Aslinya, naskah ini berjudul “Ayogya ambangun praja”. Ketika saya tanyakan, apa sih artinya ayogya dst itu, papi Rayhard sang penulis memberi penjelasan sbb:
Aku ciptakan judul itu karena pendiri kraton Yogya (Hamengku Buwono I) mengubah nama Gerjitawati menjadi AYOGYA. Kata Sanskrit aslinya aku nggak tahu dengan baik, tetapi di lain tempat di Asia Tenggara ada kota dengan nama piridan (atau derivative kata yang sama), yaitu Ayuthia (Thailand) - kata itu (yang berarti indah dalam mulut rakyat) bisa saja berubah menjadi Ayodhia, Ayoja, Djokdja atau Djokja (buatan Belanda).
Mungkinkah Ayogya lebih mendekati kata aslinya? Sebelum Djokdja berdiri sudah ada "Kartasura" dan "Surakarta", dan Ayogya kemudian diberi akhiran "karta" juga, yang artinya karya, perbuatan. Jadi kota ini diartikan sebagai "hasil karya yang indah" (?).
"Ambangun atau hambangun" berarti mendirikan / berdiri, dan "praja" adalah kata Jawa klasik yang dipakai sebelum kata "kutho gede" menjadi lebih umum.
Gitu ...
Dan inilah seri ketiga atau seri penghabisan dari cerita kita tentang "Komuniti Tionghoa Yogyakarta"
Ayogya ambangun praja…, seri ke (III) – habis
Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792. Dengan dia berakhirlah juga masa jaya kesultanan Mataram untuk kemudian disusul dengan kekacauan politik yang menahun. Akan tetapi hal itu kurang relevant bagi golongan Cina yang tidak pernah terlibat dalam masalah lokal politik. Malanglah, bahwa sejak tahun 1792 terjadi banyak perampokan atas gapura-gapura bea cukai milik orang Cina 13).
Daendels datang pada tahun 1808 dengan tindakan drastis menghapus tatacara penghormatan wakil-wakil pemerintah Belanda terhadap sultan. Upacara mempersembahkan sirih yang senantiasa dijalankan oleh pegawai-pegawai Belanda kepada sultan sampai jaman Daendels, ternyata berasal dari praktek hubungan raja dengan pemungut-bea Cina. Orang-orang Cina pemegang tolpoort menyatakan hommage (tanda setia, atau penghormatan) kepada raja dengan upacara persembahan sirih. Bagi pedagang Cina hal ini tidak dianggap soal besar, tetapi bagi seorang 'republikein' kita Marsekal 'Guntur' (nama sindiran Daendels), rupanya hal ini dianggap terlalu serius sehingga tak dapat dibiarkan begitu saja 14).
Raffles menyusul Daendels pada cakrawala sejarah kesultanan. Ia membawa perubahan-perubahan yang mempengaruhi keadaan Cina di Yogyakarta. Praktek pemungutan bea dan pajak garam oleh orang Cina dihentikan. Tetapi pegadaian yang semula dipegang oleh pemerintah justru diserahkan kepada Cina 14). Raffles menghapus banyak hambatan perpajakan di daerah pedalaman. Tetapi keinginannya agar pajak dibayar dengan uang tunai menyebabkan timbulnya praktek ijon (dari kata ijo yang berarti hijau, maksudnya sementara panenan belum masak ia sudah dijadikan jaminan untuk meminjam dana) penjualan ternak dan bahkan tanah. Hal ini tidak memperbaiki nasib rakyat, sebaliknya pengusaha-pengusaha Cina mendapat lapangan rejeki yang leluasa. Tidak jelas bagi kami apakah policy Raffles dilanjutkan oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi dalam berita-berita sekitar Perang Diponegoro ada terdapat catatan tentang jumlah uang dan nama-nama pachters pasar dan candu dari golongan orang Cina. Jadi rupanya sistim lama kembali 15). Sedangkan pegadaian tetap dipegang oleh Cina sampai tahun 1904 16).
Hubungan antar masyarakat kota pada permulaan abad 19 cukup ramai, melebihi lingkup masalah perdagangan biasa. Crawfurd mengisahkan tentang seorang Jawa yang disewa oleh seorang Cina untuk membunuh seorang Jawa lainnya. Pembunuhan telah dilakukan, tetapi uang upah yang dijanjikan tak diberikan kepada si pembunuh, sehingga persoalan menjadi pembicaraan ramai. Cina itu melarikan diri, dan orang Jawa si pembunuh ditangkap dan dihadapkan kepada Crawfurd. Ia menceriterakan segala hal ihwalnya. Peristiwa yang terjadi tahun 1812 ini sayang tidak menjelaskan seluruh latar belakang kejadiannya. Namun sebagai sekedar ilustrasi, peristiwa yang bagi Crawfurd mungkin cukup interesan sehingga ia masukkan ke dalam bukunya, bolehlah kejadian itu melukiskan hubungan antara suku bangsa 17).
Sebuah peristiwa lain yang merupakan kekecualian dan secara insidentil melibatkan seorang Cina dalam politik yaitu terjadinya kericuhan sekitar tahun 1811-1812, ketika raja-raja (Sultan Sepuh dan Sultan Raja) silih berganti memerintah. Kapten Cina yang bernama Tan Jimsing sangat berjasa kepada pemerintah Inggeris. Jimsing menyampaikan informasi penting dan berita-berita lainnya, memberi perbekalan kepada tentara Inggris dan menyediakan tangga dan peralatan perang lainnya untuk penyerbuan benteng ketika terjadi keributan besar dengan Sultan Sepuh. Pada masa kacau itu terjalinlah kerja sama yang dituntut oleh keadaan antara 'minister' Crawfurd, Putera Mahkota (Sultan Raja) dan babah Jimsing. Sebelumnya memang Putera Mahkota telah kehabisan akal dan menyerahkan nasibnya kepada 'kapala buntut' (semua pria Cina di masa itu memakai kucir di belakang kepala), kapiten Cina Tan Jimsing. Begitu akrab hubungan mereka, sehingga pernah Putera Mahkota tidur menginap di rumahnya 18). Kelak sebagai balas jasa, sultan baru Hamengku Buwono III menghadiahkan 1000 cacah (tidak jelas apakah arti ‘cacah’, tetapi pasti satuan barang berharga) kepada Jimsing dan anak cucunya. Tan Jimsing merupakan contoh seorang manusia 'man of the hour' yang berani menggunakan kesempatan. Nasibnya baik (meskipun pernah kena luka tusukan pada suatu malam ketika Gandadiwirya, seorang mantri pengikut Sultan Sepuh yang fanatik, melakukan 'amok' kepadanya), oleh karena saat itu politik belumlah dianggap sama dengan kesetiaan ethnis. Ia tidak mengalami bahaya dari pihak orang asli, sebab rakyat jelata hanya tunduk kepada raja yang memerintah (dan kebetulan bersahabat dengan kapten Cina). Bahkan ketika ia masuk Islam, Sultan memberinya gelar Tumenggung Secodiningrat 19). Nama ini masih dipakai sampai sekarang untuk daerah di sebelah selatan Fort Vredeburg, yaitu tempat yang besar kemungkinannya adalah daerah kediaman Tan Jimsing.
Dari kejadian ini nampaklah bahwa walaupun kelainan ethnis tetap dirasakan, namun hubungan antar suku dalam masyarakat cukup mendalam. Berlainan dengan masa perputaran abad 19 ke abad 20 nanti, ketika minat Cina terhadap kraton nantinya akan berubah. Penghargaan terhadap kesultanan dan kebudayaannya yang terbukti dari jalinan hubungan baik itu masih tinggi sekali.
---
13) p 358: 'medicijnen, zelfs Chineesche, ... '
14) Poensen, BKI 54, 1905, p 100
15) BKI, 1905, p 12
16) Furnivall, op cit, p 73, Mayor Yap adalah pachter gadai.
17) De Klerck ES, De Java-Oorlog, Deel VI, 1909, pp 472-475. Opiumpacht kepada Cina di Jawa Tengah mulai pada jaman Raffles, atau mungkin sudah sejak Daendels.Cfr Liem Thian Joe, op cit, pp 80-81.
18) De Graaf, op cit, p 145
19) Crawfurd, op cit, I, p 37
Gitu deh…
Terima kasih untuk papi Rayhard yang telah banyak berkisah tentang kota kita Jogjakarta. Tapi omong2, gapura bea cukai…, itu apaan sih? Apa ada gambaran yang masih tertinggal yang bisa kita pakai untuk membayangkan keberadaannya? Piye Jal?
Lokasi Pengoenjoeng Blog
Sabtu, 25 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar