Ini kutipan kalimat bahasa Indonesia versi jadul. Kiriman dari papi Rayhard yang sekarang bermukim di Australia.
"Marika jang menikah di sini sabenernja sekedar tjari 'kawan' goena oeroes roemahnja, lagian oemoemnja orang Tionghoa tiada taro banjak perhatian pada ia orang poenja anak prampoean, sebab dianggep anak prampoean toch tiada djadi ia poenja toeroenan, kerna bakal djadi kepoenjaannja lain orang, dari itoe apa jang fihak iboenja itoe anak berboeat dan printah lakoeken, oemoemnja tiada diambil ferdoeli, demikianlah sahingga itoe kebiasaan dipake toeroen menoeroen".
Gitu deh...
Lokasi Pengoenjoeng Blog
Kamis, 30 April 2009
Rabu, 29 April 2009
NGADI SALIRO, NGADI BUSONO..., brain, beauty & behavior
Melanjutkan bincang2 kita tentang kecantikan, menurut Ibu Mooryati Soedibyo, kecantikan itu harus diimbangi dengan pengetahuan, tidak sekadar memilih kosmetika.
“Tidak ada konsep kecantikan yang menyebutkan bila perempuan cantik itu, berkulit putih, rambut lurus dan tinggi semampai. Persepsi cantik seperti itu boleh saja, namun hanya dalam lomba. Dalam keseharian, perempuan yang luwes tidak kaku, itu juga cantik. Perempuan berkulit hitam tetapi bersih, itu lebih menarik daripada yang kuning langsat namun tidak terawat. Luwes itu, penampilan secara keseluruhan, termasuk pancaran kecantikan dari dalam” demikian beliau bertutur. Beliau menambahkan, untuk soal Ngadi Saliro itu, haruslah menjadi perhatian utama perempuan.
Dan tentang Ngadi Busono, beliau mengatakan: “Baju kebaya adalah baju yang paling cantik di dunia. Lihat saja, perempuan yang pakai kebaya itu kelihatan cantik, yang langsing jadi kelihatan padat, yang gemuk jadi kelihatan singset. Ini merupakan kekayaan budaya yang indah sekali, tidak tertandingi.”
Gitu deh...
Selasa, 28 April 2009
Ahli Gigi..., hi hi hi
Ahli gigi atau tukang gigi ini adalah profesi jadul, sudah ada sejak jaman dulu. Plangnya ya begitu itu, bergambar gusi yang sedang memamerkan sederet gigi. Dulu sih kita cuek dengan hal2 kayak gitu, maklum kita punya gigi masih sehat dan kuat kala itu. Tapi seiring waktu ternyata gigi2 kitalah yang paling duluan keropos, satu demi satu berguguran.
Tapi berkat jasa si Ahli Gigi, sekarang masih bisalah kita menebar senyum maniseee. Dan meskipun gigi ini imitasi, tapi senyumnya, asli lho! Hi hi hi..
Gitu deh...
Biar Jadul..., Tetap Cantik
Cewek Cantik..., versi jadul
Masyarakat Jawa Kuno telah mengenal konsep wanita cantik itu yang kayak apa. Silahkan bayangkan sendiri kira2 seperti apakah gerangan sosok wanita yang dikata hmmm itu.
Ciri-ciri cantik itu sebagai berikut:
a. lambe iwir manggis karengat (bibir bagaikan buah manggis terbuka)
b. liringe sor madu juruh (kerling matanya mengalahkan manisnya juruh madu)
c. sor tang nyuh danta santene (payudaranya mengalahkan kelapa gading)
d. wangkong iwir limas angene (pantat bagai limas yang baik)
e. wentis iwir pudak angrawit (betis bagai bunga pudak yang mempesona)
f. dlamakan gamparan gading (telapak kaki seperti gamparan gading)
g. adege padmanagara (tubuhnya seperti padmanagara)
h. lumampah giwang lan gangsa (lenggangnya beralun senada gamelan, seperti seekor angsa)
i. panepi iwir patrem kounus (pinggang bagai patrem terhunus)
j. pupu iwir pol ginempotan (paha bagai daun palma yang diserut halus).
Gitu deh...
Ciri-ciri cantik itu sebagai berikut:
a. lambe iwir manggis karengat (bibir bagaikan buah manggis terbuka)
b. liringe sor madu juruh (kerling matanya mengalahkan manisnya juruh madu)
c. sor tang nyuh danta santene (payudaranya mengalahkan kelapa gading)
d. wangkong iwir limas angene (pantat bagai limas yang baik)
e. wentis iwir pudak angrawit (betis bagai bunga pudak yang mempesona)
f. dlamakan gamparan gading (telapak kaki seperti gamparan gading)
g. adege padmanagara (tubuhnya seperti padmanagara)
h. lumampah giwang lan gangsa (lenggangnya beralun senada gamelan, seperti seekor angsa)
i. panepi iwir patrem kounus (pinggang bagai patrem terhunus)
j. pupu iwir pol ginempotan (paha bagai daun palma yang diserut halus).
Gitu deh...
Senin, 27 April 2009
Praktek Ijon…, ala Jadul
Pengantar:
Saat ini ada satu media diskusi yang aktif saya ikuti, yaitu Majalah Elektronik Papyrus dengan alamat http://members7.boardhost.com/Rayman/ (alamat ini dapat di klik di link teman).
Di dalamnya terdapat beberapa anggota, ada Papilon alias saya sendiri, ada Papi RH, ada Papi ISS, Papi Ignas dsb. Soal betapa cerewetnya para papi itu…, wow jangan ditanya, cerewetnya pol. Simak saja cuplikan diskusi tentang “praktek ijon” seperti dibawah ini. Pokoknya, begitu ada topik, pasti deh langsung disambar dan dikupas hingga tuntas tas tas…
Semuanya diawali oleh postingan Papilon yang memang tukang bikin perkara seperti ini:
Pi, ada khabar, banyak petani miskin di Indramayu dalam masa krisis seperti ini tidak mampu membeli kebutuhan "saprotan" (sarana produksi pertanian). Akibatnya petani mencari jalan pintas, dan kemudian malah menjadi mangsa rentenir yang sengaja meminjamkan saprotan, khususnya urea dan pestisida. Pinjaman 1 kuintal urea misalnya, nantinya harus dikembalikan dalam ujud 1 1/4 kuintal gabah.
Memberi pinjaman urea ke petani, kesannya baik hati. Tapi setelah dihitung-hitung, jahatnya bukan kepalang. Utang urea senilai Rp. 140 ribu harus dikembalikan dalam rupa gabah senilai lebih dari Rp. 300 ribu.
Sementara fasilitas perbankan melalui KUR (kredit usaha rakyat) yang katanya tanpa jaminan, namun dalam prakteknya pihak bank meminta jaminan...
Piye Jal? Bener kagak berita seperti ini?
Papilon.
(Posted by Papilon on January 10, 2009, 1:24 am)
Papi RH menanggapi sbb:
Memang kelakuan manusia ekonomis selalu saja bisa dirasionalisasikan. Hukum suplai dan demand memang hukum yang tak terelakkan. Tetapi yang jelas ialah perlunya undang-undang yang melindungi mereka yang "vulnerable" menghadapi mereka yang punya kapital dan aset. Kalau bunga untuk pinjaman melebihi apa yang diijinkan oleh hukum maka jelas itu adalah tindakan kriminal.
Dalam hal ini pemerintah (pemimpin yang dipilih oleh rakyat untuk melakukan pengaturan hidup ekonomi) wajib melindungi mereka yang berada dalam posisi lemah.
Istilah "lintah darat" adalah istilah yang tepat untuk kasus seperti ini. Sistem "ngijon" harus diatur oleh undang-undang dan tidak boleh dilanggar semaunya.
RH
(Posted by rh on January 10, 2009, 11:04 am)
Papi ISS menimpali:
Lintah darat dan ngijon itu lain papi. Banyak sekali peran pengijon. Misalnya saya punya pohon-pohon durian, saya tidak mau susah susah menunggu sampai durian runtuh dan menjual ke pasar. Terlalu ribet. Apalagi kalau harus panjat pohon dan panen durian??? Wah nanti keseleo tenan. Apa jalan keluar???? Saya cari pengijon.
Satu pohon ini kamu berani bayar berapa????? Nah setelah sepakat, si pengijon akan ngopeni pohon durianku, dia akan panjat pohon, dan ikat semua bakal buah dengan tali rafia agar kalau ada yang jatuh tidak dipungut orang lewat namun buah akan tetap tergantung di tali rafia. alias tetap milik si pengijon. Dia akan merawat pohonku supaya buahnya banyak melebihi perkiraanku.
Aku leha leha di rumah sudah dapat duit. tapi buahnya belum mateng, masih pentil pentil.
ngapain musuhan sama pengijon???? Dia sahabatku. Dia pekerja ulung yang penuh dengan spekulasi.
Kalau lintah darat lain lagi papi.itu memang musuh bebuyutan. tidak kerja sama sekali tapi narik duit.
iss.
(Posted by ISS on January 10, 2009, 5:51 pm)
Papi Ignas angkat kata:
Keberadaan rentenir.. (juga calo tiket ka/pswt/bola, penukar uang di jl senopati jogja) memang tanpa aturan.. karena mereka memang illegal. Ke mana saja kadang diburu2.., kadang suruh sembunyi, kadang dimintai upeti.
Ketrampilan orang2 itu bermain di sela2 hukum sebetulnya juga ngrejekeni, tidak kalah dengan usaha K-5 lain, seperti tukang bakso angkring, tukang gorengan, sego kucing dll. Ada tanda2 pemerintah merestui kegiatan usaha2 macam ini sebagai sarana survival di tengah krisis. Malah ada gejala pemerintah bangga memberi kesempatan kerja lewat sektor informal dengan membiarkan pedagang k-5 tumbuh di mana2, sekaligus mengejar2 mereka di tempat lain.
Terhadap rentenir, sepertinya pemerintah tahu tapi tidak bertindak, meskipun keberadaan rentenir berlawanan dengan uu perbankan. Kadang rentenir berkudung koperasi...
Tapi sejujurnya, keberadaan rentenir di tingkat akar rumput dengan bunga satu persen sehari itu sangat ringan di tangan para pengusaha kaki lima. contoh, seorang tukang gorengan sudah punya modal wajan, kompor dan grobak.. nah dia butuh modal kerja minyak goreng, bahan baku berupa tempe dan tepung, gas buat kompor... dia butuh sekitar Rp 300rb. Rentenir datang dengan penawaran.. mau dicicil harian Rp 3000/hr selama 3 bulan apa mau dibayar seminggu kemudian dengan bunga 10%?? Ternyata bunga cicilan 3000rp/hari selama 3 bln lebih cocok buat dia tuh.. Uang Rp300rb muter terus.. Rp3000/hr kuecilll...
Lha kalo gitu, rentenir ya hidup, dan tidak perlu dijuluki 'money shark'. Sebagai lintah.. iya .. efektif juga kerjanya.. tapi tidak bikin mati yang dipencoki..
ignas
(Posted by ignas on January 10, 2009, 12:20 pm)
Papi RH komentar lagi:
Di negeri yang teratur ("maju" ) juga ada istilah "loan shark" alias lintah darat, tetapi keberadaan mereka cepat dapat diketahui melalui upaya media yang berusaha keras menguaknya (disiarkan di acara 'current affairs' tv loan shark pasti 'mampus dia').
Sedangkan di Ina apapun usaha orang, asalkan lebih banyak yang bisa mengapung dalam gejolak perjuangan hidup, maka secara moral usaha tsb dapat disyahkan.
Namun dari sudut pandangan ekonomi yang lebih teratur, keadaan semacam itu masih bisa dianggap sebagai ekonomi yang 'kurang aturan'. Tetapi salut, orang Ina lebih gigih berjuang daripada menantikan kucuran dari pemerintah mereka.
RH
(Posted by rh on January 10, 2009, 1:36 pm)
Papi RH lagi:
Saya lihat di artikel yang terbit di Filipina. Dalam artikel ini dikatakan bahwa ngijon adalah sistem yang lebih kejam daripada bank desa, karena si pembeli ijon (produk yang masih ijo) menuntut bunga yang sering kali dua kali lipat apa yang ditawarkan oleh bank desa.
Sejarah ngijon sebagai upaya menekan kebangkitan petani kecil di Jawa, khususnya di daerah Solo dan Jogya, telah dikenal sejak jaman dahulu. Para pengijon adalah mereka yang punya modal besar (kreditor, biasanya pedagang Tionghoa), yang untuk risiko investasinya berani memperaruhkan banyak dana.
Kalau ini tidak berbeda dari "lintah darat" saya nggak tahu lagi apa definisi "lintah darat".
RH
(Posted by rh on January 11, 2009, 3:36 pm)
Papi Ignas nyeletuk:
Weh, ngijon.. kulon godean..
Beli pupuk dengan cara hutang dan dibayar pada waktu panen, lain dengan ngijon. Ngijon, seperti yang dicritakan Papi ISS, adalah menjual calon hasil panenan, menerima uang sebelum panenan terjadi (dengan harapan benar2 terjadi dan menguntungkan pembeli). Buat petani 'berdasi' seperti Papi ISS, ngijon tetap bisa menguntungkan penjual / petani. Uang yang masuk (selagi panen belum tentu terjadi) jelas memudahkan cash flow, melancarkan jalan usaha... Nah, bagi petani gurem, kebutuhan cash flow kadang gak sebanding dengan hasil panenan. Mereka juga sering menjual panenan mereka secara ijon, dengan harga jauh lebih murah.
Orang beli panenan (nebas) secara ijon itu ibarat membeli lotere.
ignas
(Posted by ignas on January 11, 2009, 4:32 pm)
Papi ISS lagi:
Marilah kita katakan saja bahwa semua sistem itu pasti ada baiknya dan ada jeleknya.
Kalau kita asumsikan bahwa petani itu pandai dan penuh perhitungan, maka system ijon tidak akan merugikan mereka. Jadi dasar dari transaksi adalah dua pihak bebas dan tidak ada tekanan, keduanya membuat kesepakatan harga dan sifatnya pasti win win solution.
Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, bila kita menjual hasil panen sebelum panen itu pasti ada baiknya dan sama sekali belum tentu jelek seperti telah disinggung bahwa si pembeli/pengijon itu juga menanggung resiko dan walaupun menurut aku tidak seperti beli lotere. Resikonya ada dan bisa diperhitungkan secara kurang lebih, dan amat menggunakan intuisi. Jadi bagi pengijon beli panenan yang belum kelihatan hasilnya adalah tindakan spekulasi.
Di perdagangan hasil pertanian ada yang disebut dengan hedging. Bila kita punya kebun kopi katakan saja 100 ha. kita berharap di atas kertas akan panen pada bulan September sekitar 100ton. Kopi 100 ton ini kita pasang jual pada future trading. (ini nama keren ijon). Nah karena selalu ada resiko yang dihadapi siapa tahu panenan tidak mencapai 100 ton, entah karena hama, entah penyakit, entah banjir, longsor musibah lain, maka penjual atau kebun akan melakukan hedging dengan membeli juga kopi yang sama di pasaran future sehingga kalau bener terjadi salah perhitungan, kebun tetap bisa mensupply 100 ton sesuai dengan kesepakatan. Hedging ini kira kira mengurangi resiko harga juga karena bila kita gagal panen dan harus mengganti takutnya saat mau mengganti di pasar spot harganya jauh lebih tinggi dari harga kesepakatan. nah sudah jatuh ketiban tangga lagi.
Tapi kalau petani kecil ya tidak sampai seperti itu. wong yang dijual itu hasil panen pohonnya, dan resiko banyak sedikitnya panen ada pada pengijon kok.
iss.
(Posted by ISS on January 12, 2009, 10:16 pm)
Ya…, itulah obrolan seru di majalah elektronik Papyrus. Perkaranya kelihatannya sepele, tapi ternyata tidak. Soal ngijon tersebut ternyata bukan barang baru, tetapi sudah dipraktekkan di awal abad 19 dan hingga sekarang…, masih saja ada!
Keberadaan praktek ijon ala jadul itu dapat kita ketahui dari artikel yang berjudul Ayogya ambangun praja…, seri ketiga sbb:
Raffles menyusul Daendels pada cakrawala sejarah kesultanan. Ia membawa perubahan-perubahan yang mempengaruhi keadaan Cina di Yogyakarta. Praktek pemungutan bea dan pajak garam oleh orang Cina dihentikan. Tetapi pegadaian yang semula dipegang oleh pemerintah justru diserahkan kepada Cina. Raffles menghapus banyak hambatan perpajakan di daerah pedalaman. Tetapi keinginannya agar pajak dibayar dengan uang tunai menyebabkan timbulnya praktek ijon (dari kata ijo yang berarti hijau, maksudnya sementara panenan belum masak ia sudah dijadikan jaminan untuk meminjam dana) penjualan ternak dan bahkan tanah.
Gitu deh…
Saat ini ada satu media diskusi yang aktif saya ikuti, yaitu Majalah Elektronik Papyrus dengan alamat http://members7.boardhost.com/Rayman/ (alamat ini dapat di klik di link teman).
Di dalamnya terdapat beberapa anggota, ada Papilon alias saya sendiri, ada Papi RH, ada Papi ISS, Papi Ignas dsb. Soal betapa cerewetnya para papi itu…, wow jangan ditanya, cerewetnya pol. Simak saja cuplikan diskusi tentang “praktek ijon” seperti dibawah ini. Pokoknya, begitu ada topik, pasti deh langsung disambar dan dikupas hingga tuntas tas tas…
Semuanya diawali oleh postingan Papilon yang memang tukang bikin perkara seperti ini:
Pi, ada khabar, banyak petani miskin di Indramayu dalam masa krisis seperti ini tidak mampu membeli kebutuhan "saprotan" (sarana produksi pertanian). Akibatnya petani mencari jalan pintas, dan kemudian malah menjadi mangsa rentenir yang sengaja meminjamkan saprotan, khususnya urea dan pestisida. Pinjaman 1 kuintal urea misalnya, nantinya harus dikembalikan dalam ujud 1 1/4 kuintal gabah.
Memberi pinjaman urea ke petani, kesannya baik hati. Tapi setelah dihitung-hitung, jahatnya bukan kepalang. Utang urea senilai Rp. 140 ribu harus dikembalikan dalam rupa gabah senilai lebih dari Rp. 300 ribu.
Sementara fasilitas perbankan melalui KUR (kredit usaha rakyat) yang katanya tanpa jaminan, namun dalam prakteknya pihak bank meminta jaminan...
Piye Jal? Bener kagak berita seperti ini?
Papilon.
(Posted by Papilon on January 10, 2009, 1:24 am)
Papi RH menanggapi sbb:
Memang kelakuan manusia ekonomis selalu saja bisa dirasionalisasikan. Hukum suplai dan demand memang hukum yang tak terelakkan. Tetapi yang jelas ialah perlunya undang-undang yang melindungi mereka yang "vulnerable" menghadapi mereka yang punya kapital dan aset. Kalau bunga untuk pinjaman melebihi apa yang diijinkan oleh hukum maka jelas itu adalah tindakan kriminal.
Dalam hal ini pemerintah (pemimpin yang dipilih oleh rakyat untuk melakukan pengaturan hidup ekonomi) wajib melindungi mereka yang berada dalam posisi lemah.
Istilah "lintah darat" adalah istilah yang tepat untuk kasus seperti ini. Sistem "ngijon" harus diatur oleh undang-undang dan tidak boleh dilanggar semaunya.
RH
(Posted by rh on January 10, 2009, 11:04 am)
Papi ISS menimpali:
Lintah darat dan ngijon itu lain papi. Banyak sekali peran pengijon. Misalnya saya punya pohon-pohon durian, saya tidak mau susah susah menunggu sampai durian runtuh dan menjual ke pasar. Terlalu ribet. Apalagi kalau harus panjat pohon dan panen durian??? Wah nanti keseleo tenan. Apa jalan keluar???? Saya cari pengijon.
Satu pohon ini kamu berani bayar berapa????? Nah setelah sepakat, si pengijon akan ngopeni pohon durianku, dia akan panjat pohon, dan ikat semua bakal buah dengan tali rafia agar kalau ada yang jatuh tidak dipungut orang lewat namun buah akan tetap tergantung di tali rafia. alias tetap milik si pengijon. Dia akan merawat pohonku supaya buahnya banyak melebihi perkiraanku.
Aku leha leha di rumah sudah dapat duit. tapi buahnya belum mateng, masih pentil pentil.
ngapain musuhan sama pengijon???? Dia sahabatku. Dia pekerja ulung yang penuh dengan spekulasi.
Kalau lintah darat lain lagi papi.itu memang musuh bebuyutan. tidak kerja sama sekali tapi narik duit.
iss.
(Posted by ISS on January 10, 2009, 5:51 pm)
Papi Ignas angkat kata:
Keberadaan rentenir.. (juga calo tiket ka/pswt/bola, penukar uang di jl senopati jogja) memang tanpa aturan.. karena mereka memang illegal. Ke mana saja kadang diburu2.., kadang suruh sembunyi, kadang dimintai upeti.
Ketrampilan orang2 itu bermain di sela2 hukum sebetulnya juga ngrejekeni, tidak kalah dengan usaha K-5 lain, seperti tukang bakso angkring, tukang gorengan, sego kucing dll. Ada tanda2 pemerintah merestui kegiatan usaha2 macam ini sebagai sarana survival di tengah krisis. Malah ada gejala pemerintah bangga memberi kesempatan kerja lewat sektor informal dengan membiarkan pedagang k-5 tumbuh di mana2, sekaligus mengejar2 mereka di tempat lain.
Terhadap rentenir, sepertinya pemerintah tahu tapi tidak bertindak, meskipun keberadaan rentenir berlawanan dengan uu perbankan. Kadang rentenir berkudung koperasi...
Tapi sejujurnya, keberadaan rentenir di tingkat akar rumput dengan bunga satu persen sehari itu sangat ringan di tangan para pengusaha kaki lima. contoh, seorang tukang gorengan sudah punya modal wajan, kompor dan grobak.. nah dia butuh modal kerja minyak goreng, bahan baku berupa tempe dan tepung, gas buat kompor... dia butuh sekitar Rp 300rb. Rentenir datang dengan penawaran.. mau dicicil harian Rp 3000/hr selama 3 bulan apa mau dibayar seminggu kemudian dengan bunga 10%?? Ternyata bunga cicilan 3000rp/hari selama 3 bln lebih cocok buat dia tuh.. Uang Rp300rb muter terus.. Rp3000/hr kuecilll...
Lha kalo gitu, rentenir ya hidup, dan tidak perlu dijuluki 'money shark'. Sebagai lintah.. iya .. efektif juga kerjanya.. tapi tidak bikin mati yang dipencoki..
ignas
(Posted by ignas on January 10, 2009, 12:20 pm)
Papi RH komentar lagi:
Di negeri yang teratur ("maju" ) juga ada istilah "loan shark" alias lintah darat, tetapi keberadaan mereka cepat dapat diketahui melalui upaya media yang berusaha keras menguaknya (disiarkan di acara 'current affairs' tv loan shark pasti 'mampus dia').
Sedangkan di Ina apapun usaha orang, asalkan lebih banyak yang bisa mengapung dalam gejolak perjuangan hidup, maka secara moral usaha tsb dapat disyahkan.
Namun dari sudut pandangan ekonomi yang lebih teratur, keadaan semacam itu masih bisa dianggap sebagai ekonomi yang 'kurang aturan'. Tetapi salut, orang Ina lebih gigih berjuang daripada menantikan kucuran dari pemerintah mereka.
RH
(Posted by rh on January 10, 2009, 1:36 pm)
Papi RH lagi:
Saya lihat di artikel yang terbit di Filipina. Dalam artikel ini dikatakan bahwa ngijon adalah sistem yang lebih kejam daripada bank desa, karena si pembeli ijon (produk yang masih ijo) menuntut bunga yang sering kali dua kali lipat apa yang ditawarkan oleh bank desa.
Sejarah ngijon sebagai upaya menekan kebangkitan petani kecil di Jawa, khususnya di daerah Solo dan Jogya, telah dikenal sejak jaman dahulu. Para pengijon adalah mereka yang punya modal besar (kreditor, biasanya pedagang Tionghoa), yang untuk risiko investasinya berani memperaruhkan banyak dana.
Kalau ini tidak berbeda dari "lintah darat" saya nggak tahu lagi apa definisi "lintah darat".
RH
(Posted by rh on January 11, 2009, 3:36 pm)
Papi Ignas nyeletuk:
Weh, ngijon.. kulon godean..
Beli pupuk dengan cara hutang dan dibayar pada waktu panen, lain dengan ngijon. Ngijon, seperti yang dicritakan Papi ISS, adalah menjual calon hasil panenan, menerima uang sebelum panenan terjadi (dengan harapan benar2 terjadi dan menguntungkan pembeli). Buat petani 'berdasi' seperti Papi ISS, ngijon tetap bisa menguntungkan penjual / petani. Uang yang masuk (selagi panen belum tentu terjadi) jelas memudahkan cash flow, melancarkan jalan usaha... Nah, bagi petani gurem, kebutuhan cash flow kadang gak sebanding dengan hasil panenan. Mereka juga sering menjual panenan mereka secara ijon, dengan harga jauh lebih murah.
Orang beli panenan (nebas) secara ijon itu ibarat membeli lotere.
ignas
(Posted by ignas on January 11, 2009, 4:32 pm)
Papi ISS lagi:
Marilah kita katakan saja bahwa semua sistem itu pasti ada baiknya dan ada jeleknya.
Kalau kita asumsikan bahwa petani itu pandai dan penuh perhitungan, maka system ijon tidak akan merugikan mereka. Jadi dasar dari transaksi adalah dua pihak bebas dan tidak ada tekanan, keduanya membuat kesepakatan harga dan sifatnya pasti win win solution.
Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, bila kita menjual hasil panen sebelum panen itu pasti ada baiknya dan sama sekali belum tentu jelek seperti telah disinggung bahwa si pembeli/pengijon itu juga menanggung resiko dan walaupun menurut aku tidak seperti beli lotere. Resikonya ada dan bisa diperhitungkan secara kurang lebih, dan amat menggunakan intuisi. Jadi bagi pengijon beli panenan yang belum kelihatan hasilnya adalah tindakan spekulasi.
Di perdagangan hasil pertanian ada yang disebut dengan hedging. Bila kita punya kebun kopi katakan saja 100 ha. kita berharap di atas kertas akan panen pada bulan September sekitar 100ton. Kopi 100 ton ini kita pasang jual pada future trading. (ini nama keren ijon). Nah karena selalu ada resiko yang dihadapi siapa tahu panenan tidak mencapai 100 ton, entah karena hama, entah penyakit, entah banjir, longsor musibah lain, maka penjual atau kebun akan melakukan hedging dengan membeli juga kopi yang sama di pasaran future sehingga kalau bener terjadi salah perhitungan, kebun tetap bisa mensupply 100 ton sesuai dengan kesepakatan. Hedging ini kira kira mengurangi resiko harga juga karena bila kita gagal panen dan harus mengganti takutnya saat mau mengganti di pasar spot harganya jauh lebih tinggi dari harga kesepakatan. nah sudah jatuh ketiban tangga lagi.
Tapi kalau petani kecil ya tidak sampai seperti itu. wong yang dijual itu hasil panen pohonnya, dan resiko banyak sedikitnya panen ada pada pengijon kok.
iss.
(Posted by ISS on January 12, 2009, 10:16 pm)
Ya…, itulah obrolan seru di majalah elektronik Papyrus. Perkaranya kelihatannya sepele, tapi ternyata tidak. Soal ngijon tersebut ternyata bukan barang baru, tetapi sudah dipraktekkan di awal abad 19 dan hingga sekarang…, masih saja ada!
Keberadaan praktek ijon ala jadul itu dapat kita ketahui dari artikel yang berjudul Ayogya ambangun praja…, seri ketiga sbb:
Raffles menyusul Daendels pada cakrawala sejarah kesultanan. Ia membawa perubahan-perubahan yang mempengaruhi keadaan Cina di Yogyakarta. Praktek pemungutan bea dan pajak garam oleh orang Cina dihentikan. Tetapi pegadaian yang semula dipegang oleh pemerintah justru diserahkan kepada Cina. Raffles menghapus banyak hambatan perpajakan di daerah pedalaman. Tetapi keinginannya agar pajak dibayar dengan uang tunai menyebabkan timbulnya praktek ijon (dari kata ijo yang berarti hijau, maksudnya sementara panenan belum masak ia sudah dijadikan jaminan untuk meminjam dana) penjualan ternak dan bahkan tanah.
Gitu deh…
Sabtu, 25 April 2009
Perkutut..., terbanglah tinggi
Monolog Putu Widjaya
Kisah Burung Perkutut yang Mencari Kemerdekaan
Jakarta – Di salah satu ruangan Hotel Atlet Century sejarah tentang bumi nusantara seolah-olah direka ulang. Melalui monolog Putu Widjaya yang berkisah tentang perjalanan 220 juta burung perkutut, semuanya tampak begitu gamblang, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pertengahan abad ke-20 lalu oleh Soekarno dan Hatta ternyata belum sampai tujuan.
Cerita diawali dengan munculnya seorang laki-laki tua, kaya raya, tetapi sedang gelisah. Ia memiliki 220 juta burung perkutut di halaman rumahnya. Setiap pagi, burung-burung itu berkicau merdu. Tak ada siapa pun yang bisa diajak bicara oleh pak tua yang sedang gelisah itu. Hingga akhirnya, ia mendatangi salah satu sangkar.
Di sana, ia mulai berbicara panjang lebar tentang arti kemerdekaan, sedangkan si perkutut yang ada dalam sangkar itu menjadi pendengar yang setia.
“Bukan ini kemerdekaan yang kumaksud. Bukan ini. Kemerdekaan yang kumaksud adalah keadilan dan kesejahteraan,” kata laki-laki tua itu.
Usai mengatakan itu, pak tua menjadi seperti orang gila. Ia buka sangkar itu dan dengan kasar menyuruh penghuninya keluar supaya bisa menghirup udara kemerdekaan. Ia menginginkan burung itu terbang bebas menuju langit biru yang cerah. Namun, betapa marahnya pak tua itu, ketika si perkutut menolak untuk meninggalkan sangkarnya.
Si perkutut berargumentasi, jika meninggalkan sangkar, maka ia akan menjadi sasaran tembak dan bahkan mungkin dimangsa kucing. Selain itu, ia tak bisa lagi menikmati kemudahan-kemudahan yang didapatkan saat di dalam sangkar. Makanan, minuman dan terkadang buah-buahan datang dengan sendiri, tinggal santap.
Tak habis pikir, pak tua kemudian memukul sangkar si perkutut dengan sapu lidi dan lantas membantingnya ke tanah. Tapi si perkutut bergeming. Saking jengkelnya, pak tua pun akhirnya mengambil kayu yang terbungkus koran. Dia pukul sangkar itu berulang-ulang, hingga hancur berantakan. Si perkutut pun akhirnya terkulai, tak bernyawa, disaksikan oleh jutaan perkutut lainnya.
Pak tua yang jengkel dengan kepengecutan si perkutut itu semakin menjadi gila. Ia buka semua sangkar, hingga 220 juta perkututnya itu terbang bebas. Ia perintahkan burung-burung itu untuk mencari kemerdekaan sejati. Tak seperti si perkutut yang pengecut itu, 220 juta perkutut yang baru dilepas itu dengan senang hati mengepakkan sayapnya seperti keinginan pak tua, menuju langit biru.
Di sana sudah terhampar luas cita-cita kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan. Di angkasa itu, 220 juta perkutut berkicau bersama, hingga suaranya menembus bumi dengan sangat merdu. Uniknya, melihat 220 juta burung perkutut terbang bebas, si perkutut yang pengecut itu tiba-tiba bangun, ikut terbang bebas dan berkicau bersama teman-temannya. Ternyata si perkutut itu hanya pura-pura mati. ”Dasar perkutut oportunis,” kata pak tua jengkel.
Kini pak tua itu tinggal sendirian, menatapi sangkar-sangkar yang kosong. Ia termangu, dan terus termangu. Ia bahkan tak kunjung sadar ketika 220 juta perkutut yang terbang di atasnya buang air besar serentak, dan kotorannya menempel di atas kepala pak tua.
”Inilah pemimpin yang bingung, yang tidak tahu apa yang dikehendaki oleh rakyatnya,” kata Putu mengakhiri monolognya, Sabtu (5/7) lalu, diiringi dengan kicauan perkutut yang pelan-pelan berubah menjadi sebuah lagu kepahlawanan karya Iwan Fals. Seolah menyayat kalbu, seorang ibu yang duduk di bangku penonton terlihat meneteskan air mata.
Lewat cerita ini, Putu seolah ingin kembali mengatakan, generasi ke depan di negeri ini harus bangkit. Mereka harus menjadi lokomotif baru, supaya cita-cita kemerdekaan yakni keadilan dan kesejahteraan bisa terwujud di negeri ini, meskipun harus membayarnya dengan biaya mahal.
Karena keadilan dan kesejahteraan itulah hakikat sejati kemerdekaan. Bukan hanya hitung-hitungan teritorial seperti yang dipahami oleh para pemimpin bangsa ini.
Sumber: Sinar Harapan 12 Juli 2008.
"Komuniti Tionghoa Yogyakarta"... seri ketiga (habis)
Aslinya, naskah ini berjudul “Ayogya ambangun praja”. Ketika saya tanyakan, apa sih artinya ayogya dst itu, papi Rayhard sang penulis memberi penjelasan sbb:
Aku ciptakan judul itu karena pendiri kraton Yogya (Hamengku Buwono I) mengubah nama Gerjitawati menjadi AYOGYA. Kata Sanskrit aslinya aku nggak tahu dengan baik, tetapi di lain tempat di Asia Tenggara ada kota dengan nama piridan (atau derivative kata yang sama), yaitu Ayuthia (Thailand) - kata itu (yang berarti indah dalam mulut rakyat) bisa saja berubah menjadi Ayodhia, Ayoja, Djokdja atau Djokja (buatan Belanda).
Mungkinkah Ayogya lebih mendekati kata aslinya? Sebelum Djokdja berdiri sudah ada "Kartasura" dan "Surakarta", dan Ayogya kemudian diberi akhiran "karta" juga, yang artinya karya, perbuatan. Jadi kota ini diartikan sebagai "hasil karya yang indah" (?).
"Ambangun atau hambangun" berarti mendirikan / berdiri, dan "praja" adalah kata Jawa klasik yang dipakai sebelum kata "kutho gede" menjadi lebih umum.
Gitu ...
Dan inilah seri ketiga atau seri penghabisan dari cerita kita tentang "Komuniti Tionghoa Yogyakarta"
Ayogya ambangun praja…, seri ke (III) – habis
Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792. Dengan dia berakhirlah juga masa jaya kesultanan Mataram untuk kemudian disusul dengan kekacauan politik yang menahun. Akan tetapi hal itu kurang relevant bagi golongan Cina yang tidak pernah terlibat dalam masalah lokal politik. Malanglah, bahwa sejak tahun 1792 terjadi banyak perampokan atas gapura-gapura bea cukai milik orang Cina 13).
Daendels datang pada tahun 1808 dengan tindakan drastis menghapus tatacara penghormatan wakil-wakil pemerintah Belanda terhadap sultan. Upacara mempersembahkan sirih yang senantiasa dijalankan oleh pegawai-pegawai Belanda kepada sultan sampai jaman Daendels, ternyata berasal dari praktek hubungan raja dengan pemungut-bea Cina. Orang-orang Cina pemegang tolpoort menyatakan hommage (tanda setia, atau penghormatan) kepada raja dengan upacara persembahan sirih. Bagi pedagang Cina hal ini tidak dianggap soal besar, tetapi bagi seorang 'republikein' kita Marsekal 'Guntur' (nama sindiran Daendels), rupanya hal ini dianggap terlalu serius sehingga tak dapat dibiarkan begitu saja 14).
Raffles menyusul Daendels pada cakrawala sejarah kesultanan. Ia membawa perubahan-perubahan yang mempengaruhi keadaan Cina di Yogyakarta. Praktek pemungutan bea dan pajak garam oleh orang Cina dihentikan. Tetapi pegadaian yang semula dipegang oleh pemerintah justru diserahkan kepada Cina 14). Raffles menghapus banyak hambatan perpajakan di daerah pedalaman. Tetapi keinginannya agar pajak dibayar dengan uang tunai menyebabkan timbulnya praktek ijon (dari kata ijo yang berarti hijau, maksudnya sementara panenan belum masak ia sudah dijadikan jaminan untuk meminjam dana) penjualan ternak dan bahkan tanah. Hal ini tidak memperbaiki nasib rakyat, sebaliknya pengusaha-pengusaha Cina mendapat lapangan rejeki yang leluasa. Tidak jelas bagi kami apakah policy Raffles dilanjutkan oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi dalam berita-berita sekitar Perang Diponegoro ada terdapat catatan tentang jumlah uang dan nama-nama pachters pasar dan candu dari golongan orang Cina. Jadi rupanya sistim lama kembali 15). Sedangkan pegadaian tetap dipegang oleh Cina sampai tahun 1904 16).
Hubungan antar masyarakat kota pada permulaan abad 19 cukup ramai, melebihi lingkup masalah perdagangan biasa. Crawfurd mengisahkan tentang seorang Jawa yang disewa oleh seorang Cina untuk membunuh seorang Jawa lainnya. Pembunuhan telah dilakukan, tetapi uang upah yang dijanjikan tak diberikan kepada si pembunuh, sehingga persoalan menjadi pembicaraan ramai. Cina itu melarikan diri, dan orang Jawa si pembunuh ditangkap dan dihadapkan kepada Crawfurd. Ia menceriterakan segala hal ihwalnya. Peristiwa yang terjadi tahun 1812 ini sayang tidak menjelaskan seluruh latar belakang kejadiannya. Namun sebagai sekedar ilustrasi, peristiwa yang bagi Crawfurd mungkin cukup interesan sehingga ia masukkan ke dalam bukunya, bolehlah kejadian itu melukiskan hubungan antara suku bangsa 17).
Sebuah peristiwa lain yang merupakan kekecualian dan secara insidentil melibatkan seorang Cina dalam politik yaitu terjadinya kericuhan sekitar tahun 1811-1812, ketika raja-raja (Sultan Sepuh dan Sultan Raja) silih berganti memerintah. Kapten Cina yang bernama Tan Jimsing sangat berjasa kepada pemerintah Inggeris. Jimsing menyampaikan informasi penting dan berita-berita lainnya, memberi perbekalan kepada tentara Inggris dan menyediakan tangga dan peralatan perang lainnya untuk penyerbuan benteng ketika terjadi keributan besar dengan Sultan Sepuh. Pada masa kacau itu terjalinlah kerja sama yang dituntut oleh keadaan antara 'minister' Crawfurd, Putera Mahkota (Sultan Raja) dan babah Jimsing. Sebelumnya memang Putera Mahkota telah kehabisan akal dan menyerahkan nasibnya kepada 'kapala buntut' (semua pria Cina di masa itu memakai kucir di belakang kepala), kapiten Cina Tan Jimsing. Begitu akrab hubungan mereka, sehingga pernah Putera Mahkota tidur menginap di rumahnya 18). Kelak sebagai balas jasa, sultan baru Hamengku Buwono III menghadiahkan 1000 cacah (tidak jelas apakah arti ‘cacah’, tetapi pasti satuan barang berharga) kepada Jimsing dan anak cucunya. Tan Jimsing merupakan contoh seorang manusia 'man of the hour' yang berani menggunakan kesempatan. Nasibnya baik (meskipun pernah kena luka tusukan pada suatu malam ketika Gandadiwirya, seorang mantri pengikut Sultan Sepuh yang fanatik, melakukan 'amok' kepadanya), oleh karena saat itu politik belumlah dianggap sama dengan kesetiaan ethnis. Ia tidak mengalami bahaya dari pihak orang asli, sebab rakyat jelata hanya tunduk kepada raja yang memerintah (dan kebetulan bersahabat dengan kapten Cina). Bahkan ketika ia masuk Islam, Sultan memberinya gelar Tumenggung Secodiningrat 19). Nama ini masih dipakai sampai sekarang untuk daerah di sebelah selatan Fort Vredeburg, yaitu tempat yang besar kemungkinannya adalah daerah kediaman Tan Jimsing.
Dari kejadian ini nampaklah bahwa walaupun kelainan ethnis tetap dirasakan, namun hubungan antar suku dalam masyarakat cukup mendalam. Berlainan dengan masa perputaran abad 19 ke abad 20 nanti, ketika minat Cina terhadap kraton nantinya akan berubah. Penghargaan terhadap kesultanan dan kebudayaannya yang terbukti dari jalinan hubungan baik itu masih tinggi sekali.
---
13) p 358: 'medicijnen, zelfs Chineesche, ... '
14) Poensen, BKI 54, 1905, p 100
15) BKI, 1905, p 12
16) Furnivall, op cit, p 73, Mayor Yap adalah pachter gadai.
17) De Klerck ES, De Java-Oorlog, Deel VI, 1909, pp 472-475. Opiumpacht kepada Cina di Jawa Tengah mulai pada jaman Raffles, atau mungkin sudah sejak Daendels.Cfr Liem Thian Joe, op cit, pp 80-81.
18) De Graaf, op cit, p 145
19) Crawfurd, op cit, I, p 37
Gitu deh…
Terima kasih untuk papi Rayhard yang telah banyak berkisah tentang kota kita Jogjakarta. Tapi omong2, gapura bea cukai…, itu apaan sih? Apa ada gambaran yang masih tertinggal yang bisa kita pakai untuk membayangkan keberadaannya? Piye Jal?
Aku ciptakan judul itu karena pendiri kraton Yogya (Hamengku Buwono I) mengubah nama Gerjitawati menjadi AYOGYA. Kata Sanskrit aslinya aku nggak tahu dengan baik, tetapi di lain tempat di Asia Tenggara ada kota dengan nama piridan (atau derivative kata yang sama), yaitu Ayuthia (Thailand) - kata itu (yang berarti indah dalam mulut rakyat) bisa saja berubah menjadi Ayodhia, Ayoja, Djokdja atau Djokja (buatan Belanda).
Mungkinkah Ayogya lebih mendekati kata aslinya? Sebelum Djokdja berdiri sudah ada "Kartasura" dan "Surakarta", dan Ayogya kemudian diberi akhiran "karta" juga, yang artinya karya, perbuatan. Jadi kota ini diartikan sebagai "hasil karya yang indah" (?).
"Ambangun atau hambangun" berarti mendirikan / berdiri, dan "praja" adalah kata Jawa klasik yang dipakai sebelum kata "kutho gede" menjadi lebih umum.
Gitu ...
Dan inilah seri ketiga atau seri penghabisan dari cerita kita tentang "Komuniti Tionghoa Yogyakarta"
Ayogya ambangun praja…, seri ke (III) – habis
Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792. Dengan dia berakhirlah juga masa jaya kesultanan Mataram untuk kemudian disusul dengan kekacauan politik yang menahun. Akan tetapi hal itu kurang relevant bagi golongan Cina yang tidak pernah terlibat dalam masalah lokal politik. Malanglah, bahwa sejak tahun 1792 terjadi banyak perampokan atas gapura-gapura bea cukai milik orang Cina 13).
Daendels datang pada tahun 1808 dengan tindakan drastis menghapus tatacara penghormatan wakil-wakil pemerintah Belanda terhadap sultan. Upacara mempersembahkan sirih yang senantiasa dijalankan oleh pegawai-pegawai Belanda kepada sultan sampai jaman Daendels, ternyata berasal dari praktek hubungan raja dengan pemungut-bea Cina. Orang-orang Cina pemegang tolpoort menyatakan hommage (tanda setia, atau penghormatan) kepada raja dengan upacara persembahan sirih. Bagi pedagang Cina hal ini tidak dianggap soal besar, tetapi bagi seorang 'republikein' kita Marsekal 'Guntur' (nama sindiran Daendels), rupanya hal ini dianggap terlalu serius sehingga tak dapat dibiarkan begitu saja 14).
Raffles menyusul Daendels pada cakrawala sejarah kesultanan. Ia membawa perubahan-perubahan yang mempengaruhi keadaan Cina di Yogyakarta. Praktek pemungutan bea dan pajak garam oleh orang Cina dihentikan. Tetapi pegadaian yang semula dipegang oleh pemerintah justru diserahkan kepada Cina 14). Raffles menghapus banyak hambatan perpajakan di daerah pedalaman. Tetapi keinginannya agar pajak dibayar dengan uang tunai menyebabkan timbulnya praktek ijon (dari kata ijo yang berarti hijau, maksudnya sementara panenan belum masak ia sudah dijadikan jaminan untuk meminjam dana) penjualan ternak dan bahkan tanah. Hal ini tidak memperbaiki nasib rakyat, sebaliknya pengusaha-pengusaha Cina mendapat lapangan rejeki yang leluasa. Tidak jelas bagi kami apakah policy Raffles dilanjutkan oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi dalam berita-berita sekitar Perang Diponegoro ada terdapat catatan tentang jumlah uang dan nama-nama pachters pasar dan candu dari golongan orang Cina. Jadi rupanya sistim lama kembali 15). Sedangkan pegadaian tetap dipegang oleh Cina sampai tahun 1904 16).
Hubungan antar masyarakat kota pada permulaan abad 19 cukup ramai, melebihi lingkup masalah perdagangan biasa. Crawfurd mengisahkan tentang seorang Jawa yang disewa oleh seorang Cina untuk membunuh seorang Jawa lainnya. Pembunuhan telah dilakukan, tetapi uang upah yang dijanjikan tak diberikan kepada si pembunuh, sehingga persoalan menjadi pembicaraan ramai. Cina itu melarikan diri, dan orang Jawa si pembunuh ditangkap dan dihadapkan kepada Crawfurd. Ia menceriterakan segala hal ihwalnya. Peristiwa yang terjadi tahun 1812 ini sayang tidak menjelaskan seluruh latar belakang kejadiannya. Namun sebagai sekedar ilustrasi, peristiwa yang bagi Crawfurd mungkin cukup interesan sehingga ia masukkan ke dalam bukunya, bolehlah kejadian itu melukiskan hubungan antara suku bangsa 17).
Sebuah peristiwa lain yang merupakan kekecualian dan secara insidentil melibatkan seorang Cina dalam politik yaitu terjadinya kericuhan sekitar tahun 1811-1812, ketika raja-raja (Sultan Sepuh dan Sultan Raja) silih berganti memerintah. Kapten Cina yang bernama Tan Jimsing sangat berjasa kepada pemerintah Inggeris. Jimsing menyampaikan informasi penting dan berita-berita lainnya, memberi perbekalan kepada tentara Inggris dan menyediakan tangga dan peralatan perang lainnya untuk penyerbuan benteng ketika terjadi keributan besar dengan Sultan Sepuh. Pada masa kacau itu terjalinlah kerja sama yang dituntut oleh keadaan antara 'minister' Crawfurd, Putera Mahkota (Sultan Raja) dan babah Jimsing. Sebelumnya memang Putera Mahkota telah kehabisan akal dan menyerahkan nasibnya kepada 'kapala buntut' (semua pria Cina di masa itu memakai kucir di belakang kepala), kapiten Cina Tan Jimsing. Begitu akrab hubungan mereka, sehingga pernah Putera Mahkota tidur menginap di rumahnya 18). Kelak sebagai balas jasa, sultan baru Hamengku Buwono III menghadiahkan 1000 cacah (tidak jelas apakah arti ‘cacah’, tetapi pasti satuan barang berharga) kepada Jimsing dan anak cucunya. Tan Jimsing merupakan contoh seorang manusia 'man of the hour' yang berani menggunakan kesempatan. Nasibnya baik (meskipun pernah kena luka tusukan pada suatu malam ketika Gandadiwirya, seorang mantri pengikut Sultan Sepuh yang fanatik, melakukan 'amok' kepadanya), oleh karena saat itu politik belumlah dianggap sama dengan kesetiaan ethnis. Ia tidak mengalami bahaya dari pihak orang asli, sebab rakyat jelata hanya tunduk kepada raja yang memerintah (dan kebetulan bersahabat dengan kapten Cina). Bahkan ketika ia masuk Islam, Sultan memberinya gelar Tumenggung Secodiningrat 19). Nama ini masih dipakai sampai sekarang untuk daerah di sebelah selatan Fort Vredeburg, yaitu tempat yang besar kemungkinannya adalah daerah kediaman Tan Jimsing.
Dari kejadian ini nampaklah bahwa walaupun kelainan ethnis tetap dirasakan, namun hubungan antar suku dalam masyarakat cukup mendalam. Berlainan dengan masa perputaran abad 19 ke abad 20 nanti, ketika minat Cina terhadap kraton nantinya akan berubah. Penghargaan terhadap kesultanan dan kebudayaannya yang terbukti dari jalinan hubungan baik itu masih tinggi sekali.
---
13) p 358: 'medicijnen, zelfs Chineesche, ... '
14) Poensen, BKI 54, 1905, p 100
15) BKI, 1905, p 12
16) Furnivall, op cit, p 73, Mayor Yap adalah pachter gadai.
17) De Klerck ES, De Java-Oorlog, Deel VI, 1909, pp 472-475. Opiumpacht kepada Cina di Jawa Tengah mulai pada jaman Raffles, atau mungkin sudah sejak Daendels.Cfr Liem Thian Joe, op cit, pp 80-81.
18) De Graaf, op cit, p 145
19) Crawfurd, op cit, I, p 37
Gitu deh…
Terima kasih untuk papi Rayhard yang telah banyak berkisah tentang kota kita Jogjakarta. Tapi omong2, gapura bea cukai…, itu apaan sih? Apa ada gambaran yang masih tertinggal yang bisa kita pakai untuk membayangkan keberadaannya? Piye Jal?
"Komuniti Tionghoa Yogyakarta"…, seri Kedua
Pengantar:
Ini dia kisah kita tentang Komuniti Tionghoa Yogyakarta, seri kedua. Selamat menikmati lagi...
Memang Kranggan sekarang mempunyai konsentrasi kuat golongan Tionghoa. Bila hanya itulah alasan yang dipakainya, maka kami tidak dapat mengambil alih pendapat itu, sebab terlalu umum dan lemah. Sayang kami tidak dapat mengikuti alasan pendugaan Darmosugito itu sebagai tersedia dalam artikelnya. Apalagi dalam Serat 'Purwolelono' dari akhir tahun 1850-an yang mengambil latar belakang semasa (ie kontemporèn) disebutkan bahwa pada waktu itu Kranggan masih bersuasana sebagai desa kecil belaka. Suasana kota baru mulai dengan belokan ke selatan setelah Tugu yang tinggi. Kecillah kemungkinan bahwa orang Tionghoa tinggal di desa kecil, suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi perdagangan.
Sebaliknya bila kita mengambil pasar sebagai milieu mereka, maka keterangan-keterangan yang menarik akan tersedia. Sejak dahulu pasar di daerah kerajaan Jawa disewakan (di-'pacht'-kan) kepada penmungut bea tetap, tidak jarang seorang pejabat sedemikian adalah orang Tionghoa. Jabatan pemungut pajak itu dalam bahasa Jawa disebut sebagai jabatan 'tanda' (marktmeester), sedangkan daerah tempat pejabat itu tinggal (karena pastilah ia seorang yang penting dan terpandang) dinamakan 'ketandan'.
Dalam 'Serat Angger Gunung', fasal 33, kita baca: 'gunung (polisi) kang ambawahaké apitayaa marang wong Cina, utawa wong Jawa, kang dadi bandar pasar kang angrampasa (mumpuni, berkuasa), ...'5) Undang-undang yang berlaku pada abad 17 dan 18 ini memberikan kepada kita keterangan bahwa sungguh-sungguh orang Tionghoa telah dipakai oleh pemerintah kraton sebagai petugas istimewa, bukan saja di ibukota, melainkan di tempat-tempat lain pula. Menurut kenyataan ini dapatlah dengan cukup teliti diperkirakan bahwa orang Tionghoa tentunya tinggal di dekat pasar, atau di daerah Ketandan.
Meskipun begitu kegelapan masih ada, yaitu apakah bagian kota sekarang yang bernama Ketandan itulah tempat yang dimaksudkan, dengan kata lain apakah pasar Yogyakarta sejak permulaan sudah ada di tempatnya yang sekarang? Bangunan pasar yang sekarang ini berasal dari tahun 1925.
Tetapi mengingat bahwa semua kota di Jawa Tengah dan Timur mempunyai pola yang tertentu dan sama, di mana pusat pemerintahan hampir selalu menghadap ke arah sebuah alun-alun, di sebelah kiri dan kanannya masing-masing selalu berdiri masjid dan bangunan-bangunan pemerintahan dan tidak jauh dari alun-alun itu selalu berdirilah pasar di muka bangunan pusat pemerintahan, maka kita dibenarkan juga kiranya menyangka bahwa pasar Beringharjo memang pasar yang telah lama berada di tempat itu.
Pekerjaan yang berhubungan dengan pasar itu makin kentara bagi kita ketika kita mendengar, bahwa passerpacht Tionghoa baru dihapus dengan undang-undang pada tahun 1851 6). Jadi selama hampir seratus tahun itulah orang Tionghoa langsung giat bekerja di sekitar sistim pasar. Menurut hemat kami inilah peristiwa yang sukar disangkal dan hal yang memang sesungguhnya terjadi.
Mengenai pertanyaan apakah tidak mungkin orang Tionghoa bertani, hal itu boleh dengan mudah kita kesampingkan. Kecuali di daerah Tangerang pada umumnya hampir tidak ada Cina di Jawa yang bercocok tanam. Orang mudah heran, mengapa pendatang yang berasal dari daerah agraris itu segan bertanam 7). Alasan sesungguhnya mudah dicari. Di negeri tempat mereka datang, keadaan sekeliling mengharuskan mereka menjadi orang-orang ahli. Penduduk asli masih primitif dalam tata ekonomi pertukaran, dan mereka telah lebih berpengalaman dalam bidang perdagangan. Ditambah lagi dengan ketentuan-ketentuan pemerintah yang mendorong mereka berjalan ke arah perdagangan dan melarang ‘grondbezit’ (pemilikan tanah), tentulah mereka menguasai bidang ini 8).
Dapat disangka bahwa hidup yang terlibat dengan erat sekali dalam usaha mencari penghidupan itu tidak banyak memberi kesempatan untuk mengembangkan kebudayaan. Sampai dengan akhir abad 18 tidak ada berita tercatat mengenai kegiatan komuniti Tionghoa. Beberapa hal yang kami temukan dalam cerita sekitar kraton ingin kami kemukakan. Di bagian lain Asia Tenggara keluhan bahwa mula-mula tidak ada kebudayaan tinggi di kalangan Cina memang umum. Jadi dalam jaman ini janganlah kita berpikir mengenai kebudayaan, pendidikan saja belumlah ada. Barangkali boleh dicatat sambil lalu, bahwa bangunan orang-orang Hokkian pada umumnya lebih mempunyai selera kesenian daripada yang terdapat pada suku-suku lain. Bangunan-bangunan di Yogyakarta waktu itu mungkin telah bagus, sekurang-kurangnya dalam hal dekorasi 9).
Sudah pada masa Hamengku Buwono I adanya gapura-bea ('Chineesche tolpoort' dalam istilah naskah Belanda) dikenal di dalam kerajaannya. Raja yang mempunyai problem dengan putera sulungnya menerima berita bahwa putera itu telah merampok sebuah gapura-bea 10. Dari kejadian itu kita dapat menduga bahwa gapura-bea adalah bangunan yang kaya, karena bahkan seorang putera mahkotapun tidak mengabaikan untuk merampas kekayaannya. Yang juga jelas dapat dikatakan ialah bahwa penyelenggaraan pemungutan bea oleh orang Cina itu telah merata di daerah kerajaan.
Bahwa orang Cina secara tidak langsung masuk pula ke dalam lingkungan istana raja, dapat kita ketahui dari berita tentang isteri Hamengku Buwono I, yang nomor delapan. Isteri ini oleh Poensen diberitakan sebagai 'keturunan Cina' 11). Entah bagaimana terjadinya hubungan dengan isteri dari golongan peranakan itu tidak kita ketahui, namun jelas juga adanya hubungan dengan masyarakat Tionghoa.
Kisah lain yang menunjukkan adanya pengaruh Cina atas kehidupan kraton yaitu pada saat menjelang akhir pemerintahan raja Mataram yang pertama itu. Pada waktu beliau hampir sampai kepada ajalnya (sudah lanjut usia lagi pula dibuat bersedih hati oleh kelakuan putera mahkotanya sendiri), segala obat-obatan yang diketahui dipergunakan, 'bahkan obat-obatan Cina ...'12)
---
5 Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana, Serat ingkang kaping 2. Reizen van Raden Mas Arjo Poerwo Lelono, Tweede Stuk, Batavia, Ter Lands-Drukkerij, 1866, p 169. Memang ada sebagian orang Tionghoa 'ingkang dateng pinggir radinan saking Kedu' p 171), tetapi kiranya itu justru di jalan Magelang yang sekarang.
6 Dikutip oleh FA Sucipta dalam Beberapa Catatan tentang Pasar di Jawa Tengah (abad 17-18), Stencilan, Kegiatan Ilmiah dan Wisuda Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, 1970, dari Serat Angger Gunung, dalam Roorda, Javaansche Wetten, Amsterdam, 1844, p 173
7 Van Sandick, op cit, p 181. Di Semarang baru dilaksanakan tahun 1852 (lihat Liem Thian Joe, op cit, p 116).
8 Alers (Dilemma in Zuid-oost Azie, p 45). Sangkaan yang bersifat luas sekali itu, yang lebih didasarkan atas. Demikian juga tanya pemikiran teoretis (falsafi) daripada atas fakta anthropologis sosial maupun ekonomis, tidak perlu kita anggap sulit.
9 Alice Dewey berkata bahwa orang Cina menjadi pedagang juga karena 'terpaksa'. 'Thus Chinese are merchants by choice as well as of necessity'. (Peasant Marketing in Java,, p 47, note). Bandingkan juga Fromberg, Verspreide Geschriften, p 775.
10 Purcell, op cit, p 412
11 Poensen, BKI 52, p 301
12 p 313: '8º. Bij eene halfbloed Chineesche ...'
Ini dia kisah kita tentang Komuniti Tionghoa Yogyakarta, seri kedua. Selamat menikmati lagi...
Memang Kranggan sekarang mempunyai konsentrasi kuat golongan Tionghoa. Bila hanya itulah alasan yang dipakainya, maka kami tidak dapat mengambil alih pendapat itu, sebab terlalu umum dan lemah. Sayang kami tidak dapat mengikuti alasan pendugaan Darmosugito itu sebagai tersedia dalam artikelnya. Apalagi dalam Serat 'Purwolelono' dari akhir tahun 1850-an yang mengambil latar belakang semasa (ie kontemporèn) disebutkan bahwa pada waktu itu Kranggan masih bersuasana sebagai desa kecil belaka. Suasana kota baru mulai dengan belokan ke selatan setelah Tugu yang tinggi. Kecillah kemungkinan bahwa orang Tionghoa tinggal di desa kecil, suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi perdagangan.
Sebaliknya bila kita mengambil pasar sebagai milieu mereka, maka keterangan-keterangan yang menarik akan tersedia. Sejak dahulu pasar di daerah kerajaan Jawa disewakan (di-'pacht'-kan) kepada penmungut bea tetap, tidak jarang seorang pejabat sedemikian adalah orang Tionghoa. Jabatan pemungut pajak itu dalam bahasa Jawa disebut sebagai jabatan 'tanda' (marktmeester), sedangkan daerah tempat pejabat itu tinggal (karena pastilah ia seorang yang penting dan terpandang) dinamakan 'ketandan'.
Dalam 'Serat Angger Gunung', fasal 33, kita baca: 'gunung (polisi) kang ambawahaké apitayaa marang wong Cina, utawa wong Jawa, kang dadi bandar pasar kang angrampasa (mumpuni, berkuasa), ...'5) Undang-undang yang berlaku pada abad 17 dan 18 ini memberikan kepada kita keterangan bahwa sungguh-sungguh orang Tionghoa telah dipakai oleh pemerintah kraton sebagai petugas istimewa, bukan saja di ibukota, melainkan di tempat-tempat lain pula. Menurut kenyataan ini dapatlah dengan cukup teliti diperkirakan bahwa orang Tionghoa tentunya tinggal di dekat pasar, atau di daerah Ketandan.
Meskipun begitu kegelapan masih ada, yaitu apakah bagian kota sekarang yang bernama Ketandan itulah tempat yang dimaksudkan, dengan kata lain apakah pasar Yogyakarta sejak permulaan sudah ada di tempatnya yang sekarang? Bangunan pasar yang sekarang ini berasal dari tahun 1925.
Tetapi mengingat bahwa semua kota di Jawa Tengah dan Timur mempunyai pola yang tertentu dan sama, di mana pusat pemerintahan hampir selalu menghadap ke arah sebuah alun-alun, di sebelah kiri dan kanannya masing-masing selalu berdiri masjid dan bangunan-bangunan pemerintahan dan tidak jauh dari alun-alun itu selalu berdirilah pasar di muka bangunan pusat pemerintahan, maka kita dibenarkan juga kiranya menyangka bahwa pasar Beringharjo memang pasar yang telah lama berada di tempat itu.
Pekerjaan yang berhubungan dengan pasar itu makin kentara bagi kita ketika kita mendengar, bahwa passerpacht Tionghoa baru dihapus dengan undang-undang pada tahun 1851 6). Jadi selama hampir seratus tahun itulah orang Tionghoa langsung giat bekerja di sekitar sistim pasar. Menurut hemat kami inilah peristiwa yang sukar disangkal dan hal yang memang sesungguhnya terjadi.
Mengenai pertanyaan apakah tidak mungkin orang Tionghoa bertani, hal itu boleh dengan mudah kita kesampingkan. Kecuali di daerah Tangerang pada umumnya hampir tidak ada Cina di Jawa yang bercocok tanam. Orang mudah heran, mengapa pendatang yang berasal dari daerah agraris itu segan bertanam 7). Alasan sesungguhnya mudah dicari. Di negeri tempat mereka datang, keadaan sekeliling mengharuskan mereka menjadi orang-orang ahli. Penduduk asli masih primitif dalam tata ekonomi pertukaran, dan mereka telah lebih berpengalaman dalam bidang perdagangan. Ditambah lagi dengan ketentuan-ketentuan pemerintah yang mendorong mereka berjalan ke arah perdagangan dan melarang ‘grondbezit’ (pemilikan tanah), tentulah mereka menguasai bidang ini 8).
Dapat disangka bahwa hidup yang terlibat dengan erat sekali dalam usaha mencari penghidupan itu tidak banyak memberi kesempatan untuk mengembangkan kebudayaan. Sampai dengan akhir abad 18 tidak ada berita tercatat mengenai kegiatan komuniti Tionghoa. Beberapa hal yang kami temukan dalam cerita sekitar kraton ingin kami kemukakan. Di bagian lain Asia Tenggara keluhan bahwa mula-mula tidak ada kebudayaan tinggi di kalangan Cina memang umum. Jadi dalam jaman ini janganlah kita berpikir mengenai kebudayaan, pendidikan saja belumlah ada. Barangkali boleh dicatat sambil lalu, bahwa bangunan orang-orang Hokkian pada umumnya lebih mempunyai selera kesenian daripada yang terdapat pada suku-suku lain. Bangunan-bangunan di Yogyakarta waktu itu mungkin telah bagus, sekurang-kurangnya dalam hal dekorasi 9).
Sudah pada masa Hamengku Buwono I adanya gapura-bea ('Chineesche tolpoort' dalam istilah naskah Belanda) dikenal di dalam kerajaannya. Raja yang mempunyai problem dengan putera sulungnya menerima berita bahwa putera itu telah merampok sebuah gapura-bea 10. Dari kejadian itu kita dapat menduga bahwa gapura-bea adalah bangunan yang kaya, karena bahkan seorang putera mahkotapun tidak mengabaikan untuk merampas kekayaannya. Yang juga jelas dapat dikatakan ialah bahwa penyelenggaraan pemungutan bea oleh orang Cina itu telah merata di daerah kerajaan.
Bahwa orang Cina secara tidak langsung masuk pula ke dalam lingkungan istana raja, dapat kita ketahui dari berita tentang isteri Hamengku Buwono I, yang nomor delapan. Isteri ini oleh Poensen diberitakan sebagai 'keturunan Cina' 11). Entah bagaimana terjadinya hubungan dengan isteri dari golongan peranakan itu tidak kita ketahui, namun jelas juga adanya hubungan dengan masyarakat Tionghoa.
Kisah lain yang menunjukkan adanya pengaruh Cina atas kehidupan kraton yaitu pada saat menjelang akhir pemerintahan raja Mataram yang pertama itu. Pada waktu beliau hampir sampai kepada ajalnya (sudah lanjut usia lagi pula dibuat bersedih hati oleh kelakuan putera mahkotanya sendiri), segala obat-obatan yang diketahui dipergunakan, 'bahkan obat-obatan Cina ...'12)
---
5 Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana, Serat ingkang kaping 2. Reizen van Raden Mas Arjo Poerwo Lelono, Tweede Stuk, Batavia, Ter Lands-Drukkerij, 1866, p 169. Memang ada sebagian orang Tionghoa 'ingkang dateng pinggir radinan saking Kedu' p 171), tetapi kiranya itu justru di jalan Magelang yang sekarang.
6 Dikutip oleh FA Sucipta dalam Beberapa Catatan tentang Pasar di Jawa Tengah (abad 17-18), Stencilan, Kegiatan Ilmiah dan Wisuda Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, 1970, dari Serat Angger Gunung, dalam Roorda, Javaansche Wetten, Amsterdam, 1844, p 173
7 Van Sandick, op cit, p 181. Di Semarang baru dilaksanakan tahun 1852 (lihat Liem Thian Joe, op cit, p 116).
8 Alers (Dilemma in Zuid-oost Azie, p 45). Sangkaan yang bersifat luas sekali itu, yang lebih didasarkan atas. Demikian juga tanya pemikiran teoretis (falsafi) daripada atas fakta anthropologis sosial maupun ekonomis, tidak perlu kita anggap sulit.
9 Alice Dewey berkata bahwa orang Cina menjadi pedagang juga karena 'terpaksa'. 'Thus Chinese are merchants by choice as well as of necessity'. (Peasant Marketing in Java,, p 47, note). Bandingkan juga Fromberg, Verspreide Geschriften, p 775.
10 Purcell, op cit, p 412
11 Poensen, BKI 52, p 301
12 p 313: '8º. Bij eene halfbloed Chineesche ...'
"Komuniti Tionghoa Yogyakarta"…, seri Pertama
Pengantar:
Kisah di bawah ini merupakan cuplikan dari sebuah skripi jadul (digarap tahun 1970) oleh Papi Rayhard berjudul "Komuniti Tionghoa Yogyakarta", [Monografi Minoritas Lokal dengan Focus Sosiologis].
Dan kisah yang menarik ini akan ditayangkan di blog Serba Jadul secara serial. Selamat menikmati…
.
Kota Yogyakarta berkembang seperti semua ‘settlement’ pada lazimnya dari sebuah desa kecil belaka. Kalau melihat bentuknya yang sekarang sukarlah bagi kita untuk mengatakan manakah inti asli daripada kota itu. Rupanya aliran sungai Code sangat mempengaruhi pertumbuhan selanjutnya. Sungai Winanga dan Gajahwong yang baru berperanan pada tahun-tahun akhir ini mengalir melalui kota dan juga turut menentukan bentuknya.
Di sekitar hutan Beringan terdapatlah sebuah desa yang bernama Pacetokan, yaitu desa asli yang merupakan inti Yogyakarta di kemudian hari. Nama hutan Beringan ini masih terjelma dalam nama pasar Beringharjo dan Jalan Paberingan. Kiranya letak hutan itu memang di dekat pasar, atau barangkali lebih tepat di sebelah selatannya, yaitu di keraton yang sekarang. Sebuah dalem yang bernama Gerjitawati berada di sekitar dukuh Pacetokan 1). Pada tahun 1739 (menurut catatan Gegevens) Pakubuwono mengubah nama Gerjitawati menjadi Ayogya. Kita lihat dari situlah berasal nama kota kita di kemudian hari.
Maka secara kasar dapat dikatakan bahwa Yogyakarta telah muncul pada permulaan abad 18. Dalam sumber asli dikatakan bahwa Mangkubumi telah berdiam di dalem itu pada tahun-tahun 1747 dan 1749, di saat ramainya peperangan suksesi di Jawa Tengah. 'Dalem' yang dulunya bernama Gerjitawati itu dibongkar dan dihancurkan oleh mayor Feber dalam tahun 1751. Kami berpendapat bahwa mungkin sekali sudah sejak redanya Perang atau Pemberontakan Cina di Batavia pada tahun 1740, Yogyakarta mulai tampil ke muka. Menarik sekali untuk melihat timbulnya Yogyakarta bila dihubungkan dengan Perang Cina 2). Akan tetapi hubungan kausal langsung barangkali tipis sekali, itupun bila ada.
Sesudah perang suksesi selesai dengan diadakannya Perdamaian Giyanti (13 Pebruari, 1755), maka pembangunan kota segera dimulai. Sementara itu raja yang baru, Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I, tinggal di kraton darurat di sebelah barat Yogyakarta (lima km ke barat), di kraton Ambarketawang yang kini masih menunjukkan sedikit sisanya. Hutan Beringan dibuka pada hari Jumat bulan Rejeb tanggal 2, yaitu perletakan batu pertama kota Yogyakarta. Kraton baru selesai pada tahun tahun Wawu 1681, atau tanggal 2 April, 1756. Tanggal itulah (datum1757 - 'dwi naga rasa tunggal' menurut sengkalan Jawa) tanggal resmi berdirinya kota, sedangkan detail-detailnya termasuk bagian-bagian penting masih menyusul penyelesaian: 1767 Siti Hinggil selesai, dua tahun kemudian Prabayeksa telah siap untuk digunakan.
Menggambarkan pertumbuhan kota Yogyakarta sebagai sebuah kota relatif modern di jaman kita adalah sesuatu yang salah dan anachronistis. Janganlah kita membayangkan adanya “town planner” yang disewa dan dipekerjakan oleh penguasa politik. Sangat mungkin penguasa politik itulah yang menjadi perancang kota, atau lebih tepat kraton.
Semua ibukota negeri Asia, sebelum menangnya pengaruh Barat secara fundamentil, adalah kota kraton. Ayuthia, Lo-yang, Yedo atau kota lainnya lagi adalah kota-kota semacam itu. Biasanya kota pusat pemerintah didampingi oleh pasar sebagai supplier kebutuhan dan rendez-vous hasil bumi serta produksi kebutuhan lain-lain. Pada mulanya Yogyakarta adalah sebuah kota kraton. Nama-nama tempat yang sekarang masih ada mengingatkan kita akan fungsi service atau pelayanan di sekeliling kraton yang membutuhkannya. Gerjen (gerji-tukang jahit), Patehan (tukang teh), Gamelan (gamel-perawat kuda), termasuk kelompok karya atau gilde kraton, sedangkan Gedongan, Prajuritan (tempat serdadu), Kumendaman (tempat perwira / komandan), termasuk kelompok aparatur pemerintahan.
Di atas latar belakang perkembangan inilah harus kita letakkan golongan Tionghoa. Di manakah tempat mereka itu? Hal ini merupakan konyektur historis belaka. Kalau orang Tionghoa berada di daerah itu, boleh dikatakan, bahwa satu-satunya motif atau 'raison d’etre' adalah mencari penghidupan, sinonim dengan perdagangan, (sebab untuk waktu itu pertukangan bagi Yogyakarta boleh jadi belum diperlukan). Dapat diterima kiranya persangkaan bahwa orang Tionghoa mulai berdatangan dan hidup di Yogyakarta sejak kota itu menjadi kota pasar. Kami katakan di atas bahwa kraton sebagai ibukota baiasanya didampingi oleh pasar. Apakah kraton sengaja didirikan mendekati pasar ataukah pasar mengikuti kraton? Pertanyaan ini harus dijawab dengan terbuka. Dalam hal pertama, itu akan berarti bahwa orang Tionghoa mungkin sudah ada di pasar (barangkali di Pingit?) di daerah Yogyakarta sebelum kraton berdiri. Sedangkan dalam hal kedua orang Cina baru akan muncul setelah tahun 1757, sebagai diperkirakan oleh Darmosugito 3).
Akan tetapi sebagai kemungkinan lain ijinkanlah kami mengemukakan pendapat bahwa hal pertama bisa juga terjadi. Kami ajukan sebagai pertimbangan bahwa 'sifat-lebih-keperanak-peranakan Tionghoa' di masa tu, sebagai nanti selanjutnya akan kita lihat, sangat memungkinkan bahwa mereka sudah ada di tempat yang bakal menjadi kota Yogyakarta ini. Apalagi Perang Cina (1740) yang toh mendekatkan golongan Tionghoa dengan pihak kraton pada umumnya sangat mendukung percobaan keterangan kami ini. (Juga De Graaf berkata tentang larinya sisa-sisa pemberontak Tionghoa ke pedalaman, ke 'Zuidergebergte', “pegunungan selatan” (tentunya bukan Gunung Kidul), pasti ke arah sebelah tenggara Batavia). Boleh jadi juga sebelum tahun 1757 sudah ada suatu inti koloni kecil golongan Tionghoa.
Kalau mereka datang di kota baru itu, manakah kira-kira tempat yang mereka huni? Darmosugito menulis:...”dan bagi orang Tionghoa mula-mula di kampung Kranggan, kemudian lambat laun meluas ke sana-sini, terutama ke tempat-tempat yang mempunyai harapan baik dalam perdagangan' 4).
----
1) Kekaburan agak bertambah dengan adanya sumber yang berkata tentang 'bel Pacetokan' (bel atau umbul berarti sumber) atau 'rawa Pacetokan'. Letak bel ini ada di selatan perempatan Kantor Pos Besar. Rawa atau dukuh, tetapi jelas letaknya, kini, yaitu di muka tempat di mana kraton kini berdiri.
2) 'Men mag zeggen, dat hij (ie de opstand van Mangkubumi, RH) uit den Chineeschen opstand ontstaan is, ... ' Crawfurd, Deel III, p 368
3) Menurut hemat kami pendapat Darmosugito ini - sebab tidak menunjukkan sumber- sumber yang dipakainya - tetap tinggal konyektur belaka. Darmosugito berkata dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun: 'Setapak demi setapak melangkah ke arah kemajuan. Orang dari sana-sini datang bergiliran dengan membawa bermacam-macam barang-barang dagangan keperluan sehari-hari. Di antara pedagang-pedagang itu,banyak pula yang terus bertempat tinggal di Ibukota yang baru lahir itu, di antaranya termasuk orang-orang Tionghoa' (op cit, p 23)
4) Darmosugito, ibid
Gitu deh…
Kisah di bawah ini merupakan cuplikan dari sebuah skripi jadul (digarap tahun 1970) oleh Papi Rayhard berjudul "Komuniti Tionghoa Yogyakarta", [Monografi Minoritas Lokal dengan Focus Sosiologis].
Dan kisah yang menarik ini akan ditayangkan di blog Serba Jadul secara serial. Selamat menikmati…
.
Kota Yogyakarta berkembang seperti semua ‘settlement’ pada lazimnya dari sebuah desa kecil belaka. Kalau melihat bentuknya yang sekarang sukarlah bagi kita untuk mengatakan manakah inti asli daripada kota itu. Rupanya aliran sungai Code sangat mempengaruhi pertumbuhan selanjutnya. Sungai Winanga dan Gajahwong yang baru berperanan pada tahun-tahun akhir ini mengalir melalui kota dan juga turut menentukan bentuknya.
Di sekitar hutan Beringan terdapatlah sebuah desa yang bernama Pacetokan, yaitu desa asli yang merupakan inti Yogyakarta di kemudian hari. Nama hutan Beringan ini masih terjelma dalam nama pasar Beringharjo dan Jalan Paberingan. Kiranya letak hutan itu memang di dekat pasar, atau barangkali lebih tepat di sebelah selatannya, yaitu di keraton yang sekarang. Sebuah dalem yang bernama Gerjitawati berada di sekitar dukuh Pacetokan 1). Pada tahun 1739 (menurut catatan Gegevens) Pakubuwono mengubah nama Gerjitawati menjadi Ayogya. Kita lihat dari situlah berasal nama kota kita di kemudian hari.
Maka secara kasar dapat dikatakan bahwa Yogyakarta telah muncul pada permulaan abad 18. Dalam sumber asli dikatakan bahwa Mangkubumi telah berdiam di dalem itu pada tahun-tahun 1747 dan 1749, di saat ramainya peperangan suksesi di Jawa Tengah. 'Dalem' yang dulunya bernama Gerjitawati itu dibongkar dan dihancurkan oleh mayor Feber dalam tahun 1751. Kami berpendapat bahwa mungkin sekali sudah sejak redanya Perang atau Pemberontakan Cina di Batavia pada tahun 1740, Yogyakarta mulai tampil ke muka. Menarik sekali untuk melihat timbulnya Yogyakarta bila dihubungkan dengan Perang Cina 2). Akan tetapi hubungan kausal langsung barangkali tipis sekali, itupun bila ada.
Sesudah perang suksesi selesai dengan diadakannya Perdamaian Giyanti (13 Pebruari, 1755), maka pembangunan kota segera dimulai. Sementara itu raja yang baru, Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I, tinggal di kraton darurat di sebelah barat Yogyakarta (lima km ke barat), di kraton Ambarketawang yang kini masih menunjukkan sedikit sisanya. Hutan Beringan dibuka pada hari Jumat bulan Rejeb tanggal 2, yaitu perletakan batu pertama kota Yogyakarta. Kraton baru selesai pada tahun tahun Wawu 1681, atau tanggal 2 April, 1756. Tanggal itulah (datum1757 - 'dwi naga rasa tunggal' menurut sengkalan Jawa) tanggal resmi berdirinya kota, sedangkan detail-detailnya termasuk bagian-bagian penting masih menyusul penyelesaian: 1767 Siti Hinggil selesai, dua tahun kemudian Prabayeksa telah siap untuk digunakan.
Menggambarkan pertumbuhan kota Yogyakarta sebagai sebuah kota relatif modern di jaman kita adalah sesuatu yang salah dan anachronistis. Janganlah kita membayangkan adanya “town planner” yang disewa dan dipekerjakan oleh penguasa politik. Sangat mungkin penguasa politik itulah yang menjadi perancang kota, atau lebih tepat kraton.
Semua ibukota negeri Asia, sebelum menangnya pengaruh Barat secara fundamentil, adalah kota kraton. Ayuthia, Lo-yang, Yedo atau kota lainnya lagi adalah kota-kota semacam itu. Biasanya kota pusat pemerintah didampingi oleh pasar sebagai supplier kebutuhan dan rendez-vous hasil bumi serta produksi kebutuhan lain-lain. Pada mulanya Yogyakarta adalah sebuah kota kraton. Nama-nama tempat yang sekarang masih ada mengingatkan kita akan fungsi service atau pelayanan di sekeliling kraton yang membutuhkannya. Gerjen (gerji-tukang jahit), Patehan (tukang teh), Gamelan (gamel-perawat kuda), termasuk kelompok karya atau gilde kraton, sedangkan Gedongan, Prajuritan (tempat serdadu), Kumendaman (tempat perwira / komandan), termasuk kelompok aparatur pemerintahan.
Di atas latar belakang perkembangan inilah harus kita letakkan golongan Tionghoa. Di manakah tempat mereka itu? Hal ini merupakan konyektur historis belaka. Kalau orang Tionghoa berada di daerah itu, boleh dikatakan, bahwa satu-satunya motif atau 'raison d’etre' adalah mencari penghidupan, sinonim dengan perdagangan, (sebab untuk waktu itu pertukangan bagi Yogyakarta boleh jadi belum diperlukan). Dapat diterima kiranya persangkaan bahwa orang Tionghoa mulai berdatangan dan hidup di Yogyakarta sejak kota itu menjadi kota pasar. Kami katakan di atas bahwa kraton sebagai ibukota baiasanya didampingi oleh pasar. Apakah kraton sengaja didirikan mendekati pasar ataukah pasar mengikuti kraton? Pertanyaan ini harus dijawab dengan terbuka. Dalam hal pertama, itu akan berarti bahwa orang Tionghoa mungkin sudah ada di pasar (barangkali di Pingit?) di daerah Yogyakarta sebelum kraton berdiri. Sedangkan dalam hal kedua orang Cina baru akan muncul setelah tahun 1757, sebagai diperkirakan oleh Darmosugito 3).
Akan tetapi sebagai kemungkinan lain ijinkanlah kami mengemukakan pendapat bahwa hal pertama bisa juga terjadi. Kami ajukan sebagai pertimbangan bahwa 'sifat-lebih-keperanak-peranakan Tionghoa' di masa tu, sebagai nanti selanjutnya akan kita lihat, sangat memungkinkan bahwa mereka sudah ada di tempat yang bakal menjadi kota Yogyakarta ini. Apalagi Perang Cina (1740) yang toh mendekatkan golongan Tionghoa dengan pihak kraton pada umumnya sangat mendukung percobaan keterangan kami ini. (Juga De Graaf berkata tentang larinya sisa-sisa pemberontak Tionghoa ke pedalaman, ke 'Zuidergebergte', “pegunungan selatan” (tentunya bukan Gunung Kidul), pasti ke arah sebelah tenggara Batavia). Boleh jadi juga sebelum tahun 1757 sudah ada suatu inti koloni kecil golongan Tionghoa.
Kalau mereka datang di kota baru itu, manakah kira-kira tempat yang mereka huni? Darmosugito menulis:...”dan bagi orang Tionghoa mula-mula di kampung Kranggan, kemudian lambat laun meluas ke sana-sini, terutama ke tempat-tempat yang mempunyai harapan baik dalam perdagangan' 4).
----
1) Kekaburan agak bertambah dengan adanya sumber yang berkata tentang 'bel Pacetokan' (bel atau umbul berarti sumber) atau 'rawa Pacetokan'. Letak bel ini ada di selatan perempatan Kantor Pos Besar. Rawa atau dukuh, tetapi jelas letaknya, kini, yaitu di muka tempat di mana kraton kini berdiri.
2) 'Men mag zeggen, dat hij (ie de opstand van Mangkubumi, RH) uit den Chineeschen opstand ontstaan is, ... ' Crawfurd, Deel III, p 368
3) Menurut hemat kami pendapat Darmosugito ini - sebab tidak menunjukkan sumber- sumber yang dipakainya - tetap tinggal konyektur belaka. Darmosugito berkata dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun: 'Setapak demi setapak melangkah ke arah kemajuan. Orang dari sana-sini datang bergiliran dengan membawa bermacam-macam barang-barang dagangan keperluan sehari-hari. Di antara pedagang-pedagang itu,banyak pula yang terus bertempat tinggal di Ibukota yang baru lahir itu, di antaranya termasuk orang-orang Tionghoa' (op cit, p 23)
4) Darmosugito, ibid
Gitu deh…
Jumat, 24 April 2009
Guru Jadul...
Guru adalah sosok yang hebat dan tokoh idola yang sangat kita kagumi. Pagi-pagi setiap guru datang kita selalu berebutan mengambil sepedanya. Yang tidak kebagian sepeda berebut membawakan tasnya. Sisanya berbaris seperti pager ayu sambil mengucapkan “Selamat pagi pak Harno” atau “Selamat pagi bu Yati”. Sepeda guru rata-rata sepeda mahal, seperti : Humber, Gazelle, Fongers, yang memakai versnelling dan kalau jalan bunyinya cik ….cik…cik…..merdu sekali.
Guru saya klas 6 dulu namanya pak Harno. Kalau mengajar selalu memakai hem lengan panjang yang disetrika halus merk Columbus atau Sanforized, merk-merk yang lagi nge-tren waktu itu. Gaji guru SR tahun 50-an sekitar Rp600,-, untuk indekost dan segala kebutuhan sehari-hari sebulan tidak menghabiskan Rp200,-. Bisa dibayangkan kalau punya anak perempuan dilamar mas guru pasti langsung diberikan. Profesi guru benar-benar profesi yang terpandang….
Begitulah kesan Papa Doni di: http// roesharyanto.blogspot. com tentang guru jadul.
Pepatah Jawa..., KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG
Pepatah Jawa ini secara harafiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung alias kepincut WIL (wanita idaman lain).
Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita lain.
Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh WIL itu sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui si WIL akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.
Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nampaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu ada ancaman terhadap ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri.
Gitu deh…
(Namun jaman sekarang sudah jarang sekali wanita berkain jarit dan berambut gelung. Kalaupun ada, tentunya wanita itu…., nenek2. He he he…)
Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita lain.
Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh WIL itu sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui si WIL akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.
Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nampaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu ada ancaman terhadap ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri.
Gitu deh…
(Namun jaman sekarang sudah jarang sekali wanita berkain jarit dan berambut gelung. Kalaupun ada, tentunya wanita itu…., nenek2. He he he…)
Kamis, 23 April 2009
Kerupuk…, kriuk kriuk
Asyiknya makan krupuk, karena dia itu “kriuk2”. Jadi kalau krupuk itu melempem alias tidak kriuk lagi…, ya kagak asyik deh.
Entah dari mana asal si krupuk itu, yang terang sejak jaman baheula saya sudah biasa menikmatinya. Wis tho, pokoknya kalau makan tidak disertai lauk krupuk, rasanya kurang afdol, kurang marem dan yang pasti kurang kriuk…
Dan untuk menjaga agar tidak melempem, biasanya kerupuk itu ditempatkan di wadah kaleng. Wadah kaleng itu modelnya begitu khas, juga berwarna warni, ada merah, biru, kuning, hijau, dan dikenal dengan sebutan kaleng kerupuk. O ya, satu sisi kaleng kerupuk itu sengaja dibuat “berkaca”, agar kita bisa mengintip isinya dan…, ngiler dah.
Tapi kenapa sih kok kerupuk bisa melempem dan lembek? Katanya sih itu lantaran kerupuk mengandung garam. Dan garam itu punya sifat higroskopis alias memiliki kecenderungan “menyerap” air atau uap air. Padahal uap air khan ada di mana-mana di sekeliling kita. Jadi kerupuk otomatis akan ”menyerap” uap air tersebut. Akibatnya jadi lembek alias melempem lah kerupuk kita.
Kaleng kerupuk yang tertutup rapat sudah cukup untuk menjaga agar kerupuk tidak menyerap air. Kalau gitu, habis ambil kerupuk, jangan lupa tutup lagi kalengnya. Dan soal “menjaga isi kaleng” inilah yang kadang kita masih lupa. Kita pintar dan bisa membuka serta mengambil isi, tapi masih saja sering tidak ingat untuk memelihara yang tersisa, membiarkan kaleng tetap terbuka tak ditutup lagi. Akibatnya ya rusaklah semuanya dan orang lain terpaksa melongo…, tidak kebagian kerupuk kriuk kriuk kriuk.
Gitu deh…
Tugu Jogja.., kini tak lagi golong gilig
Tugu Jogja merupakan landmark Kota Jogjakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jenderal Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Jogjakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig. Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Jogjakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin lagi pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Jogjakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Gitu deh…
Sumber: Yogyess.com
Jogjakarta…, Tata Ruang
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Jogjakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton, penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan, penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam…
Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender perempuan) dan benih manusia (wiji; dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak), kemudian memasuki masa remaja (enom; sinom; dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asem atau asam jawa) dan penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung).
Setelah melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya (dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur).
Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada tahap saling menyukai lawan jenis, yang kemudian dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki (dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang berbunga merah).
Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya, mengucur deraslah “benih” atau sperma menjumpai “telor” atau ovum (kaderesan sihing sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana), sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia dewasa.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton sektor utara melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal Putih). Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya; dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara).
Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama – Malioboro - Margamulya).
Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang).
Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung Merapi). Sultan sebagai multi pemimpin, baik dalam bidang politik kenegaraan, kemasyarakatan, kebudayaan, maupun keagamaan (Sayidin Panatagama, Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara), sosio-budaya (disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian (disimbolkan dan berwujud Pasar Beringharjo).
Begitulah kata Sapujagat si sumber berita.
Tapi omong2, Tugu Golong Gilig atau yang biasa disebut juga Tugu Pal Putih kok bentuknya tidak gilig melainkan bersegi segi. Kenapa begitu? Piye Jal?
Rabu, 22 April 2009
Jogjakarta…, Daerah Istimewa
Jogjakarta merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Sejak Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Negari Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan politik atas dominasi Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh perjuangan Pangeran Diponegoro, berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Perempuan, Kongres Pemuda I, kemudian menjelang dan setelah proklamasi — rentetan peristiwa di saat-saat genting dalam mempertahankan eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu — hingga gerakan pendorong lahirnya reformasi. Seluruh rentetan peristiwa itu menunjukkan betapa rakyat Jogjakarta memiliki, memegang teguh, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejuangan dan kebangsaan. Segera setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim telegram ucapan selamat dan dukungan atas berdirinya Negara Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu juga ternyata Presiden Sukarno menandatangani Piagam Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kedudukannya sebagai Pemimpin Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, yang oleh Presiden Repubilk Indonesia keduanya dipercaya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Jogjakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara sendiri-sendiri pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Indonesia, dan kedua pemimpin tetap menjadi kepala negeri masing-masing yang bersifat kerajaan; dan negerinya itu merupakan Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia. Hubungan kedua negeri tersebut dengan Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua pemimpin Jogjakarta itu bertanggung jawab secara langsung atas negeri masing-masing kepada Presiden Republik Indonesia. Maklumat kedua pemimpin Jogjakarta itu mendapat sambutan baik dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta. Tanggal 6 September 1945, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis menyerahkan ”Piagam Penetapan Kedudukan” yang telah ditandatangai Presiden Sukarno pada tanggal 19 Agustus 1945 itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII.
Ketika Jakarta kurang aman, ibu kota negara dipindahkan ke Jogjakarta atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di Jogjakartalah eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu dipertaruhkan dan dengan mati-matian dipertahankan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, para birokrat, para diplomat, para pejuang bersenjata, dan seluruh rakyat Jogjakarta bahu-membahu menegakkan Republik Indonesia dengan pengorbanan pikiran, tenaga, harta benda, bahkan nyawa. Semua itu dipersembahkan tampa pamrih (sepi ing pamrih) demi tegaknya eksistensi Negara Republik Indonesia. Semangat berani dan rela berkorban, kesetiakawanan sosial (solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti), persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya) baik antar pemimpin, antar rakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa kebangsaan (nasionalisme), dan kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara (sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja wutahing ludira) merupakan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat Jogjakarta.
Partisipasi warga Jogjakarta dalam pemperjuangkan dan dengan gigih mempertahankan tegaknya kemerdekaan dan eksistensi negara Republik Indonesia itu dilandasi oleh kesadaran bahwa dalam diri tiap-tiap warga tertanam perasaan memiliki negara ini (duwé rasa handarbèni), sehingga apabila terjadi sesuatu yang dapat mengancam, merusak, atau bahkan merobohkan kedaulatan negara, warga Jogjakarta siap berjuang sampai titik darah yang penghabisan (wani mèlu hangrungkebi). Setiap warga Jogjakarta senantiasa mawas diri dan berusaha keras memberi kontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara (mulat salira hangrasa wani).
Gitu deh…
Sumber: Sapujagat
Pengemis Jalanan. Teruk sangatkah?
(Dari: shamq.blogspot.com/)
Salams guy.
Ya, kali ini aku hendak ceritakan apa yang membuatkan hatiku berdetik pada hari ahad lepas. Pengemis Jalanan. Teruk sangatkah? Ketika aku sedang berjalan seorang diri di sekitar kaki lima yang sarat dengan orang lalu-lalang.
Di suatu sudut mataku terpaku, terlihat seorang perempuan tua sedang duduk dengan kakinya dirapatkan ke dada sambil menghulurkan sebuah cawan kertas kepada orang ramai yang lalu di hadapannya. Ramai di antara mereka yang lalu hanya sekadar lalu dan memandang ke hadapan, ada juga yang berjalan tergesa-gesa dan ada yang disebaliknya.
Aku lihat bertapa uzurnya wanita itu. kalau tidak kerterlaluan boleh aku gredkan sebagai nenek kepadaku... Dengan bertempeknya "tampal koyok" besar di dahinya dan juga kakinya, wanita itu tetap setia duduk di situ walaupun di masa itu hujan mula menitiskan airnya.
Ya Allah, berkata aku di dalam hati, hampir menitis air mata jantan aku pada masa itu. Di manakah anak-anak wanita ini, dari mana asalnya, sudah makankah dia, mengapa dia di sini...??! Itu soalan yang bermain di kepala otakku.
Memang tidak di nafikan, di Malaysia ini, di ceruk mana sekalipun insan yang bergelar "Pengemis Jalanan" ini sentiasa ada di sekeliling kita. Cuma kita kadang-kadang menafikan kewujudan mereka.
Ada di antara kita beranggapan yang mereka ini "Langau", "Pengibuk/Pengacau" dan sebagainya. Sampaikan mereka ini kadang-kadang merimaskan kita. Yang lebih ketara "mereka" yang jenis datang dari meja ke meja ketika kita sedang menjamu selera, atau kita sedang menaiki bus... pendek kata, di mana sahaja pasti terlihat kelibat "Pengemis" ini... dan yang lebih utama, sampaikan kita tertanya-tanya betulkah mereka ini pengemis???
Walau apa pun anggapan kita terhadap mereka, ingatlah mereka pun manusia juga, sama seperti kita, cuma nasib mereka berbeza. Percayalah, tiada insan yang ingin di fitrahkan sebegitu.
(Dimas Anto: "Ya, tidak dulu tidak kini, tidak di sana tidak di sini, pengemis masih saja ada. Piye Jal?")
Salams guy.
Ya, kali ini aku hendak ceritakan apa yang membuatkan hatiku berdetik pada hari ahad lepas. Pengemis Jalanan. Teruk sangatkah? Ketika aku sedang berjalan seorang diri di sekitar kaki lima yang sarat dengan orang lalu-lalang.
Di suatu sudut mataku terpaku, terlihat seorang perempuan tua sedang duduk dengan kakinya dirapatkan ke dada sambil menghulurkan sebuah cawan kertas kepada orang ramai yang lalu di hadapannya. Ramai di antara mereka yang lalu hanya sekadar lalu dan memandang ke hadapan, ada juga yang berjalan tergesa-gesa dan ada yang disebaliknya.
Aku lihat bertapa uzurnya wanita itu. kalau tidak kerterlaluan boleh aku gredkan sebagai nenek kepadaku... Dengan bertempeknya "tampal koyok" besar di dahinya dan juga kakinya, wanita itu tetap setia duduk di situ walaupun di masa itu hujan mula menitiskan airnya.
Ya Allah, berkata aku di dalam hati, hampir menitis air mata jantan aku pada masa itu. Di manakah anak-anak wanita ini, dari mana asalnya, sudah makankah dia, mengapa dia di sini...??! Itu soalan yang bermain di kepala otakku.
Memang tidak di nafikan, di Malaysia ini, di ceruk mana sekalipun insan yang bergelar "Pengemis Jalanan" ini sentiasa ada di sekeliling kita. Cuma kita kadang-kadang menafikan kewujudan mereka.
Ada di antara kita beranggapan yang mereka ini "Langau", "Pengibuk/Pengacau" dan sebagainya. Sampaikan mereka ini kadang-kadang merimaskan kita. Yang lebih ketara "mereka" yang jenis datang dari meja ke meja ketika kita sedang menjamu selera, atau kita sedang menaiki bus... pendek kata, di mana sahaja pasti terlihat kelibat "Pengemis" ini... dan yang lebih utama, sampaikan kita tertanya-tanya betulkah mereka ini pengemis???
Walau apa pun anggapan kita terhadap mereka, ingatlah mereka pun manusia juga, sama seperti kita, cuma nasib mereka berbeza. Percayalah, tiada insan yang ingin di fitrahkan sebegitu.
(Dimas Anto: "Ya, tidak dulu tidak kini, tidak di sana tidak di sini, pengemis masih saja ada. Piye Jal?")
Selasa, 21 April 2009
Pijat Tradisional
Pijat tradisional…, ya, itu merupakan istilah untuk pijat ala tempo doeloe, ala jadul. Urusan memanjakan diri dengan pijatan ini sudah dikenal sejak jaman baheula. Tidak peduli kalangan jelata ataupun bangsawan, semua mereka melakukannya dan menikmatinya. Habis dipijat, pegel linu pun hilang, badan terasa hangat dan segar.
Dulu, para putri kraton juga gemar pijat. Tidak sekedar dipijat untuk menghilangkan penat tapi juga sembari merawat badan. Aneka bunga2 wangi dan rempah2 hangat digunakan untuk membalur seluruh tubuh.
Sekarang, pijat tradisional gaya kraton itu masih lestari, dengan nama baru yang terkesan keren yakni: SPA. Pelestari budaya kraton seperti Ibu Mooryati Soedibyo telah mengembangkan usaha spa ini, tidak hanya di dalam negeri namun juga ke luar negeri.
Tapi ada juga sih muncul di banyak tempat, panti2 pijat yang selain menghidangkan menu pijat tradisional juga melayani menu pijat plus. Lha menu plusnya itu kayak apa…, entahlah.
Gitu deh…
Senin, 20 April 2009
Blue Jeans
Blue Jeans, celana berbahan kain denim itu mulai populer di Indonesia sekitar tahun 70 an. Dan yang paling terkenal adalah merek Levi’s. Pada waktu itu kalau seseorang sudah bisa membeli dan memakai jean Levis itu, rasanya sudah top dah. Soal kedodoran, karena dirancang untuk ukuran orang bule, tidak jadi soal. Toh bisa dipermak di tukang permak Levis.
Jeans levis itu awet, karena memang terbuat dari kain yang kuat. Dan tentang sejarahnya, kita dengan mudah dapat menengoknya di Google.
Sampai sekarang pun, blue jeans tetap digemari, tidak hanya oleh anak2 muda tapi juga oleh kita2 generasi jadul ini. Soalnya memang enak sih dipakainya (dan dilihatnya). Hingga sobek2 di sana sini dan warnanya sudah pudar pun orang masih mengenakannya.
Blue jeans model sekarang tidak hanya berwarna biru, tapi ada juga blue jeans(?) merah, hitam, hijau dsb. Mereknya juga beraneka, bukan hanya merek Levi’s saja. Dan lihatlah ketika Madonna atau Britney Spears memakai jeans ketat…, wow, terlihat sexy.
Gitu deh...
Minggu, 19 April 2009
Antimo…, obat anti mabok
Tidak dulu tidak sekarang, perkara mabuk darat, laut dan udara, itu sudah biasa. Dan mabuk jenis ini tidak mengenal kasta. Mau orang ndeso kek, atau orang gedongan kek, kalau wayahnya mabuk, ya mabuk aja. Tapi untungnya ada obat penangkal mabuk yang kita kenal sejak dulu yaitu Antimo.
Ya…, Antimo. Begitu mengemukanya merek itu sehingga saya sampai tidak tahu apakah ada obat anti mabuk yang lain selain merek itu. Ini menarik perhatian saya, sehingga saya ingin tahu lebih jauh siapakah sesungguhnya gerangan si antimo itu. Ini bukan promosi, tapi sungguh2 karena didorong oleh rasa penasaran., e.., kok ya ada produk yang benar2 kuat dan berhasil menanamkan brand image nya ke kepala kita2.
Dan kesimpulannya, Antimo bisa tetap berjaya di ceruk pasar sejak pertama kali diluncurkan sampai sekarang karena menjadi pemenuhan kebutuhan dari masyarakat yang menginginkan perjalanan dengan nyaman tanpa gangguan mual atau muntah. Antimo memiliki produk yang berkualitas dan manjur, harga terjangkau, mudah diperoleh di berbagai tempat, dan berhasil merebut hati konsumen Indonesia dengan jingle iklan khas Antimo sehingga brand awareness Antimo menjadi sangat kuat.
Masih ingat dengan jingle lagu ini:
Antimo obat antimabuk. Mabuk darat laut dan udara. Minumlah sebelum bepergian. Antimo menggembirakan perjalanan Anda…
Gitu deh…
Permen Karet
Kegiatan mengunyah permen karet dapat dijadikan alternatif pengganti ngemil, karena permen karet tersebut menyediakan kalori yang lebih rendah (5-10 kalori) dibandingkan dengan makanan ringan. Penelitian lain menunjukkan, permen karet dapat mengurangi rasa lapar, mengurangi keranjingan makanan yang manis-manis,. Dan penelitian lainnya lagi menunjukkan bahwa kegiatan mengunyah permen karet dapat menjadi saluran pelepas ketika orang merasa marah atau frustasi. Maksudnya orang akan merasa lebih rileks saat mengunyah permen karet, gitu loh…
Tapi siapakah orang yang pertama kali menemukan permen karet? Bagaimana asal usulnya? Nah kisahnya begini. Konon permen karet pertama kali ditemukan oleh seorang Amerika bernama Thomas Adams, pada tahun 1872. Kisah bermula ketika di tahun 1870, Thomas Adams mendapatkan sepotong karet yang biasa dikunyah oleh suku Indian Meksiko.
Dua tahun lamanya (1870-1872) ia mencoba meneliti apakah bahan yang kenyal itu bisa juga digunakan seperti karet biasa? Ternyata tidak! Usaha Adams sia-sia. Karena frustasi akhirnya ia kunyah saja sepotong karet itu, meniru kelakuan orang2 Indian itu. Ee...asyik juga ternyata.
Selanjutnya dia mencoba menjual penemuannya itu ke sebuah perusahaan, namun ditolak. Dari situ Adams mencoba memproduksi sendiri, dan akhirnya perusahaan permen karet si Adams cukup terkenal dan terus berkembang hingga menjadi sebuah perusahaan permen karet terkenal di Amerika Serikat.
Kitapun telah mengenal permen karet sejak dulu. Bahkan biasa juga permen itu kita emut kemudian kita tiup, kita bikin jadi balon. Kalau udah bosan ngunyah, permen itu lalu kita buang atau kita tempelkan di sembarang tempat. Betul?
Gitu deh…
Jumat, 17 April 2009
Bangku Sekolah
Anak Mbarep dan Ibunya...
Anak mbarep, itu istilah bahasa Jawa yang artinya anak sulung, anak pertama. Ya, inilah potret kemesraan antara ibu dan anak sulungnya. Dipotret sekian puluh tahun lalu.Dan siapa sangka si anak mbarep itu kini juga sudah beranak. Dan tentu saja sang ibu menjelma jadi nenek. Tapi jangan dikira kalau sudah nenek terus jadi jadul. Nenek yang satu ini tetap saja..., nyentrik en kontemporer. Hobinya juga unik, yaitu ngurusi saxophone. Bahkan kadang juga mereparasi, matri2 dsb. Wis jan...
Rabu, 15 April 2009
Mbak Poppy dan layang2
Teman main masa kecilku adalah mbakyu sepupu, mbak Poppy namanya. Dia tomboy, mainannya bukan boneka tapi sebangsa layangan, nekeran, "umbul" dsb.
Bab "ngulukke" layangan dia jagonya. Jadi kalau main layangan, dia yang "ngundo" sementara saya..., "mblendrong" alias cuma nggulung benang (Apa enaknya?). Dikala situasi langit anteng, tak ada musuh, saya boleh "pegang" kendali, tapi giliran ada lawan, mbak Poppy segera ambil alih.
Layangan digeleng gelengkan ke kiri dan ke kanan, nyirak nyiruk meliuk liuk cari posisi yang enak untuk berlaga. Posisi bisa di atas, bisa di bawah, benang bisa ditarik, bisa diulur dst. Wis pokoke sip. Sekedar nonton pun rasanya asyik.
Hingga pada suatu ketika mbak Poppy tiba tiba tidak mau lagi diajak main layangan. Saya mangkel, jengkel en sebelll. Tapi kemudian saya bisa mengerti, oo..., mbak Poppy sudah gede, sudah dara, sudah bukan lagi kanak kanak. Ya sudah....
Jadilah saya terbangkan layang2 itu sendiri. Meskipun banyak "musuh" di udara, tapi saya tidak khawatir. Soalnya layang2 saya berbuntut, saya pasangi ekor sebagai kode..., jangan diserang lho.
Gitu deh...
Bab "ngulukke" layangan dia jagonya. Jadi kalau main layangan, dia yang "ngundo" sementara saya..., "mblendrong" alias cuma nggulung benang (Apa enaknya?). Dikala situasi langit anteng, tak ada musuh, saya boleh "pegang" kendali, tapi giliran ada lawan, mbak Poppy segera ambil alih.
Layangan digeleng gelengkan ke kiri dan ke kanan, nyirak nyiruk meliuk liuk cari posisi yang enak untuk berlaga. Posisi bisa di atas, bisa di bawah, benang bisa ditarik, bisa diulur dst. Wis pokoke sip. Sekedar nonton pun rasanya asyik.
Hingga pada suatu ketika mbak Poppy tiba tiba tidak mau lagi diajak main layangan. Saya mangkel, jengkel en sebelll. Tapi kemudian saya bisa mengerti, oo..., mbak Poppy sudah gede, sudah dara, sudah bukan lagi kanak kanak. Ya sudah....
Jadilah saya terbangkan layang2 itu sendiri. Meskipun banyak "musuh" di udara, tapi saya tidak khawatir. Soalnya layang2 saya berbuntut, saya pasangi ekor sebagai kode..., jangan diserang lho.
Gitu deh...
Layang2 benang panjang
Siapa dari kita yang tidak mengenal layang2? Saya rasa semua kita mengenalnya. Ya, layang2 sudah menjadi permainan anak2 di segenap pelosok sejak dulu hingga sekarang. Dan konon asal mula layang2 itu dari negeri Tiongkok sekitar 3000 tahun yang lalu, kemudian disebarkan oleh para pedagang Portugis ke seluruh dunia.
Oh ya di Indonesia juga terdapat musium Layang-layang lho, letaknya di Jakarta, persisnya di Jl. Haji Kemang No. 38 Pondok Labu Jakarta Selatan. Katanya, di sana kita bisa melihat berbagai jenis layang-layang baik yang tradisional hingga yang moderen, bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga dari seluruh mancanegara.
Gitu deh…
Selasa, 14 April 2009
UMBUL.., mainan anak2 jadul.
Dari Majalah Elektronik Papyrus
http://members7.boardhost.com/Rayman/
Papi RH menulis tentang dolanan anak2 jaman dulu sbb:
Gambar umbul biasanya gambar-gambar tokoh wayang. Kemudian juga gambar-gambar bermacam memedi, dengan rambut geni dan begejil lain dsb. Cara bermain bisa sekedar diumbulke, atau dihempaskan ke dinding. Biasanya gambar yang berukuran lebih besar sedikit daripada prangko itu dilipat supaya lebih sulit untuk memperlihatkan gambarnya ke menghadap ke atas. Kalau setelah dilipatpun masih menengadah, maka kemenangan akan lebih berharga.
(Tidak cukup dengan itu, maka beliau tambahi lagi dengan tulisan versi bahasa Jawa sbb:)
Kala kula TK lan SD rumiyin kathah dolanan (mainan anak) tradisional ingkang sak menika sampun awis utawi malah sampun punah. Langkung-lamgkung wonten ing jaman teknologi maju punika kathah dolanan modern ingkang dipun damel saking negri sanes. Jaman rumiyin wonten maneka warna dolanan khas jawa. Salah satunggalipun ingkang rumiyin kondang inggih punika gambar umbul wayang.
Gambar punika dipun wastani gambar umbul amargi cara mainipun gambar dikempalaken lan diumbulaken. Gambar lajeng dawah wonten siti, ingkang mengkureb diwastani sampun mati, lan ingkang mlumah diumbulaken malih dumugi wonten salah satunggaling gambar ingkang menang diwastani “ijen” amargi gambar sanesipun sampun mati lan gambar setunggal punika ngijeni ingkang taksih gesang.
Kadangkala wonten lare ingkang urik utawi curang kanthi nempelaken kalih gambar ingkang sami wolak walik sahingga mboten nate mati, amargi wolak-walik gambaripun sami. Istilahipun “gemblek”.
Gitu deh...
Jadul tapi mesra
Kemarin saya mampir makan di Mc. D. Suasana cukup ramai. Di ambang pintu terlihat masuk sepasang kakek nenek, berjalan saling tuntun menuju bangku kosong di meja sebelah. Mereka nampak mesra.
Sang kakek memesan makanan, sebuah hamburger, seporsi kentang goreng dan segelas minuman plus dua sedotan. Kemudian hamburger dan kentang dibaginya menjadi 2 bagian sama rata. Separo untuk nenek, separo untuk dirinya. Saya memperhatikan dan berkomentar dalam hati: "Wuihh..., bisa dicontoh ni ye. Udah sepuh, udah jadul tapi masih mesra."
Yang mengherankan, ketika kakek asyik menyantap makanannya, sang nenek cuma memperhatikan saja. Sampai kakek selesai makan, mengelap mulut dengan tisu, nenek belum juga menyentuh makanan bagiannya. Tak tahan heran sayapun bertanya:
"Lho, kok nenek tidak makan?"
Dengan tersipu nenek menjawab:
"Saya lagi nungguin gigi. Gantian sama kakek"
"Woallaaah..."
Kamera Ria TVRI 1973
Rabu, 08 April 2009
Potret Jaman Edan..., Polisi Tidur
Soal Polisi Tidur, semua kita juga tahu. Itu lho, aral yang melintang-lintang di jalanan kelas kambing. Olehnya kita, para pengendara kendaraan, dihardik seolah kita ini pengendara yang tidak tahu diri, ngebut di jalan kampung seenak udel sendiri. Olehnya kita dipaksa untuk melambatkan laju kendaraan. “Nah, begitu! Ini jalan milik publik, banyak orang lalu lalang dan banyak anak-anak bermain”. Begitu kira-kira pesannya.
Tapi apakah betul kita ini pengemudi tak tahu diri? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Yang pasti kita telah diprotes..., dengan polisi tidur itu. Makin keras bentuk protes, makin nungging tidurnya dan semakin rapat jarak satu sama lainnya. Dikala melintas, rasanya..., gajluk-gajluk..., sangat menyebalkan.
Seandainya para pelintas tahu diri, tentu tak akan ada protes seperti itu, tentu tak akan ada polisi tidur. Tapi nyatanya..., ada banyak polisi tidur dibuat dan ada di mana-mana.
Dari keberadaan polisi tidur, kita dapat menangkap gambaran betapa rusaknya basis hidup bersama yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran masing-masing warganya untuk tahu aturan. Dan ketika perkara baik-buruk, benar-salah tidak lagi digubris, itulah jaman yang dinamakan jaman edan, jaman kalatida, kata seniman WS Rendra.
Polisi tidur, juga mengungkapkan bahwa tidak ada lagi kepercayaan atas kesadaran masing-masing warga. Semua orang dianggap kunyuk yang tidak tahu diri dan aturan, maka perlu dipaksa supaya sadar aturan.
Tapi mengapa bisa terjadi krisis seperti itu, krisis etika, tata nilai dan akal sehat? Apakah karena pendidikan “budi pekerti” yang terabaikan selama puluhan dasa warsa? Atau karena tidak ada lagi contoh teladan, tidak ada guru keteladanan?
Sekali lagi menurut WS Rendra, erosi tata nilai terjadi di segala lapisan, atas dan bawah. Kini tak ada lagi atau tipis nurani moral untuk mengambil keputusan baik bagi diri sendiri maupun sesama. Aneka bentuk pemaksaan alias main hakim sendiri sangat kerap terjadi. Apa memang sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap hakim/hukum? Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang praktek itu.
Mau diatasi dengan menelorkan lagi banyak aturan? Saya pikir bukan ini solusinya. Semakin banyak aturan akan semakin banyak pula pelanggaran lewat celah-celahnya. Demikian seterusnya sehingga kita akan terjebak dalam urusan membuat hukum dan aturan tetapi tidak membereskan akar permasalahannya, yaitu moralitas!
“Sadar dan waspada, jangan ikut-ikutan” kata Ronggowarsito. Dan meskipun itu peryataan jadul namun dalam hal ini beliau sangat benar.
Gitu deh…
Tapi apakah betul kita ini pengemudi tak tahu diri? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Yang pasti kita telah diprotes..., dengan polisi tidur itu. Makin keras bentuk protes, makin nungging tidurnya dan semakin rapat jarak satu sama lainnya. Dikala melintas, rasanya..., gajluk-gajluk..., sangat menyebalkan.
Seandainya para pelintas tahu diri, tentu tak akan ada protes seperti itu, tentu tak akan ada polisi tidur. Tapi nyatanya..., ada banyak polisi tidur dibuat dan ada di mana-mana.
Dari keberadaan polisi tidur, kita dapat menangkap gambaran betapa rusaknya basis hidup bersama yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran masing-masing warganya untuk tahu aturan. Dan ketika perkara baik-buruk, benar-salah tidak lagi digubris, itulah jaman yang dinamakan jaman edan, jaman kalatida, kata seniman WS Rendra.
Polisi tidur, juga mengungkapkan bahwa tidak ada lagi kepercayaan atas kesadaran masing-masing warga. Semua orang dianggap kunyuk yang tidak tahu diri dan aturan, maka perlu dipaksa supaya sadar aturan.
Tapi mengapa bisa terjadi krisis seperti itu, krisis etika, tata nilai dan akal sehat? Apakah karena pendidikan “budi pekerti” yang terabaikan selama puluhan dasa warsa? Atau karena tidak ada lagi contoh teladan, tidak ada guru keteladanan?
Sekali lagi menurut WS Rendra, erosi tata nilai terjadi di segala lapisan, atas dan bawah. Kini tak ada lagi atau tipis nurani moral untuk mengambil keputusan baik bagi diri sendiri maupun sesama. Aneka bentuk pemaksaan alias main hakim sendiri sangat kerap terjadi. Apa memang sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap hakim/hukum? Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang praktek itu.
Mau diatasi dengan menelorkan lagi banyak aturan? Saya pikir bukan ini solusinya. Semakin banyak aturan akan semakin banyak pula pelanggaran lewat celah-celahnya. Demikian seterusnya sehingga kita akan terjebak dalam urusan membuat hukum dan aturan tetapi tidak membereskan akar permasalahannya, yaitu moralitas!
“Sadar dan waspada, jangan ikut-ikutan” kata Ronggowarsito. Dan meskipun itu peryataan jadul namun dalam hal ini beliau sangat benar.
Gitu deh…
Selasa, 07 April 2009
KOLEKSI JADUL..., SAXOPHONE JADUL
Segera sesudah masa berlaku hak patent Adolphe Sax untuk saxophone buah karyanya habis pada tahun 1866, industri pembuat alat musik lain memproduksi saxophone juga. Modifikasi yang pertama kali mereka lakukan pada disain saxophone adalah menambahkan satu lubang nada untuk nada rendah Bb. Tambahan lubang nada rendah itu ditempatkan di bagian “bell”, sehingga bell saxophone kini menjadi lebih panjang. Disain baru dengan bell atau corong yang lebih panjang ini kemudian diadopsi oleh semua saxophone moderen.
Jadi kalau kita tilik potret saxophone antik jenis alto merek Couesnon ini dari model corongnya, boleh dikata saxophone Couesnon ini merupakan produk buatan akhir abad 18, karena corongnya masih pendek, nada paling rendahnya masih B, belum sampai nada Bb.
Selain moncong atau corongnya yang pendek, ciri lain yang dapat menunjukkan bahwa saxophone itu produk jadul, produk jaman dulu, adalah Spatula Key atau tombol untuk nada C dan D# rendah, yang modelnya masih polos alias belum menggunakan “roller”. Begitu juga model Table Key nya, masih polos. Tombol oktaf nya juga masih meggunakan sistim dua tombol, belum otomatis pakai satu tombol seperti disain saxophone sekarang.
Gitu deh...
Senin, 06 April 2009
Pisau Cukur Jadul.., Damascene Razor
Pisau cukur model pisau lipat sekarang sudah ketinggalan jaman, sudah jadul. Brewok kini tak lagi dikerok menggunakan pisau yang bisa membahayakan itu, melainkan pakai alat cukur moderen yang lebih aman.
Dan omong2 soal kolesi pisau cukur brewok jadul ini, ada lho yang harganya mencapai 300 juta rupiah, yaitu Damascene Razor yang dibuat dari 128 lapisan besi serta dilapisi platinum. Pisau Damaskus ini mahal karena material metalnya sangat spesial. Dan kalau pengin tehe sejarahnya, silahkan ikuti bacaan dibawah ini dalam versi bahasa Inggris.
History of Damascus Stell.
Traditional Damascus steel, also known as pattern weld or Damascene, was first produced over two thousand years ago. It has lived in legend and is referred to as the steel of the ancients. Damascus swords and knives dominated the weapon industry from the Iron Age to the Viking age. Alexander the Great was said to have a Damascus sword, and even Aristotle commented on the high quality of the Damascus steel blade. Its origins can be traced back as far as 500 A.D. In India, it was called Telangana, Wootz or Ukku steel. It then found its way to Damascus, Syria, which was the center of trade in the region. It was the trade center for war equipment such as knives, swords and armor. However, Damascus steel had been a lost technology since the early 1700's up until the mid 1970's.
Damascus steel combines low and high carbon steels. These steels are folded and forge welded together. The fold-forge cycle is repeated until a large number of layers is obtained. It is then etched to bring out the beautiful grain pattern. This process produces blades with extraordinary toughness and edge-holding ability. The edge of a Damascus blade contains tiny saw-tooth carbides which enables the blade to cut, even if it feels dull to the touch. The flexibility of Damascus is superb. Every piece of Damascus steel is as unique as a finger print
Gitu deh...
Minggu, 05 April 2009
Tamu Kita..., pak Jacky Mardono
Pengantar:
Telah hadir di galeri serba jadul ini, tamu istimewa kita yang sarat dengan pengalaman istimewa pula. Beliau adalah pak Jacky Mardono, ex SMA de Britto tahun ’53, ex Police, ex ini dan ex itu. Wis tho pokoknya pasti seabreg deh pengalaman beliau yang unik dan spesial yang siap disampaikan kepada kita. Yuk, kita simak cerita perdananya.
Riau, 1962.
Sebagai perwira intel Polda Riau, saya dapat tugas untuk mengatasi pemogokan buruh Caltex, di Duri Riau. Karena mereka sudah melakukan pengrusakan, saya mendapat back up 1 pleton Brimob. Berangkat dari Pekanbaru sudah jam 19.00.
Setelah melalui detik2 yang menegangkan, situasi dapat dikendalikan. Karena hari sudah larut malam, saya putuskan untuk bermalam saja di Duri. Kami tidur dalam barak yang kebetulan kosong.
Saya baru saja mau membuka tali sepatu, ketika komandan pleton mendekati saya.
"Siap komandan, ijin melapor."
Saya sempat tersirap, saya pikir ada sesuatu yang genting.
"Ya, ada apa?"
"Siap komandan, anggota mau buang air besar, tetapi tidak tahu di mana tempatnya."
"Lho itu yang berjejer di muka pancuran kan WC semua ...."
Sayapun berdiri dan komandan pleton mengikuti saya. Sampai di muka deretan shower, kepada Danton saya jelaskan.
"Ini namanya kloset. Mau pakai, buka dulu tutupnya. Plorotkan celanamu, terus duduk. Awas jangan jongkok. Bisa pecah. Kalau pecah, barangmu juga bisa ikut pecah. Beri petunjuk anak buahmu."
"Siap komandan, petunjuk dilaksanakan."
Alhamdullilah, tidak ada laporan bahwa ada kloset yang pecah.
Pagi harinya pihak Caltex menyiapkan makan pagi berupa nasi goreng, roti tawar dan lempengan2 daging hamburger. Saya perhatikan ada seorang bintara muda termenung. Saya dekati,
"Kamu sakit?"
"Tidak komandan"
"Lalu kenapa termenung ?"
"Ingat istri di rumah, Komandan. Saya di sini makan daging segede gitu sendirian."
Walaupun saya masih bujangan, saya merasa apa yang dirasakan oleh bintara itu. Suami yang baik dia! Sayapun langsung menuju tempat duduk saya di dekat camp manager Duri. Angggota melihat bahwa saya nampak bincang2 santai dengan camp manager.
Ketika mau pulang, anggota telah siap di atas`truck. Waktu saya mau masuk ke jeep, mereka ber teriak2,
"Terima kasih komandan ......" sambil tangan mereka melambaikan kantong plastik yang isinya 5 lempeng daging hamburger.
Hari itu 3 mission selesai: Pemogokan teratasi. Tidak ada kloset yang pecah dan…, istri2 mereka dapat oleh2.
Jacky M
Untuk Serba Jadul
Telah hadir di galeri serba jadul ini, tamu istimewa kita yang sarat dengan pengalaman istimewa pula. Beliau adalah pak Jacky Mardono, ex SMA de Britto tahun ’53, ex Police, ex ini dan ex itu. Wis tho pokoknya pasti seabreg deh pengalaman beliau yang unik dan spesial yang siap disampaikan kepada kita. Yuk, kita simak cerita perdananya.
Riau, 1962.
Sebagai perwira intel Polda Riau, saya dapat tugas untuk mengatasi pemogokan buruh Caltex, di Duri Riau. Karena mereka sudah melakukan pengrusakan, saya mendapat back up 1 pleton Brimob. Berangkat dari Pekanbaru sudah jam 19.00.
Setelah melalui detik2 yang menegangkan, situasi dapat dikendalikan. Karena hari sudah larut malam, saya putuskan untuk bermalam saja di Duri. Kami tidur dalam barak yang kebetulan kosong.
Saya baru saja mau membuka tali sepatu, ketika komandan pleton mendekati saya.
"Siap komandan, ijin melapor."
Saya sempat tersirap, saya pikir ada sesuatu yang genting.
"Ya, ada apa?"
"Siap komandan, anggota mau buang air besar, tetapi tidak tahu di mana tempatnya."
"Lho itu yang berjejer di muka pancuran kan WC semua ...."
Sayapun berdiri dan komandan pleton mengikuti saya. Sampai di muka deretan shower, kepada Danton saya jelaskan.
"Ini namanya kloset. Mau pakai, buka dulu tutupnya. Plorotkan celanamu, terus duduk. Awas jangan jongkok. Bisa pecah. Kalau pecah, barangmu juga bisa ikut pecah. Beri petunjuk anak buahmu."
"Siap komandan, petunjuk dilaksanakan."
Alhamdullilah, tidak ada laporan bahwa ada kloset yang pecah.
Pagi harinya pihak Caltex menyiapkan makan pagi berupa nasi goreng, roti tawar dan lempengan2 daging hamburger. Saya perhatikan ada seorang bintara muda termenung. Saya dekati,
"Kamu sakit?"
"Tidak komandan"
"Lalu kenapa termenung ?"
"Ingat istri di rumah, Komandan. Saya di sini makan daging segede gitu sendirian."
Walaupun saya masih bujangan, saya merasa apa yang dirasakan oleh bintara itu. Suami yang baik dia! Sayapun langsung menuju tempat duduk saya di dekat camp manager Duri. Angggota melihat bahwa saya nampak bincang2 santai dengan camp manager.
Ketika mau pulang, anggota telah siap di atas`truck. Waktu saya mau masuk ke jeep, mereka ber teriak2,
"Terima kasih komandan ......" sambil tangan mereka melambaikan kantong plastik yang isinya 5 lempeng daging hamburger.
Hari itu 3 mission selesai: Pemogokan teratasi. Tidak ada kloset yang pecah dan…, istri2 mereka dapat oleh2.
Jacky M
Untuk Serba Jadul
Sabtu, 04 April 2009
MINGGU PALMA
Pengantar:
Ini tulisan Papi Suhendra di majalah elektronik Papyrus. Papi Iss menulis tentang kisah yang terjadi kisaran 2000 tahun lalu, yang sampai sekarang masih tetap dikenang dan diperingati oleh jagat. Pastilah itu sesuatu yang sungguh istimewa.
Judul: MINGGU PALMA
Oleh: Suhendra
Tak terasa begitu cepat waktu berlalu dan kita sudah masuk ke MINGGU PALMA. Yesus sudah tahu bahwa kalau berani masuk Yerusalem maka Dia akan berhadap-hadapan langsung dengan Para Imam Agung, Para pinitua agama Yahudi yang saat itu sudah memuncak rasa muak dan bencinya kepada Yesus karena Yesus menebar pesona, menarik banyak umat dan mulai meninggalkan mereka. Mereka sering dimaki dan dikata katai oleh Yesus sebagai kuburan yang luarnya bagus, dalamnya busuk, atau sebagai penegak aturan yang dengan jaripun tak mau mengangkat beban peraturan yang mereka tegakkan dengan sanksi sosial yang nyata.
Yesus bagi para tua adalah pemberontak tradisi. Lihatlah Dia selalu melanggar tatanan itu, semisal bekerja atau melakukan sesuatu yang terlarang pada hari Sabat, hari istirahat, membiarkan murid-Nya makan dengan tangan yang belum dicuci, membiarkan mereka makan saat berpuasa. Dia harus dimusnahkan agar tidak mengganggu tatanan yang sudah mapan ratusan tahun. Lebih baik satu orang mati bagi bangsa itu daripada ........ seluruh bangsa hancur.
Inti pokok dari dispute ini adalah: yang satu menegakkan aturan agar tatanan duniawi berjalan baik dan mereka amat berada di kedudukan empuk yang membuat mereka kaya raya. semisal: menukarkan uang luar negeri dengan uang setempat dengan kurs yang amat njomplang; atau menukarkan hewan persembahan yang berkualitas dengan hewan sekarat dll.
Tak heran bahwa mereka kaya raya. Diantaranya adalah Nikodemus yang diam diam bersimpati pada Yesus. Dia bisa membawa minyak mahal saat merawat Jenasah Yesus seberat 50 kati! Dan menurut Yohanes wangi wangian itu adalah campuran damar dan cendana. Yusuf Arimatea juga seorang anggota Majelis Besar yang kaya raya. Dialah yang merawat jenasah Yesus dan menyediakan kain lenan untuk mengkafani jenasah Yesus dan menyediakan kubur untuk Yesus yang menurut Matius digalinya di bukit batu, baru gres….
Tetapi Yesus dengan penuh kesadaran tetap masuk ke Yerusalem karena Dia tahu disitulah Dia akan diangkat dari bumi dan semua orang akan memandang Dia.
Saat masuk ke Yerusalempun Yesus memilih cara seperti yang sudah diprediksi dalam Kitab Suci, naik anak keledai, lambang dari kelemahan. Kuda serdadu biasanya besar besar dan kuat kuat, perkasa dan larinya kencang seperti angin. Anak keledai? Kadang kadang mogok bandel kagak mau jalan.
Orang orang jelata Yerusalem, mengira Yesus adalah Anak Daud dalam arti anak raja, yang akan menjadi pemimpin mereka untuk membebaskan dari penjajahan Roma. Mereka mengelu elukan Yesus dengan melambai lambaikan daun daun palma karena memang di sana yang ada ya pohon kurma doang. kagak ada tulip, kagak ada sakura, kagak ada pohon melati. Mereka meletakkan jubah jubah mereka sebagai karpet untuk dilalui anak keledai yang dinaiki Yesus.
Waktu Yesus diprotes agar menyuruh rakyat diam, Yesus bilang, kalau mereka diam, batu batu ini yang akan berteriak mengelu elukan Dia. Wah tambah gawat dong. Lah kok mereka percaya omongan konyol seperti itu? Ya karena mereka sudah menyaksikan banyak hal ajaib dilakukan Yesus. Orang buta melek, orang tuli mendengar, orang lumpuh jalan, orang mati bangkit, orang sakit kusta tahir, danau kacau menjadi tenang, etc. Jadi kalau Yesus bilang batu batu akan teriak, mereka terdiam, dalam hati mereka mengakui Yesus bisa melakukan itu.
Yang sama sekali tidak masuk di akal mereka adalah bahwa Yesus masuk ke Yerusalem bukan sebagai panglima perang, melainkan korban sembelihan…
Korban adalah pepulih,
Korban adalah apa yang dilepas orang untuk memperoleh rekonsiliasi, perdamaian.
Korban adalah persembahan
Korban pembaharu dunia.
Gitu deh...
Ini tulisan Papi Suhendra di majalah elektronik Papyrus. Papi Iss menulis tentang kisah yang terjadi kisaran 2000 tahun lalu, yang sampai sekarang masih tetap dikenang dan diperingati oleh jagat. Pastilah itu sesuatu yang sungguh istimewa.
Judul: MINGGU PALMA
Oleh: Suhendra
Tak terasa begitu cepat waktu berlalu dan kita sudah masuk ke MINGGU PALMA. Yesus sudah tahu bahwa kalau berani masuk Yerusalem maka Dia akan berhadap-hadapan langsung dengan Para Imam Agung, Para pinitua agama Yahudi yang saat itu sudah memuncak rasa muak dan bencinya kepada Yesus karena Yesus menebar pesona, menarik banyak umat dan mulai meninggalkan mereka. Mereka sering dimaki dan dikata katai oleh Yesus sebagai kuburan yang luarnya bagus, dalamnya busuk, atau sebagai penegak aturan yang dengan jaripun tak mau mengangkat beban peraturan yang mereka tegakkan dengan sanksi sosial yang nyata.
Yesus bagi para tua adalah pemberontak tradisi. Lihatlah Dia selalu melanggar tatanan itu, semisal bekerja atau melakukan sesuatu yang terlarang pada hari Sabat, hari istirahat, membiarkan murid-Nya makan dengan tangan yang belum dicuci, membiarkan mereka makan saat berpuasa. Dia harus dimusnahkan agar tidak mengganggu tatanan yang sudah mapan ratusan tahun. Lebih baik satu orang mati bagi bangsa itu daripada ........ seluruh bangsa hancur.
Inti pokok dari dispute ini adalah: yang satu menegakkan aturan agar tatanan duniawi berjalan baik dan mereka amat berada di kedudukan empuk yang membuat mereka kaya raya. semisal: menukarkan uang luar negeri dengan uang setempat dengan kurs yang amat njomplang; atau menukarkan hewan persembahan yang berkualitas dengan hewan sekarat dll.
Tak heran bahwa mereka kaya raya. Diantaranya adalah Nikodemus yang diam diam bersimpati pada Yesus. Dia bisa membawa minyak mahal saat merawat Jenasah Yesus seberat 50 kati! Dan menurut Yohanes wangi wangian itu adalah campuran damar dan cendana. Yusuf Arimatea juga seorang anggota Majelis Besar yang kaya raya. Dialah yang merawat jenasah Yesus dan menyediakan kain lenan untuk mengkafani jenasah Yesus dan menyediakan kubur untuk Yesus yang menurut Matius digalinya di bukit batu, baru gres….
Tetapi Yesus dengan penuh kesadaran tetap masuk ke Yerusalem karena Dia tahu disitulah Dia akan diangkat dari bumi dan semua orang akan memandang Dia.
Saat masuk ke Yerusalempun Yesus memilih cara seperti yang sudah diprediksi dalam Kitab Suci, naik anak keledai, lambang dari kelemahan. Kuda serdadu biasanya besar besar dan kuat kuat, perkasa dan larinya kencang seperti angin. Anak keledai? Kadang kadang mogok bandel kagak mau jalan.
Orang orang jelata Yerusalem, mengira Yesus adalah Anak Daud dalam arti anak raja, yang akan menjadi pemimpin mereka untuk membebaskan dari penjajahan Roma. Mereka mengelu elukan Yesus dengan melambai lambaikan daun daun palma karena memang di sana yang ada ya pohon kurma doang. kagak ada tulip, kagak ada sakura, kagak ada pohon melati. Mereka meletakkan jubah jubah mereka sebagai karpet untuk dilalui anak keledai yang dinaiki Yesus.
Waktu Yesus diprotes agar menyuruh rakyat diam, Yesus bilang, kalau mereka diam, batu batu ini yang akan berteriak mengelu elukan Dia. Wah tambah gawat dong. Lah kok mereka percaya omongan konyol seperti itu? Ya karena mereka sudah menyaksikan banyak hal ajaib dilakukan Yesus. Orang buta melek, orang tuli mendengar, orang lumpuh jalan, orang mati bangkit, orang sakit kusta tahir, danau kacau menjadi tenang, etc. Jadi kalau Yesus bilang batu batu akan teriak, mereka terdiam, dalam hati mereka mengakui Yesus bisa melakukan itu.
Yang sama sekali tidak masuk di akal mereka adalah bahwa Yesus masuk ke Yerusalem bukan sebagai panglima perang, melainkan korban sembelihan…
Korban adalah pepulih,
Korban adalah apa yang dilepas orang untuk memperoleh rekonsiliasi, perdamaian.
Korban adalah persembahan
Korban pembaharu dunia.
Gitu deh...
BATU MULIA, RUBY DAN SAPPHIRE
Salah satu jenis batu mulia atau gemstone yang sudah tidak asing lagi namanya di telinga kita adalah Ruby dan Sapphire. Selain mulia, batu2 ini juga berharga. Saking berharganya, nama Ruby dan Sapphire sering dipakai orang untuk menamai buah hati kesayangannya, seperti Rubiyanto atau Rubiyanti, Sapphira atau Sapphiri.
Dan batu bergengsi macam ruby dan sapphire ini dipasar digolongkan dalam berbagai grade, kelas atau kategori, dari grade A hingga D. Tinggi harganya bisa membuat kita klenger deh. Mahalnya bisa berjuta-juta. Terlebih lagi yang cantik, yang bermutu, yang istimewa. Namun reputasi mewah itu tidak lalu membuat kita ciut nyali. Kita malah jadi terangsang untuk mencari tahu lebih banyak, siapa sih sesungguhnya gerangan dia, si cantik yang jual mahal itu.
Ternyata, meskipun yang satu merah dan yang lain biru tapi sebenarnya ruby dan sapphire beraasal dari satu jenis mineral yang sama yaitu Corundum alias Aluminium Oxide (Al2O3). Mineral Corundum ini terbentuknya jauh di sana, di dalam perut bumi, di suhu ribuan derajat celsius, jutaan tahun lalu. Dia muncul ke permukaan dengan cara nebeng lahar yang muncrat atau ndledek akibat gunung berapi terbatuk atau akibat bumi menggeliat. Hal ini dapat kita ketahui dari keberadaannya di daerah Srilangka (Ceylon), Madagascar, Kenya dan Tanzania. Di masa lalu daerah2 tersebut satu sama lain memang bersaudara secara geologi. Selain di sana corundum ada juga di Kashmir (India), Pakistan, Thailand, Kamboja, Burma, Afghanistan, Colombia, Montana (USA), China serta Australia.
Corundum itu ujudnya kecil saja, hanya serupa kerikil, bukan seperti kerakal atau batu besar. Ditimang terasa mantap, terasa padat dan berisi dan…, wow, kerasnya minta ampun! Ya, tingkat kekerasan corundum berskala 9, terpaut hanya 1 point dibawah intan yang kita kenal sebagai batu terkeras sejagat. Berat jenis corundum mendekati angka 4, artinya seperempat gelas berisi corundum bobotnya setara dengan air segelas penuh. Bentuk kristalnya tidak bulat2 kayak telur melainkan bersegi-segi (hexagonal/trigonal).
Aslinya mineral Corundum tidak berwarna. Imbuhan unsur lain2 lah yang kemudian membuatnya nampak merona merah atau lebam membiru dan sebagainya. Ya, unsur pewarna seperti Chromium (Ce), Ferrum (Fe), Titanium (Ti) dan Nickel (Ni) telah membuatnya berwarna warni. Di antara warna warni corundum, yang terkenal adalah warna merah yang kita sebut batu Ruby, serta warna biru yang disebut Blue Sapphire. Di luar warna merah dan biru, kita kenal dengan sebutan Funky Sapphire.
BATU RUBY
Kata ruby berasal dari bahasa latin ruben, yang artinya merah. Dalam istilah sansekerta ruby disebut sebagai "ratnaraj" atau raja permata (King of Gemstone). Orang menyukai warna merahnya yang seperti lampu rem itu. Warna merah dianggap sebagai lambang gairah dan semangat yang menyala-nyala tak kenal padam.
Dan merahnya ruby ini terjadi karena kristal corundum (Al2O3) kerasukan unsur chromium (Ce). Banyak sedikitnya dosis pewarna ini akan mempengaruhi kepekatan warnanya. Over dosis akan membuatnya nampak kelam serta gelap…
BLUE SAPPHIRE
Sapphire berasal dari kata Sappheiros dalam bahasa Yunani yang artinya biru. Sebagian orang baik pria maupun wanita menyukai warna biru yang berkesan melankolis. Dan blue sapphire adalah sebutan yang biasa untuk corundum berwarna biru ini. Birunya sapphire itu terjadi karena pengaruh unsur ferrum (Fe) serta titanium (Ti).
FUNKY SAPPHIRE
Kecuali merah dan biru, corundum berwarna lain disebut funky sapphire. Di kelompok funky ini ada warna pink, orange, hijau, kuning, ungu dan sebagainya. Warna pink atau merah jambu itu pernah mengundang dilema lho. Soalnya orang mempertanyakan kapan sih batas warna merah itu dimulai dan kapan berakhir. Apakah warna merah muda itu termasuk kelompok ruby atau sudah masuk wilayah sapphire. Tapi ketimbang ribut, orang kemudian dipersilahkan memilih saja sendiri sesuka selera. Kita boleh menyebutnya pink ruby, boleh juga pink sapphire. Gitu aja kok repot…
Sapphire warna jingga disebut juga padparadscha. Perpaduan antara unsur Cr dan Fe menghasilkan warna jingga atau orange seperti matahari senja itu.
Warna hijau corundum disebabkan oleh unsur nickel (Ni). Sedangkan warna lain-lain terjadi karena beberapa unsur tercampur-aduk. Merah campur biru hasilnya warna ungu. Ungu campur hijau menghasilkan warna coklat dan seterusnya. Nah, dari kawin campur antar unsur pewarna itu kemudian lahirlah lusinan anak-anak warna, yaitu si Funky Sapphire.
O ya, ada lagi yang disebut color change sapphire, yaitu batu Sapphire yang dapat menampilkan perubahan warna dari satu warna ke warna yang lain, dari biru muda menjadi biru tua atau ungu misalnya. Ini bisa terjadi karena adanya kombinasi antara pengaruh struktur atom di batu tersebut dengan sinar ultraviolet matahari.
STAR SAPPHIRE DAN STAR RUBY
Selain Ruby dan Sapphire yang polos biasa, ada juga yang disebut Star Ruby dan Star Sapphire. Disebut begitu lantaran di bodi batu ruby atau sapphire itu ada gambaran serupa bintang berkaki enam kala batu itu tertimpa cahaya. Gambar bintang kaki enam itu akan nampak nyata ketika ruby atau sapphire itu warnanya gelap serta tidak tembus pandang.
Saat ini Star Sapphire terbesar di dunia adalah "Star of India" seberat 534 karat atau sekitar 1 ons, diikuti kemudian oleh "Star of Asia" seberat 330 karat. Sedangkan Star Ruby yang paling spektakuler sebesar atau seberat 138 karat.
Sebagai catatan, “karat” adalah ukuran berat batu mulia. Satu karat setara dengan 0,2 gram atau dengan kata lain satu gram sama dengan 5 karat. Lalu, apakah satu karat batu mulia itu volumenya sama antara jenis yang satu dengan yang lain? Jawabnya, tentu saja tidak. Mengapa? Karena besar kecilnya atau volume batu mulia sangat tergantung kepada berat jenisnya. Sebagai contoh, batu ruby dan sapphire memiliki berat jenis yang lebih besar dibanding batu akik, yaitu 4 dibanding 2,6. Oleh karena itu satu karat batu akik akan nampak lebih besar, sekitar 1,5 kali, dibanding batu ruby ataupun sapphire.
MAHAL
Harga ruby atau sapphire yang kondisinya oke tidak kurang dari US $ 200 per karat atau Rp 2 juta per karat. Padahal mata cincin sebesar telur cicak ukurannya bisa sekitar 10 karat. Jadi nilai semata cincin itu kira-kira Rp. 20 juta. Harga tersebut sangat bervariasi, bisa melambung setinggi langit, tergantung kepada faktor kecantikan, keaslian, besar, kecil, model, kelangkaan dsb.
Baik 20 juta atau 20 milyar rupiah, semuanya itu masih di luar jangkauan kebanyakan kita2. Anggaran rumah tangga biasa tentu belum siap untuk belanja barang semahal itu. Entah kalau yang dipakai belanja itu adalah anggaran belanja negara. Lho?
Yang asyik, untuk urusan batu2 mulia ini, kalimat pelipur lara seperti: “Mencintai tidak harus memiliki”, itu boleh kita benarkan. Soalnya kita memang tidak punya duit untuk membelinya, Dengan tahu kisahnya saja, ternyata kita sudah cukup terpuaskan. Bener lho, kini kita mengenal batu2 mulia itu sebagai karya alam yang indah tiada tara. Warna-warninya bagai pelangi. Semua mereka asalnya dari perut bumi yang terkenal gelap dan gelap. Dan kita ditakjubkan oleh kenyataan bahwa lho ada pelangi tumbuh di sana, bahwa lho ada pesona di balik kegelapan. Ah…
Dan batu bergengsi macam ruby dan sapphire ini dipasar digolongkan dalam berbagai grade, kelas atau kategori, dari grade A hingga D. Tinggi harganya bisa membuat kita klenger deh. Mahalnya bisa berjuta-juta. Terlebih lagi yang cantik, yang bermutu, yang istimewa. Namun reputasi mewah itu tidak lalu membuat kita ciut nyali. Kita malah jadi terangsang untuk mencari tahu lebih banyak, siapa sih sesungguhnya gerangan dia, si cantik yang jual mahal itu.
Ternyata, meskipun yang satu merah dan yang lain biru tapi sebenarnya ruby dan sapphire beraasal dari satu jenis mineral yang sama yaitu Corundum alias Aluminium Oxide (Al2O3). Mineral Corundum ini terbentuknya jauh di sana, di dalam perut bumi, di suhu ribuan derajat celsius, jutaan tahun lalu. Dia muncul ke permukaan dengan cara nebeng lahar yang muncrat atau ndledek akibat gunung berapi terbatuk atau akibat bumi menggeliat. Hal ini dapat kita ketahui dari keberadaannya di daerah Srilangka (Ceylon), Madagascar, Kenya dan Tanzania. Di masa lalu daerah2 tersebut satu sama lain memang bersaudara secara geologi. Selain di sana corundum ada juga di Kashmir (India), Pakistan, Thailand, Kamboja, Burma, Afghanistan, Colombia, Montana (USA), China serta Australia.
Corundum itu ujudnya kecil saja, hanya serupa kerikil, bukan seperti kerakal atau batu besar. Ditimang terasa mantap, terasa padat dan berisi dan…, wow, kerasnya minta ampun! Ya, tingkat kekerasan corundum berskala 9, terpaut hanya 1 point dibawah intan yang kita kenal sebagai batu terkeras sejagat. Berat jenis corundum mendekati angka 4, artinya seperempat gelas berisi corundum bobotnya setara dengan air segelas penuh. Bentuk kristalnya tidak bulat2 kayak telur melainkan bersegi-segi (hexagonal/trigonal).
Aslinya mineral Corundum tidak berwarna. Imbuhan unsur lain2 lah yang kemudian membuatnya nampak merona merah atau lebam membiru dan sebagainya. Ya, unsur pewarna seperti Chromium (Ce), Ferrum (Fe), Titanium (Ti) dan Nickel (Ni) telah membuatnya berwarna warni. Di antara warna warni corundum, yang terkenal adalah warna merah yang kita sebut batu Ruby, serta warna biru yang disebut Blue Sapphire. Di luar warna merah dan biru, kita kenal dengan sebutan Funky Sapphire.
BATU RUBY
Kata ruby berasal dari bahasa latin ruben, yang artinya merah. Dalam istilah sansekerta ruby disebut sebagai "ratnaraj" atau raja permata (King of Gemstone). Orang menyukai warna merahnya yang seperti lampu rem itu. Warna merah dianggap sebagai lambang gairah dan semangat yang menyala-nyala tak kenal padam.
Dan merahnya ruby ini terjadi karena kristal corundum (Al2O3) kerasukan unsur chromium (Ce). Banyak sedikitnya dosis pewarna ini akan mempengaruhi kepekatan warnanya. Over dosis akan membuatnya nampak kelam serta gelap…
BLUE SAPPHIRE
Sapphire berasal dari kata Sappheiros dalam bahasa Yunani yang artinya biru. Sebagian orang baik pria maupun wanita menyukai warna biru yang berkesan melankolis. Dan blue sapphire adalah sebutan yang biasa untuk corundum berwarna biru ini. Birunya sapphire itu terjadi karena pengaruh unsur ferrum (Fe) serta titanium (Ti).
FUNKY SAPPHIRE
Kecuali merah dan biru, corundum berwarna lain disebut funky sapphire. Di kelompok funky ini ada warna pink, orange, hijau, kuning, ungu dan sebagainya. Warna pink atau merah jambu itu pernah mengundang dilema lho. Soalnya orang mempertanyakan kapan sih batas warna merah itu dimulai dan kapan berakhir. Apakah warna merah muda itu termasuk kelompok ruby atau sudah masuk wilayah sapphire. Tapi ketimbang ribut, orang kemudian dipersilahkan memilih saja sendiri sesuka selera. Kita boleh menyebutnya pink ruby, boleh juga pink sapphire. Gitu aja kok repot…
Sapphire warna jingga disebut juga padparadscha. Perpaduan antara unsur Cr dan Fe menghasilkan warna jingga atau orange seperti matahari senja itu.
Warna hijau corundum disebabkan oleh unsur nickel (Ni). Sedangkan warna lain-lain terjadi karena beberapa unsur tercampur-aduk. Merah campur biru hasilnya warna ungu. Ungu campur hijau menghasilkan warna coklat dan seterusnya. Nah, dari kawin campur antar unsur pewarna itu kemudian lahirlah lusinan anak-anak warna, yaitu si Funky Sapphire.
O ya, ada lagi yang disebut color change sapphire, yaitu batu Sapphire yang dapat menampilkan perubahan warna dari satu warna ke warna yang lain, dari biru muda menjadi biru tua atau ungu misalnya. Ini bisa terjadi karena adanya kombinasi antara pengaruh struktur atom di batu tersebut dengan sinar ultraviolet matahari.
STAR SAPPHIRE DAN STAR RUBY
Selain Ruby dan Sapphire yang polos biasa, ada juga yang disebut Star Ruby dan Star Sapphire. Disebut begitu lantaran di bodi batu ruby atau sapphire itu ada gambaran serupa bintang berkaki enam kala batu itu tertimpa cahaya. Gambar bintang kaki enam itu akan nampak nyata ketika ruby atau sapphire itu warnanya gelap serta tidak tembus pandang.
Saat ini Star Sapphire terbesar di dunia adalah "Star of India" seberat 534 karat atau sekitar 1 ons, diikuti kemudian oleh "Star of Asia" seberat 330 karat. Sedangkan Star Ruby yang paling spektakuler sebesar atau seberat 138 karat.
Sebagai catatan, “karat” adalah ukuran berat batu mulia. Satu karat setara dengan 0,2 gram atau dengan kata lain satu gram sama dengan 5 karat. Lalu, apakah satu karat batu mulia itu volumenya sama antara jenis yang satu dengan yang lain? Jawabnya, tentu saja tidak. Mengapa? Karena besar kecilnya atau volume batu mulia sangat tergantung kepada berat jenisnya. Sebagai contoh, batu ruby dan sapphire memiliki berat jenis yang lebih besar dibanding batu akik, yaitu 4 dibanding 2,6. Oleh karena itu satu karat batu akik akan nampak lebih besar, sekitar 1,5 kali, dibanding batu ruby ataupun sapphire.
MAHAL
Harga ruby atau sapphire yang kondisinya oke tidak kurang dari US $ 200 per karat atau Rp 2 juta per karat. Padahal mata cincin sebesar telur cicak ukurannya bisa sekitar 10 karat. Jadi nilai semata cincin itu kira-kira Rp. 20 juta. Harga tersebut sangat bervariasi, bisa melambung setinggi langit, tergantung kepada faktor kecantikan, keaslian, besar, kecil, model, kelangkaan dsb.
Baik 20 juta atau 20 milyar rupiah, semuanya itu masih di luar jangkauan kebanyakan kita2. Anggaran rumah tangga biasa tentu belum siap untuk belanja barang semahal itu. Entah kalau yang dipakai belanja itu adalah anggaran belanja negara. Lho?
Yang asyik, untuk urusan batu2 mulia ini, kalimat pelipur lara seperti: “Mencintai tidak harus memiliki”, itu boleh kita benarkan. Soalnya kita memang tidak punya duit untuk membelinya, Dengan tahu kisahnya saja, ternyata kita sudah cukup terpuaskan. Bener lho, kini kita mengenal batu2 mulia itu sebagai karya alam yang indah tiada tara. Warna-warninya bagai pelangi. Semua mereka asalnya dari perut bumi yang terkenal gelap dan gelap. Dan kita ditakjubkan oleh kenyataan bahwa lho ada pelangi tumbuh di sana, bahwa lho ada pesona di balik kegelapan. Ah…
Langganan:
Postingan (Atom)