Lokasi Pengoenjoeng Blog

Kamis, 23 April 2009

Jogjakarta…, Tata Ruang


Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Jogjakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton, penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan, penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam…

Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender perempuan) dan benih manusia (wiji; dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak), kemudian memasuki masa remaja (enom; sinom; dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asem atau asam jawa) dan penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung).

Setelah melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya (dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur).

Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada tahap saling menyukai lawan jenis, yang kemudian dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki (dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang berbunga merah).

Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya, mengucur deraslah “benih” atau sperma menjumpai “telor” atau ovum (kaderesan sihing sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana), sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia dewasa.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton sektor utara melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal Putih). Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya; dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara).

Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama – Malioboro - Margamulya).

Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang).

Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).

Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung Merapi). Sultan sebagai multi pemimpin, baik dalam bidang politik kenegaraan, kemasyarakatan, kebudayaan, maupun keagamaan (Sayidin Panatagama, Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara), sosio-budaya (disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian (disimbolkan dan berwujud Pasar Beringharjo).

Begitulah kata Sapujagat si sumber berita.

Tapi omong2, Tugu Golong Gilig atau yang biasa disebut juga Tugu Pal Putih kok bentuknya tidak gilig melainkan bersegi segi. Kenapa begitu? Piye Jal?

1 komentar:

  1. mas, bisa tau informasi lebih detail untuk pola tata ruang kota dan filosofi dari simbol tersebut, tq

    BalasHapus