kamar hotel berbintang agar tidak terkesan angker seperti rumah-rumah kuno lainnya. (Mebel-mebel antik peninggalan eyang terdahulu ditempatkan hanya di ruang-ruang terbuka).
Fungsi Roemah Eyang kini berubah, tidak saja sebagai tempat tinggal bu Harno serta tempat persinggahan putra putri dan cucu-cucunya jika berkunjung ke Jogya, tetapi juga diperuntukkan bagi wisatawan yang ingin menginap sembari bernostalgia dengan pelayanan kekeluargaan. Tamu wisatawan dianggap sebagai tamu keluarga yang bebas melakukan aktivitas selayaknya di rumah eyangnya sendiri dengan sopan santun serta tata krama sebagaimana keluarga Jawa,.
Karena itulah, maka segenap keluarga menamakannya sebagai Roemah Eyang. Artinya, siapa pun yang berada di dalam bangunan tersebut, entah sekadar duduk santai, minum teh sambil ngobrol, atau menginap, maka suasana akan benar-benar jauh dari keramaian kota. Tempat ini memang berawal dari rumah eyang yang tidak lagi ditempati oleh putra-putrinya, namun masih meninggalkan seluruh kenangan manis, kehangatan sebuah keluarga besar. Sehingga, upaya melestarikan bangunan kampung ini, berikut suasana dan aromanya, semata dimaksudkan untuk bisa berbagi rasa, dengan menjadikan Roemah Eyang ini sebagai rumah tinggal yang representatif di tengah kota yang penuh kenangan.
Jadilah sebuah konsep baru rumah tinggal dengan pelayanan kekeluargaan, dan menikmati keramahan khas Jogya. Dengan ornamen yang artistik, serta bentuk dinding serta penempatan jendela yang simetris, maka keberadaan beberapa kursi di emperan dinding terasa benar-benar pas sebagai tempat santai. Bentuk perabotan atau mebelernya menyatu dengan desain bangunannya.
Dengan demikian, sebagai tempat tinggal atau tempat klangenan, Roemah Eyang ini memang bisa membuat kerasan. Posisinya sebagai heritage house menjadikan rumah di tengah kampung ini seperti hidup. Seakan kehidupan kampung zaman dahulu hadir lagi di era moderen sekarang. Gitu deh…
Jadi, kalau dulur berkesempatan ke Jogya, silahkan menginap di hotel "ROEMAH EYANG." Piye Jal?
JOGYA, JOGYES..., titik nol koma nol
Jogya, Jogja, Yogya, Yogja dan Jogyes. Ah…, banyak nian nama alias untuk menyebut kota antik, kota sejuta kenangan itu. Dan memang, pancen en sungguh saya punya, tidak hanya satu atau dua, tapi ada sejuta kenangan di kota itu karena …, “ku dibesarkan oleh ibuku (dan bapakku), dikampung halamanku”. Yes, Jogya is kampung halaman!
Di sana, sebagai pusat kota adalah kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, pada tahun 1756. Dan kata Ngayogyakarta itu berasal dari kata ng-ayu-agyo-karto (ayu : beautiful, noble, agyo from ageyo : built, karto : prosperous), it has a meaning that the country was built with a noble wish to bring prosperity. Begitulah ujar salah satu sumber. Nama Ngayogyakarta tak lagi sering disebut. Orang lebih suka menyebutnya Yogyakarta, Yogya, Jogya delele.
Di seputar kraton Jogya terdapat aneka bangunan kuno yang hingga kini masih bertahan semisal: Kantor Pos di utara kraton. Gedung Agung, ada sedikit lebih ke utara lagi, lalu Pasar Beringharjo di sisi jalan Malioboro, stasiun Tugu dsb. Nah, dulu saya tinggal tak jauh dari stasiun kereta api itu, kira2 ditengah antara stasiun dan pasar Beringharjo, dekat dengan jalan Malioboro, yakni di kampung Kemetiran Kidul, kecamatan Gedong Tengen.
Rute jalan dari Kemetiran Kidul, Dagen, Malioboro, Pasar Beringharjo, Gedung Agung dan Kantor Pos, ulang alik, biasa saya lalui (saya jalan kakiin), karena dulu saya bersekolah menuntut ilmu di SD dan SMP Bruderan (Pangudi Luhur) Kidul Loji yang terletak persis di belakang gedung Kantor Pos, di angka kilometer kisaran 0,2 km.
Lha kalau Bruderan itu di km 0,2 lantas titik kilometer nol di mana? “Titik nol” kilometer itu adanya ditengah tengah prapatan jalan depan Kantor Pos! Gitu deh, ee..., gitu lho.
Label:
Jalanan,
Kampung Halaman,
Pos Telegram Telepon
Langganan:
Postingan (Atom)