Lokasi Pengoenjoeng Blog

Rabu, 24 Juni 2009

ADU JAGO..., JAGO BANGKOK




Ayam Bangkok amat terkenal di kalangan pehobi ayam petarung di Indonesia. Ayam yang berasal dari Thailand itu diakui punya kualitas yang bagus sebagai jagoan di arena. Jadi, jangan heran bila di pasaran ada banyak ayam bangkok yang dijual. Soal kualitas pun beragam, dari yang bermutu impor sampai hasil silangan lokal. Lantas bagaimana cara memilihnya?

Menurut Iwan Tanjung, peternak kawakan, ciri-ciri umum ayam bangkok dapat dilihat dari batok kepala dan tulang alis yang tebal, kepala berbentuk buah pinang, bulu mengkilap dan kaku, kaki bersisik kasar, saat berdiri sikap badannya tegak, mata masuk ke dalam, pukulan keras dan akurat serta pandai memukul bagian vital lawan.

Iwan juga mengingatkan untuk berhati-hati waktu memilih ayam bangkok yang akan dijadikan jagoan. Jangan sampai Anda merasa kecewa lantaran ayam yang ditawarkan tak sesuai dengan harapan. Sebab saat ini ayam bangkok yang beredar di pasaran cukup banyak jenisnya. Ada yang beneran impor, anakan impor, dan ada pula yang lokal.

“Kualitas ayam bangkok impor biasanya 80% lebih unggul dibanding lokal. Itu bisa dilihat dari gaya bertarung, daya tahan tubuh, maupun kekuatan pukulannya,” jelas Iwan yang sudah hobi menyabung ayam sejak dari tanah kelahirannya, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Faktor-faktor krusial yang amat berpengaruh pada mutu ayam bangkok impor: kualitas bibit (genetik), perawatan yang tepat sejak usia dini, dan pemberian vitamin secara teratur.

Dr. Nisit Tangtrakarnpong dalam tulisannya pada Bangkok Post edisi Maret 2001 menyebutkan kriteria dan sosok ayam bangkok yang ideal untuk dijadikan ayam petarung. Ayam ini harus punya fisik yang kuat, mental bertanding yang baik dan berasal dari keturunan juara. Salah satu keturunan ayam bangkok berkualitas di Thailand berasal dari Kerajaan Ayutthaya. Raja Naresuan yang memerintah kerajaan itu punya kegemaran mengadu ayam.

“Seekor ayam aduan bisa mulai diadu jika umurnya sudah delapan bulan. Atau paling nggak sudah dapat latihan tarung sebanyak 2 sampai 3 kali dengan ayam yang sudah berpengalaman,” sebut Iwan, peternak kelahiran 15 November 1961. Tiap kali latihan dibutuhkan waktu bertahap dari 1 x 10-15 menit sampai 2 x 45 menit. Sebetulnya umur terbaik sebagai ayam petarung adalah 1,5 tahun atau setelah ayam mengalami rontok bulu pertama (mabung).

Sejarah Ayam Bangkok
Ayam bangkok pertama kali dikenal di Cina pada 1400 SM. Ayam jenis ini selalu dikaitkan dengan kegiatan sabung ayam (adu ayam). Lama-kelamaan kegiatan sabung ayam makin meluas pada pencarian bibit-bibit petarung yang andal. Pada masa itu, bangsa Cina berhasil mengawinsilangkan ayam kampung mereka dengan beragam jenis ayam jago dari India, Vietnam, Myanmar, Thailand dan Laos. Para pencari bibit itu berusaha mendapat ayam yang sanggup meng-KO lawan cuma dengan satu kali tendangan.

Menurut catatan, sekitar seabad lalu, orang-orang Thailand berhasil menemukan jagoan baru yang disebut king’s chicken. Ayam ini punya gerakan cepat, pukulan yang mematikan dan saat bertarung otaknya jalan. Para penyabung ayam dari Cina menyebut ayam ini: leung hang qhao. Kalau di negeri sendiri, ia dikenal sebagai ayam bangkok. Asal tahu saja, jagoan baru itu sukses menumbangkan hampir semua ayam domestik di Cina. Inilah yang mendorong orang-orang di Cina menjelajahi hutan hanya untuk mencari ayam asli yang akan disilangkan dengan ayam bangkok tadi. Harapannya, ayam silangan ini sanggup menumbangkan keperkasaan jago dari Thailand itu.

Konon, pada era enam puluhan di Laos nongol sebuah strain baru ayam aduan yang sanggup menyaingi kedigdayaan ayam bangkok. Namun setelah terjadi kawin silang yang terus-menerus maka nyaris tak diketahui lagi perbedaan antara ayam aduan dari Laos dengan ayam bangkok dari Thailand.

Di Thailand dan Laos, ada beberapa nama penyabung patut dicatat, seperti Vaj Kub, Xiong Cha Is dan kolonel Ly Xab. Pada 1975, ayam bangkok milik Vaj Kub sempat merajai Nampang, arena adu ayam yang cukup bergengsi di negeri PM Thaksin Sinawatra itu. Ayam yang bernama Bay itu merupakan salah satu hasil tangan dingin Vaj Kub dalam melatih dan mencari bibit ayam aduan yang handal.

Kedigdayaan ayam-ayam hasil ternakan Vaj Kub berhasil disaingi rekan sejawatnya dari kota Socra, Malaysia. Mereka dari negeri jiran itu mampu menelurkan parent stock atau indukan unggul. Hanya saja, pada generasi berikutn ya, Mr. Thao Chai dari Thailand berhasil menumbangkan dominasi peternak dari Malaysia. Mr. Thao memberi nama jagoan baru itu, Diamond atau Van Phet.

Menurut Iwan, Thailand memang tak perlu diragukan lagi sebagai negara penghasil ayam bangkok unggul. Malahan sektor ini sudah diakui sebagai penambah devisa negeri gajah putih tersebut. Dari Thailand bisnis ayam aduan ini tak hanya merambah kawasan Asia Tenggara saja, namun meluas ke Meksiko, Inggris dan Amerika Serikat.

Ada kebiasaan yang berbeda antara sabung ayam di Thailand dan negara kita. Di Thailand, ayam yang bertarung tak diperbolehkan memakai taji atau jalu. Alhasil, ayam yang diadu itu jarang ada yang sampai mati. Kebalikannya di Indonesia, ayam aduan itu justru dibekali taji yang tajam. Taji justru menjadi senjata pembunuh lawan di arena.

Di Indonesia, hobi mengadu ayam sudah lama dikenal, kira-kira sejak dari zaman Kerajaan Majapahit. Kita juga mengenal beberapa cerita rakyat yang melegenda soal adu ayam ini, seperti cerita Ciung Wanara, Kamandaka dan Cindelaras. Cerita rakyat itu berkaitan erat dengan kisah sejarah dan petuah yang disampaikan secara turun-temurun.

Kota Tuban, Jawa Timur diyakini sebagai kota yang berperan dalam perkembangan ayam aduan. Di sini, ayam bangkok pertama kali diperkenalkan di negara kita. Tak ada keterangan yang bisa menyebutkan perihal siapa yang pertama kali mengintroduksi ayam bangkok dari Thailand.

Sebetulnya, jenis ayam aduan dari dalam negeri (lokal) tak kalah beragam, seperti ayam wareng (Madura) dan ayam kinantan (Sumatra). Namun ayam-ayam itu belum mampu untuk menyaingi kedigdayaan ayam bangkok.

Gitu deh…

(Sumber: SH/bayu dwi mardana)

Kamis, 18 Juni 2009

BISNIS ROKOK TINGWE..., KAGAK ADA MATINYE


Orang Jawa umumnya tahu istilah “tingwe”. Kependekan dari linting dewe. Maksudnya melinting sendiri. Ini untuk menggambarkan kegiatan para perokok yang melinting sendiri tembakau untuk kemudian diisap. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu tatkala rokok kemasan seperti jaman sekarang belum jadi industri.

Sejak beberapa tahun belakangan, tembakau untuk keperluan tingwe ini mulai marak dijajakan di berbagai kota di Jawa. Penggemarnya bukan saja kalangan orang-orang tua, tapi juga anak-anak muda. Yang dicari agaknya adalah sensasi meramu sendiri tembakau itu. Plus keasyikan melintingnya menjadi bentuk yang benar-benar personalized, sesuai dengan keinginan si individu. Ditambah lagi sebagai semacam nostalgia ke masa lalu.

Dan kini di Jakarta warung atau kedai yang menjajakan tembakau “tingwe” pun dapat ditemukan. Salah satunya adalah “KEDAI TEMBAKAU TINGWE ANEKA RASA” yang saya garap sendiri sejak beberapa tahun lalu, Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa menjual produk: “Mbako Tingwe” , yaitu Tembakau Rokok Aneka Rasa, Alat Linting, Kertas Rokok, Filter, serta Aneka Asesoris seperti Dompet Rokok, Pipa Rokok Berfilter, Korek Api dsb.

Yang unik dari Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa ini adalah tema kampanye pemasarannya. Kita tidak memilih mereklamekan sensasi melinting sendiri itu sebagai yang utama, melainkan harganya yang murah meriahlah yang kita tonjolkan. Mengapa begitu? Ya, mengingat sekarang ini jaman prihatin. Harga-harga naik, daya beli menurun. Keuangan keluarga harus dihemat. Sementara kebutuhan merokok tidak mungkin distop. Nah, tingwe bisa jadi solusinya. Bisa hemat sampai 60%.

Ini bukan bohong lho. Bayangkanlah. Harga rokok tingwe yang kita tawarkan berkisar dari Rp 13 ribu per 60 batang hingga Rp. 15 ribu per 60 batang atau rata-rata Rp 200 per batang hingga Rp 250 per batang. Bandingkan dengan harga standar rokok kemasan yang umumnya sudah dua kali atau bahkan tiga kali lebih mahal.

Mungkin ada yang bertanya. Ini kan rokok lintingan sendiri. Kok hitungannya per batang?
Memang. Produk Mbako Tingwe yang dijual di Kedai Tembakau Tingwe kita dipaket sedemikian rupa sehingga dalam satu paket, konsumen sudah mendapatkan alat linting, kertas rokok atau papir, filter, lem dan tembakau. Kalau belum bisa melinting sendiri, kita akan mengajarkannya. Kalau belum bisa juga, kita sediakan juga rokok yang sudah “jadi”.

Ada aneka rasa tembakau yang kita jual. Aneka rasa itu tidak berbeda jauh dengan rokok-rokok merek populer. Sebab, produk-produk Mbako Tingwe, tembakau rokok aneka rasa ini memang dihasilkan oleh produsen rokok dan peracik berpengalaman dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kertas rokoknya sendiri nyaris persis dengan rokok-rokok kemasan populer, baik yang kretek maupun non kretek. Jadi jangan heran apabila nama-nama produk Mbako Tingwe ini bermiripan juga dengan merek rokok ternama. Misalnya ada yang kita namai Margono (plesetan dari Marlboro), Samsuri dan Samsul (plesetan dari Dji Sam Soe), Mail (plesetan dari Mild), Supri, Gafur, dan sebagainya. Produk kita bagi menjadi dua kelas, yakni B, dengan harga rata-rata Rp 13.000,- per 60 batang dan kelas A dengan rata-rata Rp 15 ribu per 60 batang. Sedangkan untuk tembakau rokok isi ulang – maksudnya tanpa alat linting – harganya Rp 8.000,- dan Rp 10.000,- per 60 batang.

ONGKOS DIPANGKAS
Menurut data, dari tahun ke tahun permintaan rokok di Indonesia terus meningkat. Tahun 1985, permintaan rokok baru 100 miliar batang. Pada tahun 2005 sudah menjadi 220 miliar batang. Dan perokok pemula di Indonesia tumbuh paling pesat sedunia yakni 44% usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Bisnis rokok pun meraksasa. Tetapi harganya pun turut naik seiring dengan makin banyaknya beban yang ditanggung produsennya; mulai dari biaya iklan, merek, distribusi, hingga cukai.

Dengan demikian, rokok tingwe jadi alternative karena menjanjikan penghematan besar. Dari sisi konsumen, harganya jelas jauh lebih murah, sementara rasa dan modelnya tak jauh berbeda dengan rokok kemasan. Dari sudut produsen, tembakau untuk tingwe ini bisa hadir dengan harga miring karena aneka biaya sudah dipangkas. Mulai dari ongkos linting, biaya overhead pabrik, biaya kemasan, biaya iklan, biaya distribusi, biaya administrasi, biaya umum dan lain-lain. Perjalanan tembakaupun dipersingkat. Setelah tembakau diracik dan dikenakan cukai, tembakau tidak dilinting, dikemas dan diedarkan oleh pabrik rokok, tapi langsung dihadirkan ke konsumen untuk dilinting sendiri antara lain melalui Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa.

Lagi pula, membuat rokok tingwe itu sangat gampang. Modalnya tembakau, papir, filter, lem dan alat linting. Dengan berlatih beberapa kali, hasilnya tidak kalah dengan lintingan pabrik. Sementara rasa dan modelnya bisa diatur sesuai selera, malah bisa pakai filter juga.

Kedai tembakau yang kita kembangkan berupa warung atau kedai tempat kongkow-kongkow. Ada tersedia tempat duduk dan meja, plus aneka asesori yang berhubungan dengan rokok. Misalnya, di Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa dijual juga dompet rokok, pipa rokok berfilter dan lain-lain. Selama ini omzetnya lumayan. Penjualan yang terutama memang dari Tingwe, tetapi penjualan asesoris juga cukup signifikan.

Ayo silahkan mampir ke Kedai Tembakau Tingwe Aneka Rasa. Nikmati hematnya, nikmati sensasi merokok tingwe. Alamatnya di: Jalan Raya Tengah, seberang Gang Antariksa, Kampung Gedong, Pasarrebo, Jakarta Timur. Telpon: Dimas Anto 021 8411717.

Gitu deh…

Rabu, 17 Juni 2009

KIPAS KERTAS, KIPAS JADUL

Kipas2 cari angin, itu ungkapan atau kalimat jadul. Sekarang mah…, kalau kepengin ngadem, orang cukup mencet tombol on pada mesin kipas angin, dan hadirlah semilir sang angin. Tak perlu lagi tangan ini repot2 megang kipas dan mengipas ngipas.

Ya, kipas kertas sekarang sudah jarang terlihat. Kalaupun ada itu sekedar sebagai souvenir perkawinan. Padahal dulu kipas kertas itu lumayan populer lho. Sampai2 dibuat tariannya…, tari kipas.

Dan tentang kipas kertas ini ada cerita yang menarik dari blog tetangga (sori, lupa namanya), soal seorang ibu pembeli yang komplain ke penjual kipas karena kualitas kipasnya jelek, gampang sobek.

Ibu Pembeli:
"Kipas kertas yang saya beli kemarin dari toko bapak kok kualitasnya jelek. Mosok baru sekali pakai sudah sobek!"

Penjual:
"Oo.., itu bukan kipasnya yang jelek, tapi pasti cara pakainya yang keliru."

Ibu Pembeli:
"Keliru gimana? Makai kipas itu khan biasa saja tho?. Kalo gerah, ya kipasnya digerakkan ke kiri dan ke kanan. Gitu tho?"

Penjual:
"Woo…, disitulah kesalahan Ibu. Supaya awet dan tidak rusak, mestinya kipasnya diam saja, dipegangi saja, lalu kepala Ibu yang digelengkan ke kiri dan ke kanan. Dijamin deh kipas akan awet."

“Wong edan….” gerutu si Ibu sambil ngeloyor pergi.

Selasa, 16 Juni 2009

Payung Kertas, Payung Jadul

Giliran hujan saja kita orang pada ribut nyari payung. Lha tadi saat terang cuaca, ngapa kagak sedia?

Katanya, dari berbagai sumber, payung alias umbrella berasal dari bahasa latin "umbra", yang berarti bayangan. Ditemukan sejak 4 ribu tahun lalu. Mulanya payung kuno itu didesain khusus untuk melindungi pemakai dari terik siang hari. Namun kemudian bangsa China membuat payung berfungsi juga sebagai pelindung terhadap hujan. Mereka menggunakan lilin dan lak sebagai pelapis kertas agar payung itu waterproof, anti air.

Di abad ke 16, payung menjadi populer terutama di Barat, di negara-negara Eropa Utara yang memang kerap sekali turun hujan. Pada mulanya payung hanya dianggap sebagai aksesoris kaum wanita. Lalu seorang petualang dan penulis Persia, Jonas Hanway (1712-86), mulai sering membawa payung sono kemari di depan publik, sehingga akhirnya payung dipakai juga oleh pria. Para pria di Inggris menyebut payung itu sebagai "teman jalan."

Toko payung pertama di Inggris namanya toko "James Smith and Sons". Toko tersebut berdiri sejak tahun 1830, dan lokasinya masih sama hingga saat ini yaitu di 53 New Oxford St., London, Inggris.

Awalnya, payung di Eropa dibuat dari kayu atau tulang ikan paus dan ditutup kain kanvas yang diberi minyak. Kemudian diberi sentuhan seni dengan gambar warna warni dan gagang yang melengkung terbuat dari kayu keras, macam kayu ebony dll.

Pada tahun 1852, Samuel Fox menemukan rangka besi guna menyangga kain payung. Selanjutnya desain teknik payung lebih terfokus pada cara bagaimana menutup atau melipat payung itu agar lebih praktis saat di bawa.

Gitu deh...

LAGU2 JAZZ JADUL

All Of Me, All The Things You Are, As Time Goes By, Autumn Leaves, Blue Moon, Caravan, Day's Of Wine And Roses, Desafinado, Emily, FallIng In Love, Fly Me To The Moon, Georgia, Girl From Ipanema, How Insensitive, I Love You, I'm In The Mood For Love, In A Sentimental Mood, Love Letters, Lullaby Of Birdland, Meditation, Memories Of You, Misty, Mood Indigo, Moonglow, Moon River, My Funny Valentine, Night In Tunisia, A Night Train, One Note Samba, Over The Rainbow, Perdido, Quiet Nights Of Quiet Stars /Corcovado/, Satin Doll, Secret Love, Shadow Of Your Smile, Smoke Gets In Your Eyes, Someone To Watch Over Me, Star Dust, Stella By Starlight, Summertime, Sunny, Take Five, Tea For Two, Take The A Train, These Foolish Things, Wave, When I Fall In Love, Yesterdays, You Are My Sunshine, You're My Everything

Senin, 15 Juni 2009

AT Mahmud dan Lagu Anak2

PELANGI pELanGi Alangkah Indahmu


Merah Kuning Hijau Di Langit Yang Biru


Inilah sepenggal syair lagu anak2 jaman dulu berjudul Pelangi buah karya AT Mahmud. Di masanya dulu, lagu ini sangat populer. Namun keadaan berubah. Kini, tak sedikit ibu-ibu muda yang resah karena anak-anaknya lebih suka lagu-lagu asmara anak muda ketimbang lagu-lagu anak-anak. Program televisi populer macam IDOLA CILIK menampilkan anak-anak dalam gaya orang dewasa.

Kecil-kecil kok sudah pacaran? Kecil-kecil kok putus cinta? Anak-anak sekarang fasih menyanyikan: "Ingin kubunuh pacarmu...."

Yah, sudah banyak kritik, masukan, kecaman, tapi penyelenggara program "anak-anak" di televisi tutup mata. Yang penting, bagi pengusaha televisi, adalah iklan banyak, uang masuk. Urusan pendidikan anak-anak, pembinaan generasi muda... nomor 47.

Kita, masyarakat biasa, mau bilang apa? "Agamanya" pengusaha televisi memang iklan, rating, dan uang! Dan itu pasti tidak akan pernah ketemu dengan idealisme pendidikan atau urusan character building seperti yang kerap dipidatokan Bung Karno.

Di tengah situasi industri televisi, yang kurang punya misi pendidikan anak, saya terharu menyaksikan profil Bapak AT Mahmud di TVRI, Selasa pagi, 9 Juni 2009. Pak Mahmud ini berkacamata, kumis tebal, rambut memutih, pita suaranya sudah kendor. Sudah sulit membidik nada-nada secara tepat.

Abdullah Totong Mahmud lebih dikenal dengan AT Mahmud. Pada 1970-an dan 1980-an Pak Mahmud sangat akrab dengan anak-anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. TVRI, satu-satunya televisi masa itu, hanya bisa ditangkap dengan pesawat televisi hitam putih.

Anak-anak duduk ramai-ramai di depan TV milik tetangga atau TV umum di balai desa untuk menyaksikan "barang mewah" itu. Di pelosok Flores, kami harus jalan kaki atau naik sepeda onthel sejauh 25 kilometer agar bisa melihat TV hitam putih milik Baba Tionghoa di kota kecil. Sampai sekarang pun desa-desa terpencil di Flores belum bisa dijangkau televisi, kecuali pakai parabola. Hehehe...

Nah, Pak AT Mahmud ini sangat terkenal karena acaranya LAGU PILIHANKU sangat pas dengan jiwa anak-anak. Tampilan acara sangat sederhana. Polos, tidak pakai kemasan yang mewah, ala IDOLA CILIK dan sejenisnya. Juga tak pakai komentator-komentator yang sok pintar itu. Pak AT Mahmud hanya dibantu istrinya, Ibu Mulyani, sebagai pembawa acara.

Lantas, anak-anak TK di Jakarta [tentu sudah dilatih] membawakan lagu anak-anak ciptaan AT Mahmud. Ada cerita singkat tentang latar belakang lagu, proses penulisan, semua dalam bahasa anak-anak. Notasi angka dan balok diperkenalkan. Jadilah melodi dan syair yang enak.

Suasananya mirip pelajaran seni suara di kampung-kampung Flores. Bapak/Ibu Guru mula-mula menulis notasi angka di papan tulis yang hitam, pakai kapur tulis cap "Sarjana" [harapannya agar anak-anak SD di kampung kelak jadi sarjana]. Guru membuat ketukan dengan tongkat. Memperkenalkan solmisasi. Anak-anak membunyikan not sampai benar. Lantas, dibawakan syairnya.

Pak AT Mahmud, seperti disampaikan di TVRI, menulis sekira 500 lagu anak-anak. Lagu paling populer tentulah PELANGI. Siapa sih yang tidak tahu lagu abadi itu? Di era digital ini pun, saya kira, orang tua Indonesia yang paling modern sekalipun pernah mengajarkan buah hatinya lagu pendek nan indah ini.

"Pelangi, pelangi, alangkah indahmu.
Merah kuning hijau di langit yang biru.
Pelukismu agung, siapa gerangan
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan".

AT Mahmud mengatakan, semua lagu ciptaannya terinspirasi oleh putri tercintanya, Rika Vitriani. Rika kecil melihat pelangi nan indah di langit selepas hujan. "Pak, apa itu?" tanya si kecil.

AT Mahmud kemudian menemukan nada dan syair yang indah. Lain waktu Rika diajak keluar rumah ketika bulan purnama. Rika nyeletuk, "Pak, ambilkan bulan itu!" Lantas, tercipta lagu AMBILKAN BULAN.

Luar biasa, justru dari pengalaman kanak-kanak yang lugu, apa adanya, jujur, biasa-biasa saja, lahir ratusan komposisi nyanyian untuk anak-anak Indonesia. Pak Mahmud mengaku sangat berbahagia karena karya-karyanya telah menemani sekian juta anak Indonesia dalam proses tumbuh kembangnya. Pak Mahmud ini tipe pendidik sejati.

Beliau benar-benar pahlawan anak-anak. Terima kasih, Pak AT Mahmud!

Oleh: Lambertus L. Hurek

Gitu deh…

Sabtu, 13 Juni 2009

Pass away alias…, nggeblak

Ada istilah “nggeblak” atau geblak, yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai tradisi slametan yang diadakan persis di saat seseorang meninggal. Menurut saya istilah nggeblak itu terkesan kasar, tidak sehalus istilah seda, atau tilar donya misalnya. Tentang hal itu, papi Rayhard di majalah elektronik Papyrus berkomentar.

Memang waktu saya kecil saya mendengar istilah mengenai hari saat orang meninggal sebagai "dina geblake si Anu". Mungkinkah di masa lalu kebanyakan orang meninggal dunia dari posisi berdiri, dan jatuh kegeblak? Bagaimanapun mereka itu tidak mati karena dijegal, tetapi istilah geblak atau jatuh tersungkur memang merupakan metafora yang baik untuk menyatakan akhir hidup seseorang.

Di jaman ketika orang "lebih halus" perasaannya, tentu saja ada eufemisme, penghalusan kata kasar, maka tilar, seda, kembali ke rumah Bapa dipakai. Di Barat pun ada istilah "pass away", "go", "decease". Sementara kata-kata seperti "drop dead", "kick the bucket", "bite the dust" dikhususkan untuk penggunaan kasar.

Gitu deh…

Priyayi..., wis jan

Seorang pegawai negeri, pejabat pemerintahan dan sebangsanya di Jawa pada jaman dulu disebut priyayi. Derajat priyayi dianggap lebih tinggi ketimbang bakul alias pedagang.

Maka tak heran kalau para orang tua (jaman dulu) menginginkan anaknya untuk sekolah tinggi dan jadi pegawai negeri. Ada harapan, selain ntar bakalan terpandang, bakal jadi priyayi, seorang pegawai negeri pasti bisa deh jadi..., kaya raya. Bagaimana logikanya, orang tidak lagi mempersoalkan....

Khalayak juga menganggap lumrah saja kalau ada pejabat ini, atau pejabat itu, yang pegawai negeri, memiliki vila ini, vila itu, atau punya bukit ini dan bukit itu. Dipandang lumrah kalau ada pejabat punya lima rumah mewah dan lima mobil mewah plus lima motor gede. Masyarakat malah heran kalau ada pejabat tapi kok tidak punya apa2...

Betul, hingga kini di masyarakat yang disebut sukses itu adalah punya pangkat, jabatan dan kaya. Sehingga kalau seseorang ingin jadi polisi, jaksa, hakim, bankir, bupati, atau menteri, sebetulnya tidaklah selalu untuk memenuhi idealismenya sejak kecil, yakni ingin berbakti dengan tulus ikhlas kepada nusa dan bangsa, tetapi lebih banyak sebagai sarana untuk mencari "sukses", mencari "kaya" dalam pengertian diatas.

Wis jan...

Kamis, 11 Juni 2009

“PIKULAN”…, EKSOTISME JADUL



Baru sekarang ini saja para pedagang makanan, bubur, bakso, tongseng, soto, rujak, wedang ronde, sate dsb. menjajakan dagangannya keliling kampung dengan menggunakan gerobak dorong. Dulu mah kagak begitu. Dulu "kitchen going around" alias "dapur keliling" itu tidak didorong melainkan digotong kesono kemari dengan dipikul. Ya, sebelum muncul gerobak beroda untuk mengangkut barang2, termasuk mengangkut jajanan/makanan, orang di Jawa lebih mengenal pikulan.

Dan konon pikulan itu berasal dari kata dalam bahasa China.., pikul. Pikul pada mulanya digunakan sebagai ukuran berat, satu pikul lebih kurang setara dengan 60 kilogram, gitu. Dalam perkembangannya pikulan yang semula hanya untuk mengukur berat itu kemudian menjadi alat untuk membawa atau mengangkut berbagai jenis barang.

Ujud pikulan untuk mengangkut dagangan makanan biasanya berupa dua buah kotak berukuran besar atau kecil yang terbuat dari kayu dan dihubungkan dengan bambu yang melengkung. Satu kotak biasanya berisi anglo atau kompor yang digunakan untuk memanaskan makanan. Satu kotak lainnya berisi bahanbaku makanan, piring, dan juga peralatan masak lain.

Si pedagang akan memikul pikulan itu dibahunya. Ditaruhnya batang bambu itu di bahu pas di bagian tengahnya sehingga seimbang saat dibawa berjalan. Di pertigaan atau perempatan jalan kampung, atau di gardu, atau juga di gerbang desa dimana banyak orang lewat ataupun berkumpul, dia biasanya akan berhenti menanti pembeli.

Dagangan ditawarkan selain dengan teriakannya yang khas, te sateee, misalnya, juga bisa dengan cara memukul sesuatu, misalnya mangkok, bambu kecil atau kentongan kecil dengan irama ketukan yang khas, teng teng teeeeng atau tik tak tik tok tok tok tok…, sehingga kita para calon pembeli tanpa melihatpun sudah tahu pasti makanan apa sih yang sedang dijajakannya. Wis jan, unik sekali…

Eksotisme jadul, eksotisme "dapur keliling" alias berdagang makanan dengan menggunakan pikulan kini sudah makin jarang ditemukan karena dianggap kurang praktis. Sehingga sangat mungkin pikulan ini tak lama lagi bakal menjadi barang antik.

Gitu deh…

Rabu, 03 Juni 2009

PEDAGANG KAKI LIMA

Kaki lima menurut Kamus Bahasa Indonesia, terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, antara lain adalah : serambi muka (emper) toko di pinggir jalan, atau biasa juga kita sebut trotoar.

Trotoar atau sisi jalan itu memiliki lebar “standar” yaitu 5 feet atau lima kaki (setara dengan 1,5 meter). Dan dulu jaman Belanda di Indonesia memiliki aturan dalam membangun jalan, hendaknya disediakan tempat buat pejalan kaki, alias trotoar itu.

Nah istilah 5 feet atau "lima kaki" ini lah yang kemudian “dibaca” sebagai kaki lima dalam bahasa Indonesia. Jadi yang disebut pedagang kaki lima (street vendor) atau disingkat PKL, adalah pedagang yang menjajakan barang dagangannya di trotoar atau di kaki lima. Tidak peduli apakah pedagangnya menggunakan gerobak beroda, meja, atau hanya menggelar alas plastik.

Saat ini di mana mana pedagang kali lima nampak tumbuh menjamur. Dan menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) itu bukanlah sesuatu yang membanggakan lho, namun menjadi pertanda melemahnya perekonomian negara. Keberadaan mereka sesungguhnya adalah simbol kegetiran!

Dan untuk mengatur para PKL itu juga tidak mudah. Kalau tidak diatur para PKL akan berbuat seenak udelnya sendiri. Menggelar dagangannya tidak lagi hanya di trotoar tapi bahkan menjorok hingga memakan sebagian badan jalan, merampas hak para pengguna jalan. Tapi kalau ditertibkan mereka pasti akan teriak, cari makan kok dipersulit.

Ya…, hari gini cari makan kok masih sulit.

Piye Jal?

Ngamen? Hmm... Ngemis? Hmm... Miskin? Hmm...

Lha gimana, tiap berhenti di lampu merah pasti ada yang ngamen. Padahal konsep ngamen itu sendiri udah salah kaprah. Boro2 nyanyi... Banyak yang cuma dateng deketin jendela, trus icik icik icik pake tutup botol n berharap dikasih duit. Dikira kita ini topeng monyet seneng di icik icik gitu? Hihihihi...

Bukannya gak peduli or kasihan...tapi yang bener aja... Selain mengganggu, kan bahaya juga tuh. Aku pernah lihat ada truck, mungkin yang nyetir ngantuk, pas berhenti di perempatan truck nya nyasar nyusruk ke trotoar! Untungnya si pengamen kung fu nya hebat n dengan sigap menghindar...eit...ciat...hup...hup...haiyaaa.... Well, memang sih si pengamen selamat, but it could have been a fatal accident. Coba si pengamen lagi nengok ke arah lain dikiit aja pasti gak lihat kalau ada truck nyasar n bisa game over kan???

Katanya fakir miskin n anak2 terlantar dipelihara oleh negara? Manaa? Lagian banyak dari mereka yang gak bener2 miskin, n ngemis sebagai "karir"

Bukti neh!
Coba lihat tuh di pertigaan KFC Gelael (eh masih ada enggak sih Gelael nya? Pokoknya disitu deh tempatnya!). Di pertigaan itu tuh...rameeeeee banget!! Aku hitung ya, sekitar ada 8 orang, ada yang tua, ada yang anak2, n ada yang remaja...pokoknya komplit deh kaya sekampung pada pindah gitu. Believe it or not...sumpah!! Aku pernah lihat salah satu dari ibu2 yang ngemis itu (mungkin dia organizer nya?) pegang HP n lagi SMS an!! Jadi ngemis buat beli pulsa gitu kali??? Kalau miskin beneran kayaknya gak mungkin banget!!!

====

Itulah tulisan adik kita di blog tetangga (sori, lupa namanya), tentang pengemis, atau lebih tepatnya tentang ‘mental ngemis”, tepatnya lagi “sakit mental ngemis” yang mendera masyarakat hingga kini. Kapan ya ngemis jadi barang jadul di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini?

Selasa, 02 Juni 2009

Feodalisme …, harus enyah

Masyarakat Indonesia kini masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat, Orang kaya dan penguasa mendapat fasilitas lebih, sementara yang miskin dan lemah tidak mendapat apapun.

Dan meskipun ada pernyataan tegas bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum, namun pernyataan itu tidak pernah menjadi kenyatan. Slogan kesetaraan di hadapan hukum itu…, gombal.

Turunan priyayi ataupun “darah biru” masih merasa lebih tinggi statusnya ketimbang orang lain. Pejabat masih merasa juga sebagai “raja jalanan”, sehingga ketika dia akan lewat, warga biasa harus mengalah. Ini sekedar contoh kecil dari masih adanya kultur feodalisme.

Feodalisme ekonomi juga masih terjadi. Uang bisa membuat seseorang mendapatkan keistimewaan. Hak asasi seseorang hanya bisa terpenuhi manakala dia memiliki daya beli tinggi. Sementara orang yang tidak punya uang, dinilai tidak layak mendapatkan hak2 dasar.

Jika masyarakat Indonesia masih hidup di alam feodalisme seperti itu, bisa dipastikan cita2 menegakkan demokrasi tidak akan pernah terwujud. Oleh karenanya agar demokrasi, agar kesetaraan dimata hukum bagi seluruh warga negara dapat menjadi kenyataan, feodalisme dalam segala bentuknya harus dimusnahkan, harus dienyahkan.

Ya, feodalisme harus dienyahkan karena dialah sesungguhnya biang kerok perilaku diskriminasi, penindasan dan korupsi, yang selama ini marak terjadi dan yang merupakan musuh besar demokrasi.

Ah, ngomong sih gampang. Tapi cara memusnahkan feodalisme yang seharusnya sudah jadul itu bagaimana?

Piye Jal?

Senin, 01 Juni 2009

BEGINI INI..., Enak Tenan


Lihatlah mereka, eyang2 kita itu. Hari2 selalu disongsong dengan sarapan yang kelihatannya ..., enak tenaaaannn. Pengin deh kita...

KAWRUH BEGJA..., Panutup


PANUTUP

Kados makaten raos-raosing tiyang sawetahipun. Raos-raos, ingkang dipun terangaken wonten ing ngriki, punika namung ingkang pokok-pokok. Dene paedahipun namung kangge pancadan nyinau raos-raosipun piyambak ingkang princen-princen.

Ingkang ngaling-alingi kangge nyumerepi raos-raosipun piyambak princen-princen punika gegayuhan sawetah. Wujudipun gegayuhan sawetah punika pados bungah sajege, kados ingkang dipun terangaken wonten ing buku punika. Yen dipun tliti tlesih, gegayuhan sawetah punika sirna, tegesipun tiyang lajeng kraos "Gegayuhan iki dudu aku."

Yen gegayuhan sawetah sampun kasumerepan, tiyang lajeng sumerep raos-raosipun piyambak princen-princen. Jebul lelampahanipun raos-raos punika miturut aturan alam. Yen sumerep aturan alam wau, tiyang lajeng tumindak miturut aturan alam wau lan raosipun beja.

Gitu deh...

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Nyawang Karep, Wiji Weruh, Beja

Nyawang Karep

Tiyang punika sami, langgeng. Raosipun gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah, punika sami, langgeng. Yen mangertos, yen tiyang punika raosipun gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah, sami langgeng, tiyang lajeng luwar saking naraka meri, pambegan, getun, sumelang, ingkang murugaken dhateng tiyang lajeng prihatin, cilaka, lan lajeng manjing swarga tentrem, tatag, ingkang murugaken dhateng tiyang seneng, beja.

Yen sampun gadhah raos seneng, beja kados makaten, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak, yen kaleres gadhah karep punapa-punapa. Mangka saben karep mesthi ajrih yen boten kalampahan. Inggih karep punika wau lajeng dipun tuturi, "Lo, karep kuwi nek kalakon, ya ora beja ora apa, ya mung bungah sadhela, mengko ya banjur susah maneh. Lan kuwi nek ora kalakon, ya ora cilaka ora apa, ya mung susah sadhela, mengko ya banjur bungah maneh."

Mila karep punika lajeng dipun tantang: "Wis, karep, kowe ngaya-ayaa golek bungah sajege - nek bisa, lan nyeri-nyeria nampik susah sajege - nek bisa, wis kowe ora nguwatiri." Yen tiyang sampun saged nuturi karepipun piyambak kados makaten, lajeng sirna raos prihatin. Yen sampun sirna raos prihatin, lajeng thukul ingkang tukang nyawang karepipun piyambak, ingkang tukang ngertos karepipun piyambak.


Wiji Weruh

Ingkang tukang nyawang karepipun piyambak punika raos aku, raos ana. Tiyang punika rak kraos aku, lan tiyang kok boten kraos aku, punika boten saged. Saben kraos aku punika mesthi kraos ana; lan kraos aku, kok kraos ora ana, punika boten saged.

Ingkang tukang nyawang punika langgeng, jalaran punika barang asal. Barang asal punika boten wonten asalipun ingkang dipun damel, nanging malah dados asal. Inggih punika asaling raos aku bungah, aku susah.

Ingkang tukang nyawang punika langgeng nyawang karepipun piyambak, ingkang wategipun langgeng gek mulur, gek mungkret, gek mulur, gek mungkret lan raosipun langgeng gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Raosing langgeng nyawang karepipun piyambak punika langgeng seneng, langgeng beja. Nalika ingkang tukang nyawang dereng thukul, tiyang punika kraos "aku karep, aku bungah, aku susah."

Nalika ingkang tukang nyawang dereng thukul, punika taksih dados wiji weruh, inggih punika ingkang meruhi samobah mosiking manungsa lan dereng thukul raos seneng, raos beja. Wujudipun ingkang tukang nyawang, nalika dereng thukul lan taksih dados wiji weruh. Upami tiyang kebelet ngising, punika nglebeting tiyang rak wonten ingkang weruh, ingkang ngertos: "Lo, iki kebelet ngising ki katara yakyakan golek kakus ki."

Ingkang ngertos yen kebelet ngising punika rak boten tumut kebelet ngising boten punapa, nanging namung ngertos yen kebelet ngising. Inggih punika ingkang tukang nyawang nalika dereng thukul lan taksih dados wiji weruh. Wujudipun ingkang langkung terang, nalika ingkang tukang nyawang dereng thukul lan taksih dados wiji weruh.

Upami tiyang nedha lombok lan kraos kepedhesen, punika nglebeting tiyang rak wonten ingkang weruh, ingkang ngertos: "Lo, iki kepedhesen ki, katara megap-megap golek ngombe ki." Ingkang ngertos yen kepedhesen punika rak boten tumut kepedhesen boten punapa, nanging namung ngertos yen kepedhesen. Inggih punika ingkang tukang nyawang, nalika dereng thukul lan taksih dados wiji weruh.

Wujudipun ingkang langkung caket sanget, nalika ingkang tukang nyawang dereng thukul lan taksih dados wiji weruh. Upami tiyang kawirangan punika nglebeting tiyang rak wonten ingkang weruh, ingkang ngertos: "Lo, iki kawirangan ki katara nyrengingis lan ora wani metu saka ngomeh ki." Ingkang ngertos yen kawirangan punika rak boten tumut kawirangan boten punapa, nanging namung ngertos yen kawirangan, lan inggih punika ingkang tukang nyawang, nalika dereng thukul lan taksih dados wiji weruh.

Nalika ingkang tukang nyawang dereng thukul lan taksih dados wiji weruh, tiyang punika kraos: "Karep ki aku, jing bungah aku, jing susah aku, jing kawirangan aku, jing kepedhesen aku, jing kebelet ngising aku." Yen tukang ingkang nyawang sampun thukul, lajeng raos prihatin sirna lan tiyang lajeng kraos: "Karep ki dudu aku." Yen sampun kraos: "Karep ki dudu aku," tiyang inggih lajeng kraos: "Jing bungah dudu aku, jing susah dudu aku," lan kados makaten inggih lajeng kraos: "Jing kawirangan dudu aku, jing kepedhesen dudu aku, jing kebelet ngising dudu aku."


Beja

Mila tiyang lajeng kraos: "Aku nyawang karep, aku seneng, aku beja." Yen sampun gadhah raos "aku nyawang karep, aku seneng, aku beja" kados makaten tiyang lajeng nyawang karepipun piyambak, lelampahanipun piyambak punika kraos "kuwi dudu aku," sami kaliyan nyawang jagat saisinipun lan lelampahan sadaya, tiyang inggih kraos "kuwi dudu aku". Aku punika raosipun beja, tur beja langgeng.

Mila tiyang wonten ing pundi mawon, inggih beja, lan benjing punapa mawon, inggih beja lan kados punapa mawon, inggih beja. Inggih punika kawruh ingkang murugaken beja.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Tatag

Tatag

Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag, tegesipun "apa-apa ya wani". Dados tiyang sugih, tatag; lan dados tiyang mlarat, tatag; dados ratu, tatag; lan dados kuli, tatag; dados wali, lan dados bajingan, tatag; jalaran ngertos, yen sadaya-sadaya punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Yen luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag, tiyang lajeng padhang paningalipun lan lajeng mangertos, yen sadaya lelampahan punika boten wonten ingkang nguwatosi, nanging inggih boten wonten ingkang menginaken.

Pokokipun ingkang nguwatosi punika susah, mangka tiyang mesthi kuwawi. Sampun dipun lampahi ping pinten-pinten ewu susah, tiyang inggih kuwawi yektos. Sanget-sangeting susah punika wirang sanget, sakit sanget.

Mangka yen namung wirang sanget, sakit sanget mawon, tiyang mesthi kuwawi. Dene yen sambatipun, inggih boten kuwawi. Upami kawirangan, tiyang punika sambatipun: "Nek kawirangan san ji ki, jan ora kuwat tenan aku, lan nek kawirangan jing wis-wis kae, wis ora tak rasakake, ning nek san ji ki, jan nggares tenan." Yen luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag, tiyang lajeng saged meleh-melehaken dhateng awakipun piyambak ingkang damelipun goroh, kados makaten: "Endi kawirangan jing kowe ora kuwat, la kuwi, lagi dilakoni, ya kawirangan banget tenan, ya nyrengingis tenan, ya nganti ora wani metu saka ngomah tenan, endi kawirangan jing kowe ora kuwat?"

Kados makaten yen sakit, tiyang punika sambatipun: "Nek lara kenek san ji ki, jan ora kuwat tenan aku lan nek lara seje-sejene kae, wis ora tak rasakake, ning nek kenek san ji ki, jan satengah mati tenan." Yen luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag, tiyang lajeng saged meleh-melehaken dhateng awakipun piyambak ingkang damelipun gerah, kados makaten: "Endi lara jing kowe ora kuwat, la kuwi lagi dilakoni, ya lara banget tenan, ya bengok-bengek tenan, endi lara jing kowe ora kuwat? Mangka banget-bangete lara ki ming mati, mangka nek ming mati we ya mesthi kuwat, lan dilakoni wong pirang-pirang ewu padha mati, lan ya mati tenan, lan nek aku mati, ya mati kaya jing padha mati kae."

Lajeng thukul raos sugih, jalaran sadaya lelampahan punika dipun lampahi tiyang mesthi kuwawi lan mesthi cekap. Yen kawirangan, angger sampun nyrengingis inggih sampun cekap lan sampun dipun lampahi kaping pinten-pinten ewu nyrengingis, inggih nyrengingis yektos, lan inggih cekap yektos lan inggih mesthi lajeng thukul raos sugih. Yen namung ngedalaken crengingis, kaping sawidak sadinten mawon, tiyang inggih taksih sugih lan yen sakit, angger sampun bengok-bengok, inggih sampun cekap, lan yen pejah, angger sampun kendel mawon, inggih sampun cekap. Pokokipun ingkang menginaken punika bingah. Mangka bingah punika mesthi kalampahan. Wonten pundi mawon, benjing punapa mawon, kados pundi mawon, inggih mesthi kalampahan bingah.

Upami kasusahan, griyanipun kobong telas-telasan. Mangke namung wonten kathokipun boten katut kobong mawon: "Wah tujune kathokku ora katut kobong," inggih sampun bingah. Upami kasusahan, sukunipun keplithes motor "klethes" lan lajeng tugel lan mangke yen emut: "Wah tujune endhasku ora katut keplithes, inggih sampun bingah."

Yen sirahipun keplithes "klethes" lan lajeng pejah: "Wah tujune bojoku ora katut keplithes." Yen mangertos, yen sadaya lelampahan punika boten wonten ingkang nguwatosi, nanging inggih boten wonten ingkang menginaken, tiyang lajeng padhang paningalipun, tiyang lajeng luwar saking barang salumahing bumi lan sakurebing langit. Jalaran tiyang mangertos, yen barang salumahing bumi lan sakurebing langit punika boten saged munasika dhateng tiyang, tegesipun boten saged murugaken beja lan boten saged murugaken cilaka, boten saged murugaken bungah lan boten saged murugaken susah.

La tiyang ingkang murugaken bungah punika karep kalampahan, lan dede barangipun ingkang dipun karepaken ingkang murugaken bungah. La tiyang ingkang murugaken susah punika karep boten kalampahan lan dede barangipun ingkang dipun karepaken ingkang murugaken susah.

Contonipun yen barang-barang punika boten murugaken bungah lan boten murugaken susah. Upami jawah punika murugaken bungah. Teneh saben jawah tiyang mesthi bungah, mangka yektosipun boten. Tiyang mbarang kethoprak, yen jawah, mesthi susah. Upami jawah punika murugaken susah. Teneh saben jawah, tiyang mesthi susah, mangka yektosipun boten. Tiyang tani, yen kaleres mangsa tanem, yen jawah mesthi bungah.

Contonipun ingkang langkung terang malih yen barang-barang punika boten murugaken bungah lan boten murugaken susah. Upami gadhah bojo lan gadhah anak punika murugaken bungah. Teneh saben tiyang gadhah bojo lan gadhah anak punika ajeg bungah, mangka yektosipun boten. Yen kaleres paben kaliyan bojonipun lan rewel anakipun, tiyang mesthi susah. Upami gadhah bojo lan gadhah anak punika murugaken susah. Teneh saben tiyang gadhah bojo lan gadhah anak punika ajegan susah, mangka yektosipun boten. Yen kaleres pasihan kaliyan bojonipun lan ngudang anakipun, tiyang mesthi bungah.

La, dados barang-barang kok murugaken bungah, kok murugaken susah, punika rak terang yen boten. Mila salumahing bumi sakurebing langit punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Getun - Sumelang

Getun - Sumelang

Getun punika ajrih dhateng lelampahan ingkang sampun kalampahan. Sumelang punika ajrih dhateng lelampahan ingkang dereng kalampahan. Getun lan sumelang punika ingkang murugaken dhateng tiyang ngenes, prihatin, la cilaka.

Getun punika raosipun "mbok biyen-biyen ngenea, aku wis beja kaya ngana lan ora cilaka kaya ngene." Getun punika ajrih dhateng lelampahan ingkang sampun kalampahan, ajrih anggenipun murugaken dhawah cilaka, susah sajege. Kalairaning getun punika ajrih anggenipun dhawah mlarat, papa, sekeng.

Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak yen kaleres getun, kados makaten: "Sanajan biyen-biyen kapriye-kapriye, rasane ya mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah," lan lajeng sirna getun kados makaten wau. Getun punika ngambra-ambra, ajrih dhateng ingkang aneh-aneh, ajrih kuwalat, ajrih duraka, raosipun: "Aku biyen ajaa kuwalat karo kae, duraka nggonku ngene, wis beja kaya kana lan ora cilaka kaya kene." Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak yen kaleres getun, kados makaten: "Sanajan biyen-biyen kuwalat utawa ora kuwalat, duraka utawa ora duraka, rasane ya mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah," lan lajeng sirna getun kados makaten wau.

Getun punika saya ngambra-ambra ajrih dhateng ingkang saya aneh, saya aneh, ajrih anggenipun gesang kesasar, raosipun: "Aku biyen ajaa dadi anake si bapak karo simbok kuwi, wis beja kaya kana lan ora cilaka kaya kene." Yen mangertos, bilih tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak yen kaleres getun, kados makaten, "Sanajan biyen-biyen dadi anake bapak simbok kuwi utawa ora dadi anake bapak simbok kuwi, rasane ya mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah," lan lajeng sirna getun kados makaten wau.

Getun, ajrih anggenipun gesang kesasar, princen-princenipun ngantos ajrih dene kesasar gadhah bojo si anu lan gadhah anak si anu, raosipun. "Aku biyen ajaa kesasar duwe bojo si konok onggrok kuwi, duwe anak si konok onggrok kuwi, wis beja kaya kana lan ora cilaka kaya kene." Yen mangertos, bilih tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak yen kaleres getun, kados makaten: "Sanajan biyen-biyen duwe bojo si konok onggrok utawa ora duwe bojo si konok onggrok, duwe anak si konok onggrok utawa ora duwe anak si konok onggrok, rasane ya mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah," lan lajeng sirna getun kados makaten wau. Kados makaten ugi sumelang.

Sumelang punika raosipun: "Gek mbesuk-mbesuk kapriye, nek aku ora beja kaya kana, nek lestari cilaka kaya kene. Sumelang punika ajrih dhateng lelampahan ingkang dereng kalampahan, ajrih yen dhawah cilaka, susah sajege. Kalairaning sumelang punika ajrih, yen dhawah mlarat, papa, sekeng.

Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak, yen kaleres sumelang kados makaten: "Sanajan mbesuk-mbesuk kapriye-kapriye, sanajan bumi tangkep karo langit, rasane ya mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah," lan lajeng sirna sumelang kados makatan wau. Sumelang punika ngambra-ambra ajrih dhateng ingkang aneh-aneh, ajrih kuwalat ajrih duraka. Lo rak ajrih ingkang aneh-aneh, la tiyang kuwalat utawi duraka punika punapa mawon boten mangertos, kok ajrih.

Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak, tur ngeteger mawon: "Ayah, gene kok ana, wong kok nganggo kuwalat-kuwelet priye, duraka-duraka apa. Kuwalat, ya mesthi gek bungah, gek susah, lan duraka, ya mesthi gek bungah, gek susah. Jare-jarene kuwalat ki endhase neng ngisor lan sikile neng ndhuwur. Ya wis, malah kaya apa rasane, dene jing genah we, wis dirasakake pirang-pirang puluh taun, endhase neng ndhuwur lan sikile neng ngisor, ya ora kapenak. Apa nek padu karo tanggane kae kapenak? Apa nek padu karo bojone kapenak? Galo kae, endhase neng ndhuwur lan sikile neng ngisor," lan lajeng sirna sumelang kados makaten wau.

Sumelang punika saya ngambra-ambra, ajrih dhateng ingkang saya aneh, saya aneh, ajrih yen pejah kesasar. Lo, rak ajrih ingkang saya aneh, saya aneh, wonten tiyang pejah kok mawi kesasar punapa. Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak, tur ngeteger mawon: "Ayah, gene kok ana, wong mati kok nganggo kesasar-kesasar nyang endi? Lan nek nganggo kesasar, ya kesasar nyang urip, lan ya wis dilakoni urip kethap-kethip kaya kene iki. La nek ana wong mati kesasar, teneh ya ana wong urip kesasar, gene dhek arep urip, ya ora nganggo takon-takon, lan ora nganggo sesangu lan ya banjur urip 'bedhengus' lan kabeneran irunge tiba ing ndhuwur cangkem, lan kupinge tiba ngiringan lan endhase neng ndhuwur lan sikile neng ngisor, lan ya metu dalan sing bener lan ora kesasar metu saka ing ngendi-endi," lan lajeng sirna sumelang kados makaten wau.

Sumelang, ajrih yen pejah kesasar, princen-princenipun ngantos ajrih yen pejah kesasar nitis dados celeng. Lo, rak saya aneh, saya aneh, ingkang boten-boten, wonten tiyang pejah kok mawi kesasar nitis dados celeng punapa. Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak, tur ngeteger mawon: "Ayah, gene kok ana wong mati kok nganggo nitis dadi celeng barang. Ya wis, malahane kaya apa rasane, gene jing genah we, wis dirasakake dadi wong pirang-pirang puluh taun, ya ora kapenak. Apa nek golek utangan lan ora oleh kae kapenak? Apa nek ditagih utang lan ora bisa nyaur kae kapenak? Galo kae dadi wong. Malahane kaya apa rasane nek dadi celeng. Mengko rak ya ming enggrag-enggrog ndhedhes tela. Tur jing genah we ora wedi dipocot pagaweyane. Nanging nek neng nggrumbul we rada wedi." Lan lajeng sirna sumelang kados makaten wau.

Getun lan sumelang punika gadhah panginten, gadhah pamanggih, yen saged bungah sajege utawi susah sajege. Tiyang lajeng ngaya-aya pados bungah sajege utawi nyeri-nyeri nampik susah sajege. Inggih punika ingkang murugaken dhateng tiyang lajeng gugon tuhon, la cilaka.

Gugon tuhon punika nyambet-nyambetaken sebab lan kedadosan ingkang boten sambet. Contonipun upami tiyang bakulan sebel boten pepajengan, lajeng dipun sambet-sambetaken: "Iki sababe rak aku dhek malem Jumuwah ora kutug kae katara sebel ora pepayon ki." Lo, la tiyang kutug kok dipun sambetaken kaliyan sebel boten pepajengan, rak terang yen boten sambet, nanging yen gugon tuhon inggih dipun sambet-sambetaken kados makaten.

Contonipun ingkang langkung terang malih. Upami lare nembe dolan lan lajeng sakit lan mecicil-mecicil lan lajeng dipun sambet-sambetaken: "Iki rak dijegal jing mbaureksa prapatan katara mecicil-mecicil ki." Lo, lare mecicil-mecicil kok dipun sambetaken kaliyan ingkang mbaureksa prapatan, rak terang yen boten sambet.

La tiyang dhateng ingkang mbaureksa prapatan mawon dereng sumerep. Ingkang mbaureksa punika punapa, inggih boten sumerep, suku kalih punapa suku sakawan, nigan punapa nusoni, inggih boten sumerep, kok dipun wastani saged njegal. Nanging yen gugon-tuhon, tiyang inggih nyambet-nyambetaken kados makaten.

Contonipun gugon tuhon ingkang radi mratah. Nalika redi Merapi njeblug, lajeng dipun sambet-sambetaken: "Iki rak Kanjeng Ratu Kidul duka, arep mantu lan golek bekakak ora oleh-oleh, katara gunung Merapi dijeblugake, blag, blug, blag, blug, ki". Lo la tiyang redi Merapi njeblug, kok dipun sambetaken kaliyan Kanjeng Ratu Kidul, rak terang yen boten sambet.

La tiyang dhateng Kanjeng Ratu Kidul mawon dereng sumerep. Kanjeng Ratu Kidul punika punapa, inggih boten sumerep. Malah kenthang-kimpulipun mawon boten ngertos, lan kanjeng ratu kidul punapa godhog utawi goreng, inggih boten ngertos, kok dipun wastani yen saged duka, nanging yen gugon tuhon, tiyang inggih nyambet-nyambetaken kados makaten.

Wateging gugon tuhon punika murugaken dhateng tiyang lajeng nglampahi ingkang aneh-aneh lan nyirik ingkang aneh-aneh. Kadosta nglampahi dalu-dalu kungkum sajam, tur kawan dasa dalu. Lo, rak nglampahi ingkang aneh-aneh.

Nalika badhe nglampahi, tiyang gadhah pamanggih: "Nek aku angger bengi kungkum nganti sajam, nganggo muni-muni ngene, ndremimil ngene, tur patang puluh bengi, aku bakal katrima, bungah sajege." Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng padhang paningalipun lan lajeng sumerep angsal-angsalipun tiyang dalu-dalu kungkum. Angsal-angsalipun asrep, nggebibir.

Tuwas bojonipun asrep lan kethap-kethip boten saged-saged tilem, jalaran ngentosi lan dipun sengiti mara sepuhipun. Sinten-sintena, yen gadhah mantu damelipun kungkam-kungkum, kungkam-kungkum, rak mesthi gregetan sanget. La tiyang anggenipun pados mantu punika supados ngopeni anakipun, kok anakipun dipun tilar kungkam-kungkum, kungkam-kungkum.

Nyirik ingkang aneh-aneh kadosta nyirik nedha, nyirik tilem. Lo, rak nyirik ingkang aneh-aneh, ingkang boten-boten. La tiyang luwe punika ecanipun yen nedha, lan tiyang ngantuk punika sakecanipun yen tilem, kok dipun sirik.

Tur tiyang lajeng nggresah, ungelipun boten nate sakeca, la tiyang ingkang sakeca-sakeca dipun sirik. Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng padhang paningalipun lan lajeng sumerep angsal-angsalipun nyirik nedha lan nyirik tilem. Angsal-angsalipun luwe lan ngantuk.

Tur punika yen pandaka. Mangke nyirik saweg angsal sapeken mawon, yen kalimpe, lajeng mak gleler. Tur lajeng tutuh-tutuhan: "La wong wis diwanti-wanti kaya kana, lagi nglakoni lan digolekake katrima, la kok njur gelem. La dadi batal kabeh lan saiki arep miwiti maneh wis wegah.

Nyirik ingkang aneh-aneh punika ngantos keplantrang-plantrang nyirik bojonipun piyambak. Lo, rak keplantrang-plantrang nyirik kok bojonipun piyambak. La punapa ingkang nyirik lan ingkang dipun sirik punika sakeca?

Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng padhang paningalipun lan lajeng sumerep angsal-angsalipun nyirik bojonipun piyambak. Angsal-angsalipun betah melek. Kados makaten wateging gugon-tuhon anggenipun nglampahi ingkang aneh-aneh lan nyirik ingkang aneh-aneh, jalaran gadhah pamanggih, saged bungah sajege utawi saged susah sajege.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Raos Langgeng

Raos Langgeng

Karep punika wategipun gek mulur, gek mungkret, gek mulur, gek mungkret, raosipun gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Mangka karep punika langgeng. Langgeng punika tegesipun biyen wis ana, saiki ana, besuk ya ana wae.

Nalika wonten wetenganing biyung, sampun wonten karep lair, sanajan boten rumaos, kados dene bayi nangis gadhah karep nusu. Nalika taksih dados rah inggih sampun wonten karep thukul, nukulaken saranduning badan, sirah, gembung, tangan, suku punapa punika. Nalika dereng wonten wetengan, taksih wonten bapa biyung, nalika bapa biyung anthuk-anthukan sami remen, inggih punika kareping manusa ingkang badhe lair.

Kados makaten sampun boten wonten wiwitanipun, lan nalika bumi langit dereng wonten, karep sampun wonten. Kados makaten ugi wekasanipun inggih boten wonten, lan benjing yen manusa punika pejah, lan raga punika risak, bosok, karep inggih taksih wonten, lan benjing yen bumi langit punika sampun boten wonten, karep inggih taksih wonten. Dados karep punika tanpa wiwitan lan tanpa wekasan.

Mila, karep punika langgeng, jalaran karep punika barang asai. Barang asal, boten wonten asalipun ingkang dipun damel, nanging maIah dados asal, punika mesthi langgeng. Karep punika asaling gesang, bebakaling gesang, ingkang murugaken gesang, mila karep punika langgeng.

Kados dene asaling sadaya barang dumadi punika inggih langgeng. Barang dumadi punika rokok, rek, cangkir, piring, griya, jagat, lintang, rembulan, srengenge lan sapanunggilanipun. Upami asaling rokok punika inggih langgeng, boten saged ewah, boten suda lan boten wewah.

Mangke yen rokok punika dipun besem, inggih namung dados awu lan asaling rokok inggih taksih, boten suda lan boten wewah lan sapunikanipun dados awu. Mangke yen awu punika dipun geceg, inggih namung dados gecegan awu lan asaling rokok inggih taksih, boten suda lan boten wewah lan samangkenipun dados gecegan awu. Mangke sanajan gecegan awu punika dipun bucala dhateng njawining jagat, inggih namung wonten njawining jagat lan asaling rokok inggih taksih, boten suda lan boten wewah lan samangkenipun wonten njawen jagat.

Kados makaten karep dipun gecega mawi kesusahan, mawi kewirangan, kados punapa mawon inggih boten saged ewah lan wateg-wategipun inggih boten saged ewah, jalaran barang langgeng punika wateg-wategipun inggih mesthi langgeng. Karep punika wategipun gek mulur, gek mungkret, gek mulur, gek mungkret, lan raosipun gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Mangka tiyang punika raosipun inggih gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah.

Dados karep punika tiyang. Mila tiyang punika langgeng gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng luwar saking naraka getun sumelang.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Tentrem

Tentrem

Yen mangertos, yen raosing gesang tiyang sajagat punika sami mawon, tiyang lajeng luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem, tegesipun, apa-apa sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacakupe, samesthine, sabenere. Tiyang lajeng saged ngraosaken raosing gesang ingkang sayektos, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Jalaran nalika kabrongot meri pambegan tiyang punika boten saged ngraosaken raosing gesang ingkang sayektos.

Contonipun upami nedha, sanajan saben dinten damelipun nedha, tiyang boten saged ngraosaken raosing nedha, lan saben nedha, ingkang dipun raosaken namung tedhanipun, tangga-tangganipun, lan awakipun piyambak nggresah: "Nek si anu, si anu, si anu kae ya kapenak-kapenak wae, la wong pangane ki ajeg, sadina-sadinane mesthi ping telu, sapiring-sapiring, tur lawuhe ki enak-enakan lan solan-salin gek endhog, gek iwak, gek endhog, gek iwak, la nek awake dhewe ki ya cilokak-cilekek wae, la wong pangane ki ora ajeg, lan lawuhe ki mari mati mung uyah, sambel, uyah, sambel, lan dhuwur-dhuwure ki mung tempe, lan yen kapengin iwak pitik ki mung keduman mbubuti, mbetheti, mbubuti, mbetheti." Yen sampun luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak: "Lo, iki priye ta ana wong mangan kok gemeder, le mangan ki enak apa ora, nek enak ya dibacutake, nek ora ya ora dibacutake," lan lajeng padhang paningalipun sumerep dhateng gegayuhanipun tiyang nedha, lan gegayuhaning nedha punika eca lan tuwuk, mangka pados eca lan tuwuk punika gampil sanget, jalaran saben luwe, nedha sabarang, ingkang limrahipun dipun tedha tiyang, mesthi eca, lan saben kathah, mesthi tuwuk. Dados bau suku punika tirah-tirah kangge pados tedha ingkang eca lan ingkang tuwuk.

Mila raosing gesang ingkang sayektos, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah, wonten nggen nedha punika mesthi gek eca, gek boten eca, gek eca, gek boten eca, lan gek tuwuk, gek luwe, gek tuwuk, gek luwe. Nanging yen kabrongot meri pambegan, tiyang inggih boten perduli eca lan boten perduli tuwuk, nanging namung pathok pados ngungkuli. Yen badhe ngertos meri pambeganipun piyambak utawi ungkulipun piyambak wonten nggen nedha, ingkang cetha yen kaleres sesarengan kaliyan tiyang kathah wonten ing wande-wande punapa punika.

Mangke nembe dhateng "dhog" mawon, awakipun piyambak lajeng aba: "godhog". Mangke saweg dipun ulungaken mawon, awakipun piyambak lajeng aba malih: "goreng", endi lomboke jing "akeh". Mangke yen sesarenganipun nyepeng tigan awakipun piyambak lajeng nyepeng dhadha menthok "ceg" lan yen tanganipun tengen sampun nyepeng, tanganipun kiwa lajeng nyepeng "ceg". Mangke yen meksa taksih rumaos kungkulan, awakipun piyambak kaken manahipun lan lajeng sukunipun dipun tumpangaken meja "slengkreng", tur lajeng singsot nanging boten mungel.

Saking petenging paningal kabrongot meri pambegan, sanajan anak putunipun sampun rendhel, tiyang boten saged ngraosaken raosing gadhah bojo. Saben kapanggih bojonipun, ingkang dipun raosaken bojonipun tangga-tangganipun lan awakipun piyambak nggresah: "Nek si anu, si anu, si anu kae ya kapenak-kapenak wae, la wong bojone demenakake, gemati, manut, nek awake dhewe ki ya cilokak-cilekek wae, la wong bojone rewel, thik-thik muring, thik-thik muring." Yen sampun luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak: "Lo, iki priye ta, ana wong duwe bojo kok gumeder, le duwe bojo ki penak apa ora, nek penak ya dibacutake, nek ora penak ya ora dibacutake," lan lajeng padhang paningalipun, lan lajeng sumerep, yen tiyang gadhah bojo punika nikmat.

Yen badhe mangertos nikmatipun tiyang gadhah bojo, yen dalu-dalu lan asrep-asrep, saya gek jawah-jawah, ungsel-ungselan kaliyan bojonipun inggih lajeng anget, lan yen kaken boyokipun inggih lajeng lemes, lan tilemipun inggih lajeng nglegeses, lan enjing-enjingipun inggih lajeng bingar, lan nyambut damel inggih lajeng sigrak. Lo, tiyang gadhah bojo punika rak nikmat. Cobi yen boten gadhah bojo, rak boten nikmat kados makaten, yen dalu-dalu, asrep-asrep saya gek jawah-jawah, yen asrep inggih asrep yektos, yen ngungsel-ungsel, inggih ngungsel-ungsel galar, lan yen kaken boyokipun, inggih lestantun kaken, lan yen mapan tilem kethap-kethip, awit jam sanga dumugi jam tiga dereng saged tilem, jalaran ngraosaken bojonipun tangga-tangganipun. Mila wateging dhudha, randha, jaka, prawan, sami betah melek, nganging yen kabrongot meri pambegan. Yen boten, inggih boten, inggih namung dhang-dhong mawon.

Dados raosing gesang ingkang sayektos, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah, wonten nggen gadhah bojo, punika mesthi gek nikmat, gek boten nikmat, gek nikmat, gek boten nikmat. Yen luwar saking naraka meri pambegan manjing swarga tentrem, tiyang lajeng uwal saking kuwajiban-kuwajiban ingkang awrat-awrat. Tiyang punika rak majib-majibaken dhateng awakipun piyambak: "Wong ki kudu ngene, pangane ngene, sandhange ngene, omahe ngene, karo bojone ngene, karo anake ngene, karo tangga-tanggane ngene," lan sadaya ngene-ngene wau ingkang awrat-awrat ngantos boten kenging dipun lampahi, jalaran cengkah kuwajiban sami kuwajiban.

Contonipun upami tangganipun badhe gadhah damel mantu, mangka awakipun piyambak tampi ulem, punika awakipun piyambak dipun wajibaken dhateng. Yen dhateng, awakipun piyambak punika dipun wajibaken ngangge sandhangan enggal lan inggih dipun wajibaken sangu yatra kangge nyumbang utawi kangge dhomino. Upami awakipun piyambak tampi ulem wau, mangka boten gadhah sandhangan enggal lan boten gadhah yatra, punika lajeng pakewet sanget, lan yen badhe boten dhateng ajrih, la tiyang tangganipun gadhah damel mantu, mangka tampi ulem, kok boten dhateng, lan badhe dhateng, inggih ajrih, la tiyang boten gadhah sandhangan enggal lan boten gadhah yatra, kok dhateng.

Yen sampun luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem, tiyang lajeng saged nuturi awakipun piyambak: "Lo iki priye ta le nglakoni, la wong ora teka, wedi, lan teka, ya wedi, la apa rada teka lan rada ora wae, lan kaya apa jing jeneng rada teka lan rada ora, apa ming anguk-anguk neng pager wae, lan apa banjur mlebu nyang pawon wae 'bludhus' melu asah-asah." Tiyang lajeng padhang paningalipun lan lajeng saged nuturi awakipun piyambak: "Wis, nek arep teka, ya teka, lan nek ora, ya ora, la nek ora duwe sandhangan anyar, banjur nganggo sandhangan lawas, kuwi sabenere, lan nek ora duwe dhuwit, banjur ora nyumbang lan ora dhomino, kuwi sabenere." Dados raosing gesang ingkang sayektos, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Wonten nggen kuwajiban-kuwajiban punika mesthi gek ngene, gek ora ngene, gek ngene, gek ora ngene. Yen mangertos bilih raosing gesang tiyang sajagat punika sami mawon, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah, tiyang lajeng luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem lan anggenipun pados semat, drajat, kramat, sakapenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere, inggih punika tentrem.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram

KAWRUH BEGJA..., Meri - Pambegan

Meri - Pambegan

Meri punika rumaos kawon tinimbang tiyang liya lan pambegan punika rumaos menang tinimbang tiyang liya. Meri lan pambegan punika, ingkang murugaken dhateng tiyang lajeng ngaya-aya, jengkelitan, la cilaka. Anggenipun pados semat, drajat, kramat, tiyang lajeng sarwa ngaya-aya, raosipun kemrungsung: "Wis golek dhuwit we jing akeh, supaya sugih kaya kae, aja nganti mlarat kaya kae, dadi banjur bisa ngece kae lan ora diece kae, lan golek drajat we jing luhur, supaya mulya kaya kae, aja nganti papa kaya kae, dadi banjur bisa kajen kaya kae lan ora remeh kaya kae, lan golek kramat we jing gedhe-gedhe, supaya kuwasa kaya kae aja nganti sekeng kaya kae, dadi banjur bisa ngekul kae lan ora dikul kae," lan saking sangeting kemrungsung, tiyang ngantos gadhah raos: "Nek ora ngene, angur matia."

Mangka raos "nek ora ngene angur matia", punika, yen kerep-kerep dhateng murugaken dhateng tiyang, lajeng asring medal tekadipun ingkang aneh-aneh lan lajeng asring nglampahi aneh-aneh. Adakanipun tiyang punika, yen nembe kabrongot meri pambegan, lajeng madhukun-madhukun, maguru-maguru, lan lajeng taken dhateng kyai dhukun, kyai guru, "Dospundi kyai, lelampahan kula niki kok tansah rekaos mawon, napa leh kula gesang niki mila sedhiyan digithing, la sakecane dospundi, kyai," lan mangke yen dipun tantun: "Samang napa gelem ta nglakoni, ning abot, mangke rak njur rada mayar, semanten niku nek katrima, lo, gelem ta dipendhem patang puluh dina?" Dipun tantun kados makaten wau, saking petenging paningal kabrongot meri pambegan, tiyang asring medal kasagahanipun, "Nggih, di pendhem nggih dipendhem, janji banjur katrima, mangke nek mati malah kebeneran, tinimbang urip sapisan we kok dadi ecen-ecenane tanggane, mrana diece lan mrene diece," tur mangke yen dipun damelaken jugangan yektos lan ngungak juganganipun, tiyang wau lajeng dheg-dhegan, thingak-thinguk: "Mungguh le dipendhem niku nek empun bar tanggal loro pripun, nggih?"

Yen mangertos, yen raosing gesang tiyang sajagat punika sami rnawon, tiyang lajeng padhang paningalanipun lan lajeng sumerep angsal-angsalanipun tiyang dipun pendhem sakawan dasa dinten. Angsal-angsalanipun inggih namung buneg. La tiyang dipun bungkem kalih menit mawon sampun kaplepegen, kok dipun pendhem sakawan dasa dinten.

Gegayuhaning meri pambegan punika pathok pados ngungkuli tangga-tangganipun: tedha, pados ngungkuli; sandhang, pados ngungkuli; griya, pados ngungkuli; bojo, pados ngungkuli; anak, pados ngungkuli lan punapa-punapa sarwa pados ngungkuli tangga-tangganipun. Mangka tangga-tangganipun inggih pados ngungkuli tangga-tangganipun. Mila tiyang pinten-pinten ewu, pinten-pinten yuta, yen kabrongot meri pambegan, damelipun namung ungkul-ungkulan, la inggih lajeng asor sadaya.

Yen pados ngungkuli punika kaplesed-kaplesed mawon malah dhawah kungkulan, tiyang lajeng kaken manahipun: "Ya sanajan aku dhedhel dhuwel kae, angger tanggaku wis rekasa, wis lega atiku." Mangka tangga-tangganipun inggih pados rekaosipun tangga-tangganipun. Mila tiyang pinten-pinten ewu, pinten-pinten yuta, yen kabrongot meri pambegan, damelipun namung pados rekaosipun tangga-tangganipun.

Yen pados rekaosipun tangga-tangganipun kablinger-blinger malah dhawah dhedhel dhuwel, tiyang lajeng telas-telasanipun namung kantun ngraos-ngraosi tangga-tangganipun. Mangka tangga-tangganipun inggih ngraos-ngraosi tangga-tangganipun. Mila tiyang pinten-pinten ewu, pinten-pinten yuta, yen kabrongot meri pambegan, damelipun namung raos-raosan lan malah saben pating krenuk kaliyan bojonipun, tiyang punika yen ngraosi tangga-tangganipun, ngantos tlesih: "Jane si anu kae wis rekasa ta wis, mung durung ketara wae, la wong gadhene ki wis bur lan wite krambil ki wis ora tau ngundhuh, ning ya dianggo dhewe wae."

Mangka saweg pados ngungkuli tiyang satunggal mawon, tiyang sampun ngaya-aya, dipun rencangi tirakat-tirakat dumugi Luwarbatang, dumugi Nglawet, dumugi guwa Langse, dumugi Gedander punapa punika. Mangke yen sampun ngungkuli tiyang satunggal, tiyang inggih lajeng rumaos, yen wonten tiyang sanesipun ingkang ngungkuli. La tiyang inggih lajeng ngaya-aya malih, tirakat-tirakat malih, pados ngungkuli malih, mangka cacahipun ingkang ngungkuli punika kathah sanget.

Saya pados ngungkuli princen-princenipun, tiwas dipun rencangi tirakat-tirakat punapa punika, mesthi boten saged kalampahan. Upami ngungkuli sematipun, kungkulan drajatipun, tiyang inggih lajeng ngaya-aya pados ngungkuli drajatipun. Upami ngungkuli drajatipun, nanging kungkulan kramatipun, tiyang inggih lajeng ngaya-aya pados ngungkuli kramatipun. Upami ngungkuli kramatipun, nanging kungkulan bagusipun, tiyang inggih lajeng ngaya-aya gemagus pados ngungkuli bagusipun. Upami ngungkuli bagusipun, nanging kungkulan enemipun, tiyang inggih lajeng ngaya-aya pados ngungkuli enemipun, jalaran tiyang nem punika, yen kaleres wonten ing janggrungan, rak dipun selak-selakaken. Upami ngungkuli nemipun, nanging kungkulan sepuhipun, tiyang inggih lajeng ngaya-aya pados ngungkuli sepuhipun, jalaran tiyang sepuh punika, yen kaleres kendhuren, rak dipun pilihaken ingkang empuk-empuk.

Rumaosing meri pambegan punika, saben kepethuk tiyang, yen boten ngungkuli inggih kungkulan, lan yen ngungkuli raosipun ngece: "Galo si anu kae rak cilaka ta, jeneh ora gelem nggugu aku, ora gelem tiru aku, ya cilaka," lan yen kungkulan raosipun kemropok, lajeng ngraos-ngraosi, moyok-moyoki: "Karuwan iya wae, nek si anu kae mubra-mubru, la wong cethile ora jamak, nek ngising katutan dhele we dicuthiki." Mangka saben medal saking nggriya, tiyang punika mesthi kapethuk tiyang, mangka yen boten ngungkuli inggih kungkulan, mila ingkang dipun raosaken, awit alit dumugi sepuh, yen kabrongot meri pambegan, inggih namung kemropok, ngece, kemropok, ngece, la tiyang namung ngungkuli, kungkulan.

Yen badhe ngertos meri pambeganipun piyambak, ungkulipun piyambak, ingkang cetha wonten nggen sesrawungan, upami kaleres ningali pasar malem, wonten nggen tiyang gadhah damel, wonten nggen pasamuan-pasamuan punapa punika; mangke yen rumaos kungkulan sinjangipun, lajeng ngemek udhengipun: "Yah, ning ikete menang anyar," mangke yen rumaos kungkulan udhengipun, lajeng mathentheng ngatingalaken rasukanipun: "Yah, ning klambine menang apik," mangke yen taksih rumaos kungkulan, lajeng cincing ngatingalaken kathokipun: "Yah, ning kathoke menang kombor," mangke yen meksa taksih rumaos kungkulan, kaken manahipun, lajeng ngedalaken pipanipun: "Yah, ning pipane menang dawa."

Paningaling meri pambegan punika kuwolak-kuwalik, ningali lelampahan sadaya kuwolak-kuwalik, ningali jagat saisinipun sadaya kuwolak-kuwalik, boten leres. Contonipun upami tiyang kapengin gadhah pit, yen saking sangeting kemrungsung, gadhah raos: "Nek ming ora duwe apa-apa we, ora tak rasakake, ning nek ora duwe pit ki, jan ora bisa nglakoni tenan aku," mila yen kapethuk tiyang numpak pit, saya yen ingkang numpak pit tangganipun, ingkang dipun sengiti, inggih punika ingkang badhe dipun ungkuli malah awakipun dhawah kungkulan, lajeng dipun kring, inggih mak tratap lan lajeng pet-petan, mangke yen mantuk inggih ngungkep-ungkep boten saged-saged tilem lan lajeng ngraos-ngraosi, moyok-moyoki: "Karuwan iya wae, nek si anu kae bisa duwe pit, la wong direwangi ora lumrah wong, dilabuhi rai gedheg, nek aku mono mula jan wong ora bisanan, angger ketok duwe wae." Lo rak terang paningal kuwolak-kuwalik, kapethuk tiyang numpak pit, kok pet-petan, la punapa tiyang numpak pit punika murugaken pet-petan, rak terang yen boten, nanging yen kabrongot meri pambegan inggih mesthi kuwolak-kuwalik makaten.

Saking sangetipun kuwolak-kuwalikipun paningal, ngantos sumerep tiyang ayu utawi tiyang bagus, yen tiyang jaler sumerep tiyang ayu lan yen tiyang estri sumerep tiyang bagus, paningalipun kuwolak-kuwalik, mangke yen sumerep bojonipun, inggih lajeng sengit, lajeng ngraos-ngraosi, moyok-moyoki: "Nek tak rasak-rasakke, bojoku ki kok jan elek tenan, wis rupane ala lan atine ala, andekpuna kok dadi bojoku, iki rak dudu sabaene, iki biyen, nek ming bares-baresan we, rak ora kalakon, iki rak nganggo diguna-gunani aku biyen, dadi banjur ngenel ka kene ki." Lo rak terang paningal kuwolak-kuwalik, sumerep tiyang ayu, tiyang bagus, kok lajeng sengit dhateng bojonipun, la punapa tiyang ayu, tiyang bagus, murugaken sengit dhateng bojo, rak terang yen boten, nanging yen kabrongot meri pambegan, inggih mesthi kuwolak-kuwalik makaten. Kados makaten kuwolak-kuwaliking paningal, yen kabrongot meri pambegan.

Oleh: Ki Ageng Suryomentaram.