Lokasi Pengoenjoeng Blog

Senin, 02 Februari 2009

Makan di dapur…, enak tenan!

Andreas Maryoto, menulis di Kompas tanggal 14 Desember 2007, dengan judul “Orang Jawa tidak kenal konsep ruang makan” Dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa kultur agraris memperlihatkan, makan pagi dilaksanakan di sawah atau ladang. Para petani harus sudah keluar dari rumah sebelum matahari menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di rumah. Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) juga menyebutkan hal seperti itu.

Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus. Makan siangpun kadang dilakukan di sawah. Maryoto selanjutnya menyatakan, rumah tanpa ruang makan masih banyak ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan meja makanpun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu mereka makan di sembarang tempat.

Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara. Keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk menjadi pembantu. Para pembantu ini kemudian mengenal berbagai jenis makanan orang Belanda, tata cara makan dan ruang makan. Pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti jadi pejabat, dan kesempatan bersekolah. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga ke soal kebutuhan ruang makan dan juga menu makanan., begitu penjelasan Maryoto selanjutnya….

Tentang keadaan di masa lalu itu, berikut ini ada kisah pengalaman dari seseorang.
Rumah masa kecilku di dusun kecil, belum ada listrik, berdebu saat kemarau dan becek saat musim hujan. Kira-kira 200 meter dari rumahku terbentang sawah menghijau dan kalen (sungai kecil) untuk mengairi sawah. Rumah saya terdiri dari 3 ruangan, ruang depan untuk menerima tamu, ruang kedua untuk tamu keluarga dan bagian belakangnya ada sentong yang biasanya digunakan untuk menyimpan bahan pangan. Tapi karena keadaan, sentong tadi dimanfaatkan menjadi ruang tidur. Ruangan ketiga adalah dapur. Dapurnya besar, seperti konsep orang Jawa, bahwa di dapurlah tempat pertemuan keluarga, karenanya di situ diletakkan juga meja panjang dan kursi, yang digunakan untuk menyiapkan makanan, serta kadang-kadang dipakai juga untuk tempat makan.

Di dapur itulah saya dan adik-adik yang masih kecil biasa menunggu simbok masak. Jika masakan sudah matang maka kami diambilkan langsung dari dandang (tempat memasak nasi), istilahnya di culik. Mengingat saat itu, makan di dapur, rasanya…, enak tenan!

Gitu deh…
.

1 komentar:

  1. emang maknyus tenan,,,,,,,,po meneh nyulik sego sko kendil,,,,,

    BalasHapus